Merayakan Novel Indonesia
Sejak beberapa bulan lalu saya sudah berpikir untuk menyusun daftar ini. Bukan karena ingin sok atau meniru sejumlah pihak yang sudah menyusun daftar serupa, tapi karena saya merasa tahun ini patut dirayakan, terutama oleh para pembaca novel Indonesia. Seperti yang bisa kita lihat, 2012 adalah tahun di mana banyak penulis Indonesia menerbitkan novel, dan sebagian dari penulis itu adalah nama-nama yang sudah sangat dikenal dalam dunia sastra Indonesia.
Ayu Utami menerbitkan dua novel tahun ini, dan Dewi Lestari akhirnya menyelesaikan lanjutan seri Supernova setelah 8 tahun. Ratih Kumala menyelesaikan novel baru setelah Kronik Betawi yang terbit pada 2009. Gitanyali, penulis yang setia dengan nama samaran itu, dengan cepat merampungkan lanjutan dari Blues Merbabu yang terbit tahun lalu.
Dan, tentu saja, 2012 adalah tahun di mana Laksmi Pamuntjak menerbitkan Amba, novel yang dipuji selangit oleh banyak pihak, tapi juga diiringi kontroversi dan gosip seputar proses penulisannya. Yang tak boleh dilupakan adalah Maryam karya Okky Madasari yang memenangkan Khatulistiwa Literary Award tahun ini. Dan, tentu saja kita harus mencatat Pulang karya Leila S Chudori.
Sementara itu, hingga hari ini, saya masih terus bersedih karena Eka Kurniawan tidak jadi menyelesaikan novel barunya yang konon diberi judul Malam Seribu Bulan. Mungkin kita memang masih harus memberi kesempatan pada Eka supaya novel barunya bisa sedahsyat Cantik Itu Luka yang dipuji habis oleh Tariq Ali itu.
Mulanya saya ingin menyusun daftar ini sampai 10, tapi akhirnya saya putuskan menyingkat sebatas 5. Perlu ditegaskan: karena daftar ini disusun oleh saya pribadi, maka alasannya pun pasti sangat subyektif—sejauh pembacaan saya semata yang lebih banyak bertumpu pada perasaan daripada pisau analisa kritik sastra. Saya memang tak berpretensi menyusun daftar yang obyektif. Sebab daftar ini bukan sebentuk panduan atau himbauan, tapi sebatas perayaan dari seorang pembaca novel Indonesia.
Selain itu, bacaan novel saya pasti juga terbatas, meski saya berupaya membaca sebanyak mungkin novel Indonesia yang terbit tahun ini dan secara umum bisa masuk dalam kategori “sastra”. Dan, inilah daftar 5 novel Indonesia yang menurut saya paling menarik tahun ini, yang dimulai dari posisi 5.
65 karya Gitanyali (Kepustakaan Populer Gramedia)
Saya lebih menyukai Blues Merbabu daripada novel lanjutannya ini. Terutama karena dalam novel ini Gitanyali sering melantur ke mana-mana, keluar dari konteks cerita utama, sehingga banyak hal yang tidak selesai dalam 65. Namun, lepas dari kekurangan itu, saya tetap menyukai cara pandang Gitanyali—juga gaya bahasanya—yang sangat ringan dan banal terhadap hidup dan tragedi 65.
Bagi saya, sudut pandang Gitanyali terhadap tragedi 65 adalah sesuatu yang orisinil dan patut dirayakan dalam sastra Indonesia. Tahun ini, setidaknya ada dua novel lain berkait sejarah buruk 1965, tapi bagi saya, sudut pandang Gitanyali atas tragedi itu tetap yang paling menarik. Kondisi itu makin menarik karena, seperti sebagian orang tahu, Gitanyali adalah bagian dari keluarga korban 65.
Dengan menuliskan sebuah “otobiografi” seorang pemuda yang menanggapi tragedi 65 dengan santai dan dangkal, Gitanyali telah memberi tahu kita sisi lain dari tragedi itu. Bahwa tak semua hal terkait tragedi itu selamanya menyedihkan. Ada kisah suka cita, juga lucu, dan ngeres di seputarnya. Fakta bahwa sosok pemuda seperti Gitanyali bisa bangkit dari kekejaman di sekitar tahun itu dengan cara yang santai, ringan, dan apolitis, harus dicatat.
Pulang karya Leila S Chudori (Kepustakaan Populer Gramedia)
Novel ini punya begitu banyak hal eksotis untuk dikagumi. Latarnya Paris. Kisahnya berkait dengan eksil politik yang terpaksa melarikan diri dari Indonesia karena dicap bagian dari Partai Komunis Indonesia. Di bagian akhir ada latar cerita soal kejatuhan Presiden Soeharto pada Mei 1998. Lalu, kurang apa lagi?
Seandainya Leila tidak terlalu cerewet mengomentari berbagai hal politis, seperti tragedi 65 dan kerusuhan 1998, mungkin novel ini akan jadi lebih menarik. Untung saja, Leila adalah wartawan yang tahu betul cara bertutur, sehingga secara teknis novel ini tak bermasalah—meski cara penuturannya tak sepuitis Amba. Kelebihan utama Pulang adalah ceritanya soal eksil politik yang terdampar di Paris lalu membangun restoran untuk bertahan. Kisah ini sangat menarik.
Tokoh-tokoh dalam Pulang juga kuat: dari Dimas Suryo, Lintang Utara, hingga Segara Alam. Semuanya tampil manusiawi dan kompleks. Dari novel ini, kita juga bisa mendapat gambaran cukup dekat mengenai bagaimana para eksil politik itu memandang Indonesia—sesuatu yang ternyata sangat mengharukan.
Supernova: Partikel karya Dewi Lestari (Bentang Pustaka)
Betapapun ada yang nynyir terhadap novel ini dengan memasukkannya ke dalam daftar “Buku Tak Layak Terbit 2012”, saya justru ngotot memasukkan novel ini ke dalam list novel paling menarik tahun ini. Saya memang tidak sangat puas dengan Partikel tapi membaca novel ini tetap sesuatu yang mengasyikkan.
Seperti biasa, gaya penulisan Dee cukup sederhana, tapi dia tidak pernah kehilangan kemampuan menghasilkan kalimat yang menyentuh. Oleh karenanya, petualangan Zarah, betapapun kadang bisa ditebak, adalah sesuatu yang mengasyikkan untuk diikuti. Memang kengototan Dee untuk menyemburkan spiritualitas dalam balutan teoretis kadang menjengkelkan, tapi ada sejumlah bagian dari novel ini ketika Zarah benar-benar terlepas dari misi spiritualnya yang sangat menyentuh.
Harus dicatat: saya adalah pembaca Dee yang setia dan penilaian saya atas novel ini mungkin sangat subyektif. Melalui Partikel pula, Dee kembali menunjukkan bahwa dirinya adalah penulis yang menggarap karyanya dengan serius—lihat saja deretan referensi yang dijahitnya untuk bisa banyak bicara soal UFO dan jamur.
Amba karya Laksmi Pamuntjak (Gramedia Pustaka Utama)
Apa lagi yang harus dikatakan tentang novel ini? Terlepas dari gosip seputar proses penulisannya, Amba adalah novel yang bagus atau malah sangat bagus. Beberapa orang menganggap kata-kata puitis yang bertebaran dalam novel ini mengganggu, tapi saya justru sangat menikmatinya.
Kisah di dalam Amba kompleks, dengan tokoh-tokoh yang penuh dilema. Dari novel ini pula kita bisa mengetahui situasi dan sejarah kamp di Pulau Buru secara dekat dan menyentuh. Tentu ada banyak hal menarik dalam novel ini selain soal Buru: tentang cinta segilima, tentang kenangan yang cukup untuk bertahan hidup, tentang komitmen dan keliaran dalam cinta, dan sebagainya.
Dalam Amba, Laksmi menggabungkan tragedi 65 dengan petilan dari fragmen Mahabharata. Tentu Laksmi memperlakukan Mahabharata dengan lentur, dan hanya sebagai bayang-bayang yang kadang tampak kadang tidak. Namun, saat menjelajahi novel ini, saya justru lebih tertarik pada tokoh yang tak ada dalam Mahabharata, seperti Samuel, sebab tokoh seperti Bhisma dan Salwa kelihatan sangat terkekang pada cerita wayang itu.
Anak Danau karya Arie MP Tamba (Koekoesan)
Sampai sekarang saya masih heran kenapa perhatian terhadap Anak Danau begitu minim. Tidak masuk 10 besar Khatulistiwa Literary Award, dan jarang disinggung oleh banyak orang di Twitter dan sebagainya. Padahal, novel ini sangat menarik menurut saya. Berkisah soal hubungan Thomas dan Sabina dengan latar Negeri Naimbaton di pesisir Danau Toba, novel ini penuh dengan unsur lokalitas yang sering menjebak itu.
Namun, lokalitas dalam novel ini tidak diusap-usap sebagai masa lalu yang eksotis, tapi dihadirkan dengan pas dan secukupnya. Eksperimen Arie memecah novel ini ke dalam bab-bab yang sangat pendek—tiap bab terdiri dari 1 sampai 6 halaman—berhasil membuat kisah yang terputus-putus secara puitis dan menyentuh.
Arie juga tidak mau terikat pada alur waktu yang padu, dan memilih menghadirkan fragmen-fragmen yang kadang tak saling berkait satu sama lain. Maka fokus dalam novel ini, pada akhirnya, bukanlah kisah besar, tapi peristiwa-peristiwa yang sebagian besar berdiri sendiri.
NB: gambar diambil dari sini.
Komentar