Serpih Peristiwa di Duren Sawit
Itulah kenapa saya sering menyebut meliput politik adalah sebuah tugas sedih. Perasaaan macam itu pula yang saya rasakan sekitar dua minggu terakhir ketika saya secara intensif meliput hiruk-pikuk di sekitar penetapan mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, sebagai tersangka dalam kasus Hambalang.
Sejak Anas ditetapkan sebagai tersangka pada Jumat, 22 Februari lalu, saya ikut meliput peristiwa itu dari jarak dekat. Jumat siang, sebelum Anas ditetapkan sebagai tersangka, saya sudah berada di sekitar rumahnya di Duren Sawit. Sehabis sholat Jumat kala itu, saya dan sejumlah wartawan sempat mewawancarai Anas di depan Masjid Al Hikmah yang terletak beberapa ratus meter dari rumah Anas.
Malam harinya, ketika dia ditetapkan sebagai tersangka, saya kembali ke Duren Sawit untuk meliput hiruk-pikuk di sekitar rumah Anas. Saya bertahan di sana hingga dini hari. Sejak itu, hampir setiap hari saya “berjaga” di Duren Sawit. Menunggu dari pagi hingga malam, kadang-kadang sampai tengah malam, untuk meliput apakah Anas dikunjungi oleh tokoh politik berpengaruh atau tidak.
Tugas semacam itu jelas membosankan, tapi bagi seorang wartawan, kebosanan—juga kesedihan—adalah hal yang tak terelakkan dalam tugas. Untungnya, ada sejumlah peristiwa kecil yang menarik dan menghibur saat meliput di Duren Sawit.
Peristiwa favorit saya adalah kedatangan Said ke Duren Sawit. Said adalah pria bertubuh tinggi besar, dengan kepala gundul plontos, suara besar, dan kemampuan untuk mengumbar sesumbar yang tak habis-habis. Karena perawakan fisiknya, seorang kawan dengan sangat keji menjuluki Said sebagai “Phil Collins”.
Sama seperti para wartawan, Said hampir setiap hari datang ke rumah Anas, memarkirkan sepeda motornya di depan pintu rumah yang menghadap Jalan Teluk Semangka, lalu bergaya bak penjaga keamanan di sana. Sesungguhnya, Said bukanlah penjaga keamanan, meski dia berusaha keras untuk tampak seperti itu.
Seorang wartawan memberi tahu saya bahwa Said adalah warga kampung sebelah. Entah apa tujuannya datang ke rumah Anas tiap hari. Yang jelas, Said suka berlagak mengatur. Kalau ada mobil dan motor yang parkir agak sembarangan, dia akan marah-marah dan memerintahkan kendaraan itu dipindah.
Said juga suka mengatur pedagang keliling yang kadang mampir di sekitar rumah Anas. Suatu sore, dia pernah memarahi pedagang es cendol yang dianggapnya “parkir sembarangan”.
Yang juga lucu, Said suka bergaya di depan kamera. Setiap kali ada tokoh yang diwawancarai di sekitar rumah Anas, dia akan berada di belakang sang tokoh supaya gambarnya tampak di televisi atau terjepret oleh fotografer. Seandainya Anda penggemar berita politik yang suka menonton liputan di rumah Anas, seharusnya Anda pernah melihat Said. (Atau, coba cari wajah Said pada foto di atas).
Hal kecil lain yang menarik adalah tentang anak-anak Anas. Seperti diketahui, Anas Urbaningrum punya empat anak. Yang paling tua masih bersekolah di SMP. Menurut satu teman, anak-anak ini kadang suka nakal. Suatu saat, ada teman yang disiram air dari dalam rumah oleh salah seorang anak itu. Saya kira, anak-anak Anas mungkin belum mengerti apa yang sesungguhnya terjadi dengan ayahnya dan kenapa hampir tiap hari ada orang-orang asing yang duduk-duduk di sekitar rumah.
Satu saat, ketika mengikuti rombongan Kompas TV yang hendak mewawancarai Anas, saya sempat bertemu anak keempat Anas. Bocah perempuan bertubuh gemuk itu sangat lucu. Dia berlarian ke sana ke mari di dalam rumah, dan mengajak ayahnya untuk main-main. Padahal waktu itu Anas sedang ngobrol dengan beberapa petinggi Kompas TV. Dari peristiwa itu saya tahu, anak perempuan itu bisa dikatakan steril dari hiruk-pikuk politik yang melingkupi ayahnya.
Peristiwa menarik yang terbaru adalah kedatangan Ratna Dilla, seorang penyanyi dangdut yang dengan gagah disebut sebagai “Nike Ardilla baru” ke rumah Anas. Saya dan kawan-kawan sempat heran: apa hubungan Anas dengan biduan itu? Tapi, untungnya, Ratna datang bukan untuk mencari Anas, tapi mencari seorang loyalis Anas, seorang mantan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Demokrat, yang sejak beberapa hari terakhir ikut tinggal di Duren Sawit.
Ratna datang hanya sebentar. Setelah memastikan “sang kangmas” tidak ada, dia lalu pergi. Tapi, sebelum pergi, dia sempat membagi-bagikan CD berisi single barunya yang berjudul “Cintaku Takkan Berubah”.
Hari itu, seorang kawan dari media online berencana menuliskan gosip kedekatan Ratna dengan sang mantan ketua DPC. Saya tak tahu apakah ia melaksanakan niatnya itu secara sungguh-sungguh atau tidak. Tentu saya tak menulis berita soal kedatangan Ratna itu, seperti saya tak pernah menyebut Said dalam berita-berita saya. Kehadiran mereka mungkin memang tak terlalu penting bagi pembaca berita, tapi serpih peristiwa itu tetap layak dicatat — setidaknya dalam tulisan curhat semacam ini–sebagai serpih kecil di antara kisah besar yang terjadi di Duren Sawit.
mantan ketua dpc cilacap ya?
@mumu: he2. kamu tahu jawabannya Mas 😀