Di Pojok Istora
Hampir tengah malam di Istora Senayan, tapi suasana masih begitu semarak. Robin Thicke sedang berdendang sambil meliuk-liukkan pinggulnya, sementara orang-orang terus berjoget dengan riang sambil tertawa. Saya duduk sendirian di samping kanan agak jauh dari panggung, bersandar ke pagar pengaman. Di sekitar saya, semua orang kelihatannya berpasangan, atau malah datang berombongan, dan tampaknya mereka semua bahagia.
Waktu itu saya tidak bahagia, meskipun tidak bisa dikatakan juga sedang bersedih. Duduk di pojokan itu, pikiran saya tidak terfokus ke keramaian di sekitar sana. Saya terus memegang BlackBerry, memantau timeline Twitter, dan kadang membaca beberapa berita yang kelihatannya menarik. Tapi pikiran saya juga tidak tersedot ke layar BlackBerry itu, sebab sesungguhnya saat itu pikiran saya memang tidak sedang fokus ke mana pun.
Kadang-kadang saya merasa pandangan mata saya mengabur, dan orang-orang yang sedang berjoget itu kelihatan hanya sebagai bayangan yang samar-samar. Pada saat yang lebih parah, pendengaran saya juga tak lagi bisa bekerja dengan baik, sehingga suara Robin Thicke pun lama-lama melemah, dan selama beberapa detik tak lagi terdengar. Tepat setelah momen itu terjadi, saya mulai menyadari bahwa saya kesepian—di tengah semua hiruk pikuk itu.
Beberapa menit kemudian, saya memutuskan untuk pulang. Ya, saat kau mulai kesepian di tengah keramaian, mungkin itu saatnya untuk pulang. Ketika berjalan lamban menerobos kerumunan yang bergerombol di mana-mana, beberapa orang melihat saya dengan ekspresi heran, seolah bertanya-tanya: kenapa kamu pulang?
Di atas sepeda motor dalam perjalanan pulang, pelan-pelan saya menyadari: barangkali saya baru saja mengalami apa yang disebut Ayu Utami sebagai “momen autis”. Di bagian awal novel Lalita, Ayu bercerita soal momen autis yang dialami Sandi Yuda ketika harus berhadapan dengan situasi Jakarta. Sebagai pemanjat tebing, Yuda memang sangat sering berada di hutan yang sepi sehingga keruwetan ibukota membuatnya bingung. Tepat di situlah terjadi momen autis: saat kau terperosok di sebuah lubang yang menarikmu dari hiruk pikuk situasi sekitar.
Masalahnya, saya tidak seperti Sandi Yuda. Sudah lama saya tidak berjalan-jalan di hutan atau naik gunung, dan yang perlu digarisbawahi: saya bekerja sebagai wartawan, orang yang dituntut memiliki kepekaan terhadap situasi sekitar. Sebagai wartawan majalah saya dididik bahwa bahan dari sebuah reportase yang bagus bukan hanya wawancara, tapi juga observasi. Dalam observasi, yang penting bukan hanya pengamatan yang detail dan akurat, tapi juga sebuah angle untuk melihat sekeping peristiwa atau situasi yang menarik.
Tapi mungkinkah melakukan observasi ketika momen autis terjadi? Sama sekali tidak. Yang bisa kau lakukan hanyalah secepat mungkin menarik diri dari lubang tempat kau tersekat dengan realitas, dan dengan begitu kau bisa kembali menghadapi situasi sekitar dengan pandangan awas.
Sebelum kejadian di Istora itu, saya ingat beberapa kali mengalami momen semacam itu. Yang paling saya ingat adalah ketika saya membaca novel-novel Orhan Pamuk, terutama Snow dan The New Life. Mereka yang pernah membaca Pamuk pasti tahu bahwa penulis asal Turki itu sangat gemar menerakan deskripsi latar tempat secara beruntun. Saat tokoh-tokoh dalam novel Pamuk berjalan di sebuah kota, maka kita akan mendapati deskripsi tentang jendela toko, jalanan bersalju, anjing dengan bulu yang jelek, dan semacam itu.
Semua deskripsi itu, sejauh pembacaan saya, tak berkait langsung dengan cerita novel atau pengembangan karakter tokoh, tapi mungkin hanya untuk menciptakan sebuah situasi. Dan, malangnya, situasi dalam novel-novel Pamuk kebanyakan selalu berupa kemurungan. Ketika membaca deskripsi-deskripsi latar tempat tersebut, saya ingat tiba-tiba dijalari rasa murung yang tidak jelas, kemudian pelan-pelan tertarik dari situasi sekitar saya, dan puncak dari semua itu adalah ketika saya melamun berkepanjangan. Dalam beberapa momen yang hebat, saya merasa sangat sedih—tanpa alasan pasti.
Saya tak tahu apakah kehadiran momen semacam itu perlu ditakutkan, tapi mungkin saja tidak, toh selama ini saya selalu berhasil kembali dari jebakan lubang itu. Bagi saya, momen autis macam itu justru sebuah rekreasi, sebab bukankah sungguh sukar hidup bila kita terus-menerus mesti berhadapan dengan realitas tanpa ada opsi bisa meninggalkannya sejenak?
NB: ilustrasi diambil dari sini.
jujur saja saya belum baca novel Lalita-nya ayu utami, mas haris. bisa jadi “momen autis” semacam itu bisa menimpa siapa saja, terutama di sebuah kerumunan yang menjenuhkan.
salam kenal…tetap semangat ya