Ciuman Terlarang di Borobudur
Salah satu kelegaan yang saya dapatkan ketika membaca novel terbaru karya Ayu Utami, Lalita, adalah kenyataan bahwa Marja dan Parang Jati, dua tokoh dalam kisah itu, sudah mulai saling mengakui perasaan mereka. Keduanya memang belum menemukan jalan keluar atas perasaan bahwa mereka saling tertarik, tapi minimal sudah ada keberanian (atau kenekadan?) untuk menyatakannya.
Seperti yang mungkin sudah Anda tahu, Lalita adalah novel kedua dari “Seri Bilangan Fu”, yakni serangkaian novel yang masih berkait dengan novel ketiga Ayu Utami, Bilangan Fu. Novel pertama dari seri ini sudah terbit pada 2010 dengan judul Manjali dan Cakrabirawa.
Mereka yang sudah membaca Bilangan Fu dan Manjali dan Cakrabirawa pasti tahu bahwa Marja dan Parang Jati itu saling menyukai, tapi perasaan itu tak bisa tersalurkan karena Marja sudah punya kekasih. Dan, hubungan itu makin rumit karena Sandi Yuda, kekasih Marja, adalah sahabat baik Parang Jati.
Dalam Manjali dan Cakrabirawa, kita tahu, Marja dan Parang Jati sempat tidur berduaan di dalam tenda dan hampir saja terlibat percintaan yang terlarang tapi sebenarnya sama-sama diinginkan. Sayangnya, sifat malaikat Parang Jati, juga keluguan Marja, membuat hal semacam itu tidak terjadi.
Sementara itu, di dalam Lalita, Parang Jati tampaknya bukan lagi malaikat (atau setidaknya tidak sangat malaikat) sebab dia akhirnya meraih wajah Marja sehingga keduanya pun berciuman di tempat yang sangat spritual: Candi Borobudur. Benar bahwa ciuman itu mungkin berlangsung singkat, dan tak ada tindakan lanjutan apa-apa sesudahnya sebab begitu banyak hal genting terjadi, tapi ciuman—apalagi yang dilakukan sambil memejamkan mata—adalah tanda keintiman yang paling purba tapi sekaligus sempurna.
Bagi saya pribadi, apa yang terjadi di antara Marja dan Parang Jati di Borobudur itu merupakan salah satu bagian terbaik di dalam Lalita meski tentu saja novel itu tak hanya bercerita soal ciuman pertama. Diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada September kemarin, Lalita adalah sebuah novel yang bahkan tidak bisa dikatakan bercerita soal cinta segitiga.
Buku ini dipenuhi seabrek gagasan besar yang diambil dari khasanah filsafat, ilmu sosial, sejarah, dan spiritualisme. Seperti pendahulunya, Lalita juga bisa dikatakan sebagai “novel teka-teki” karena buku ini memang disusun dengan begitu banyak misteri yang minta dipecahkan. Kita tahu, di dalam Manjali dan Cakrabirawa unsur teka-teki juga merupakan hal yang dominan—dan tampaknya ciri ini akan berlanjut dalam novel di “Seri Bilangan Fu” berikutnya—tapi teka-teki di novel itu, menurut saya, hadir secara bersahaja.
Sementara itu, di dalam Lalita, Ayu Utami mengaduk begitu banyak wacana besar—dari psikoanalisa Freud, spiritualisme Tibet, misteri Drakula, keagungan Borobudur, sampai agen rahasia Cina—untuk membuat sebuah misteri besar. Dan, hasilnya, ternyata sangat menjengkelkan. Pasalnya, semua elemen itu seperti ditempelkan Ayu begitu saja, lalu dihubung-hubungkan, dan kita disuruh percaya buta bahwa mereka memang berhubungan.
Seolah semua wacana besar itu belum cukup, Ayu juga menghadirkan tokoh-tokoh dari wacana itu di dalam novelnya. Itulah kenapa kita akan menemui Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, dan entah siapa lagi, di dalam Lalita. Dan, seolah-olah itu masih belum cukup membuat novel ini terlihat sangat berbobot, Ayu juga menyelipkan potongan makalah yang menghubungkan mitos Vampir dan kekejaman Drakula dengan psikoanalisa.
Dengan seluruh kandungan itu, membaca Lalita kelihatannya akan menjadi proses yang berat dan melelahkan. Tapi, tenang saja, hal semacam itu tidak terjadi—setidaknya pada saya—bukan karena Ayu sangat pandai menyelipkan teori di tengah-tengah cerita, tapi justru karena pelbagai teori yang disemburkannya bisa kita abaikan begitu saja. Pasalnya, semua teori itu toh, pada akhirnya, tak begitu berpengaruh terhadap jalan cerita secara keseluruhan.
Setelah menamatkannya, Anda akan tahu bahwa novel ini ditopang dengan teka-teki yang sangat sederhana, tak sebanding dengan kerumitan teori yang dipaparkan Ayu di bagian tengah, terutama di bab “Hitam”. Penculikan Sandi Yuda, juga penyerangan atas tokoh Lalita, yang menjadi misteri paling besar di novel ini, ternyata dilatari motivasi yang begitu bersahaja: uang. Maka, bila di bagian tengah Lalita seperti hendak berbicara soal alam semesta, percayalah, Anda tak perlu memikirkannya secara keterlaluan.
Hal lainnya yang juga menjengkelkan dari novel ini adalah obsesi Ayu bercerita soal Borobudur. Setelah membicarakan sebuah candi di Jawa Timur dalam Manjali dan Cakrabirawa, Ayu kelihatannya terus tertarik pada candi sehingga di Lalita ia bercerita panjang lebar soal Borobudur. Sebenarnya, bila ia sekadar membicarakan candi Budha terbesar di Indonesia itu saja, kita masih bisa maklum.
Tapi Ayu tak hanya bicara dalam tataran wacana. Ia juga “memaksa” tokoh-tokohnya pergi mengunjungi Borobudur tanpa alasan jelas kecuali, menurut saya, demi memudahkan dia sebagai penulis untuk becerita ihwal candi tersebut. Hal semacam ini paling kentara ketika Marja mengajak Jati dan Yuda ke Borobudur, bukan untuk menelusuri misteri candi itu, tapi hanya sekadar untuk menceritakan soal Buku Indigo.
“Pemaksaan” semacam itu juga terjadi saat Parang Jati kebingungan mencari Sandi Yuda. Jati lalu diperintahkan ayah angkatnya yang juga guru spiritual, Suhu Budi, untuk mengunjungi Borobudur. Maka, Jati mengajak Marja ke candi itu, menelusuri relief-reliefnya, sambil bercerita panjang lebar soal ajaran Budha, tapi petunjuk apa yang sesungguhnya didapatkannya? Tidak ada.
Pada akhirnya, satu-satunya hal yang didapatkan Parang Jati di Borobudur adalah berciuman dengan Marja, sementara satu-satunya hal menarik yang bisa kita dapatkan dari novel ini barangkali hanyalah soal cinta segitiga dan betapa menegangkannya ciuman yang terlarang.
hoho iya… aku juga melewatkan bagian tengah…
itu maksudnya apa ya, jaman sd dulu disebut cerita berbngkai bukan? :))))))))
aku sih gak sampai melewatkan mas karmin. tapi malas sekali mencerna dengan sungguh2 semua teori, apalagi makalahnya itu. hehehe.
aku juga gak terlalu tahu maksudnya apa, dan apa itu “cerita berbingkai” 😀
kamu sepertinya gak terlalu suka seri novel ini, tapi tetap saja membacanya paling pertama, hehe…
@Yudhi: tentunya tidak sangat pertama, Mas. kebetulan akhir2 ini memang lagi banyak baca novel saja 😀
Sayang sekali kerumitan novel yang sampai dibuat berseri macam begini, ternyata hanya dilatari sesuatu yang terlalu sederhana macam uang
Lalita bikin saya kecewa. Ekspektasi awal akan sebagus Bilangan Fu dan Manjali, tapi ternyata jauh di bawah itu. Oh ya, sekadar koreksi, ciuman pertama Parang Jati dan Marja justru ada di novel Manjali, waktu mereka tidur berdua di dalam tenda. Kalau tak salah dalam Lalita ini ciuman ketiga mereka 😀
@Nufus: wah terima kasih koreksinya. saya malah enggak ingat kalau di dalam tenda, marja dan parang jati berciuman. hehe. nanti saya coba baca2 lagi. soal kualitas, memang Lalita ini jauh di bawah manjali, walau manjali ya tetap jauh di bawah saman 😀
Saya belum lernah membaca bilangan fu. Jadi penasaran…