Sekadar Komedi yang Terlalu Ramai

Ada sebuah nasihat lama yang saya kira masih terus berlaku hingga kini: segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Entah kenapa, saya kembali mengingat kata-kata bijak itu beberapa jam seusai menonton Film Demi Ucok yang disutradarai Sammaria Simanjuntak.
Saat menyaksikan film yang dibuat dengan skema crowd funding itu, kalimat tadi belum terlintas, tapi saat saya mencoba merenungkan pengalaman menonton yang baru berlalu itu, tiba-tiba saya memikirkan soal ketidakbaikan segala hal yang berlebihan.
Lalu, akhirnya saya tahu bahwa pikiran itu terlintas karena, bagi saya, Demi Ucok adalah sebuah film yang mengandung keberlebihan. Film panjang kedua Sammaria ini ternyata sangat berbeda dengan film pertamanya, Cin(T)a, yang begitu sunyi dan penuh kontemplasi. Menurut saya, Demi Ucok adalah film yang begitu ramai dengan suara, nyaris berisik, dan tidak memberi penonton sebuah jeda untuk beristirahat.
Seperti yang bisa Anda baca dalam banyak resensi dan promosi, Demi Ucok bercerita tentang hubungan ibu-anak berdarah Batak yang dipenuhi banyak perselisihan. Mak Gondut (Lina Marpaung) ingin agar putrinya, Gloria Sinaga alias Glo (Gerladine Sianturi), segera menikah. Namun, Glo belum ingin menikah dan justru ingin mengejar mimpinya membuat film.
Secara garis besar, perselisihan itulah yang menjadi sendi utama film ini. Banyak orang yang menyatakan bahwa Sammaria berhasil menghadirkan konflik ibu-anak tanpa terlalu banyak drama dan keharuan. Demi Ucok justru menghadirkan konflik itu dalam balutan humor sehingga perselisihan itu, bagi sebagian pengamat film, justru menjadi tampak ringan tanpa kehilangan kedalaman.
Dengan konstruksi pemikiran semacam itulah Majalah Tempo memilih film ini sebagai film terbaik tahun 2012. Konflik Glo dengan Mak Gondut dianggap bisa mewakili banyak persoalan serupa yang terjadi pada diri kita sehingga Tempo pun menyebut Demi Ucok sebagai “sebuah komedi keluarga yang mewakili kita semua”.
Terlepas dari klaim soal representasi yang mungkin keterlaluan itu, saya cukup sepakat bahwa konflik utama dalam film ini memang banyak terjadi pada keluarga Indonesia. Namun, bagi saya, hal itu bukanlah sesuatu yang istimewa. Sebab, bangunan kisah soal konflik orang tua-anak yang dilatari pilihan sang anak bukanlah sesuatu yang baru. Benar bahwa Sammaria membungkus konflik itu dengan cara berbeda, yakni dengan humor yang tanpa henti, tapi benarkah pengemasan macam itu hadir tanpa masalah sama sekali?
Bila kawan saya, Dina Indrasafitri, dalam resensinya di Jakarta Post, menyebut Demi Ucok sebagai sebuah drama tanpa terlalu banyak drama, saya justru ingin menyebut film ini sebagai komedi yang terlalu banyak mengandung komedi. Nyaris sepanjang film kita dibuat tertawa menyaksikan kekolotan Mak Gondut dan kekonyolan Glo serta teman-temannya, sampai-sampai, menurut saya, akhirnya kita lupa tentang apa film ini sebenarnya.
Seperti yang sudah saya sebut di awal, film ini mengandung begitu banyak suara sehingga kadar kebisingannya tinggi. Secara bercanda, mungkin kita bisa menyatakan bahwa keramaian itu adalah konsekuensi dari sebuah film yang berkisah tentang orang Batak, tapi jawaban seriusnya tentu saja bukan itu. Sammaria kelihatannya ingin terus-menerus melucu, dan akibatnya, ia membuat lucu semuanya.
Kesakitan Mak Gondut yang harusnya dipenuhi kesedihan akhirnya hanyalah sebuah komedi. Perjuangan Glo membuat film pun berakhir menjadi aktivitas lucu-lucuan juga. Mungkin saja Sammaria ingin menyampaikan sebuah statement bahwa segala masalah dalam hidup ini bisa dihadapi dengan ringan dan penuh humor, tapi saya tidak bisa melihat pernyataan itu tersampaikan dengan baik. Dalam pikiran yang paling putus asa, film ini bahkan mengingatkan saya pada Opera Van Java di Trans 7 yang berisi komedi tanpa henti dan melupakan kisah inti.
Mungkin akibat terlalu mementingkan komedi, alur kisah ini sering berjalan dalam tempo yang terlalu cepat sehingga kisahnya tak padu. Terselip pula sejumlah persoalan yang menurut saya membuat alur kisah film ini janggal. Yang utama adalah soal film yang dibuat Glo. Dalam banyak bagian, Glo menyatakan ingin membuat film yang idealis dan profesional, namun ternyata film buatannya yang berjudul Harimau Jadi-jadian itu justru tampak teramat konyol.
Saya juga tak menemukan alasan kenapa akhirnya Glo memilih membuat film soal harimau siluman yang mengejar perempuan Batak setengah tua, padahal sebelumnya ia ingin memfilmkan sosok ibunya secara biografis. Buat apa Glo mati-matian berselisih paham dengan ibunya dan berjuang mencari produser yang mau mendanai filmnya bila akhirnya film keduanya itu hanyalah sebuah kekonyolan? Atau, apakah Sammaria juga sedang berolok-olok saat memutuskan membuat kisah itu?
Saya tak tahu. Mungkin saja sebenarnya jawaban atas masalah itu ada di dalam film dan saya lah yang gagal menangkapnya. Tapi poin saya: film ini terlalu ramai dengan aksesoris sehingga akhirnya cerita sering tidak fokus dan alurnya pun berjalan tanpa kepaduan yang memadai.
Keramaian Demi Ucok juga terlihat dengan banyaknya efek-efek visual berupa gambar ilustrasi. Tentu saja itu tidak masalah karena dalam beberapa bagian, ilustrasi itu memperkuat cerita, tapi lama-kelamaan saya merasa gambar-gambar ilustratif itu menjadi terlalu sering. Akibatnya, secara visual, film ini juga menjadi terlalu ramai.
Secara keseluruhan, saya menikmati film ini sebagai sebuah komedi yang ramai dan hingar bingar. Namun, tak seperti diklaim beberapa pihak, saya hampir tak bisa mengambil renungan apa-apa dari film ini. Mengambil kata-kata Mumu Aloha saat mengomentari Life of Pi, saya terhibur menonton Demi Ucok tapi saya tak merasa seperti “robot yang dilolosi sekrup-sekrupnya” setelah menyaksikan film ini.
NB: foto diambil dari sini.
mantap nih analisanya.