Realisme yang Tanpa Tujuan
Hari ini saya membaca lagi—entah untuk yang ke berapa—“Seribu Kunang-kunang di Manhattan” dan anehnya, saya masih terus terkesan pada cerpen yang dibuat puluhan tahun lalu itu. Saya lupa kapan pertama kali membaca cerita yang meraih penghargaan sebagai cerpen terbaik Majalah Horison tahun 1968 itu, tapi yang jelas, kisah itu meninggalkan jejak yang panjang di benak saya.
Sebenarnya saya tidak terlalu mengidolakan Umar Kayam—seorang pengarang yang kadang menurut saya terlalu sosiologis dan antropologis—sebab sejumlah karyanya yang pernah saya baca juga tidak meninggalkan kesan mendalam. Para Priyayi dan sekuelnya, Jalan Menikung, misalnya. Saya menyukai dua novel itu, tapi tak banyak yang bisa saya ingat dari dua buku itu setelah saya membacanya bertahun-tahun lampau.
Sebaliknya, saya merasa masih mengingat percakapan Jane dan Marno dalam “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” hingga sekarang. Saya tak akan melupakan nuansa yang muncul dari percakapan sepasang kekasih itu, bagaimana absurdnya pertanyaan-pertanyaan Jane, betapa kikuknya Marno menanggapi cerita pasangan selingkuhnya itu, juga bagaimana Kayam membuat banyak adegan yang “tak berarti apa-apa” dalam cerita itu.
Apa yang paling saya sukai dari cerita itu adalah realismenya yang sungguh natural sehingga, menurut saya, “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” hampir—atau malah sudah?—mencapai taraf sebagai “cerita yang tanpa tujuan”. Jangan berharap ada sesuatu yang bisa kita lihat sebagai—atau bahkan menyerupai—sebuah “pesan moral”. Jangankan pesan moral, Kayam bahkan tak menampakkan pendirian moral apa-apa dalam karya itu.
Yang lebih membuat saya terkesan adalah Kayam tak menghadirkan dramatisasi. Dulu, saat belajar bahasa Indonesia di sekolah, guru-guru kita sering menyatakan bahwa syarat utama sebuah cerita pendek adalah adanya drama. Dan drama membutuhkan konflik, yang hampir selalu berjalan dalam skema tiga babak—pembukaan, inti, penutup.
Dalam “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”, saya hampir tak menemukan skema tiga babak itu—setidaknya tidak secara verbal—dan kisah itu berjalan “hampir tanpa tujuan”. Tentu saja tetap ada konflik yang lamat-lamat: Marno yang mengingat desa dan istrinya, Jane yang terus meracau supaya tak terlihat membosankan, juga hubungan keduanya yang tak lancar. Tapi semua itu muncul secara lamat-lamat, tanpa dramatisasi apa-apa, juga tanpa klimaks yang membuat tegang.
Sesungguhnya, yang paling saya sukai dari cerita itu adalaha ceracauan Jane yang sungguh-sungguh kacau dan melompat-lompat tanpa maksud jelas. Lihat bagaimana Jane seenaknya menyatakan bahwa ia merasa Tommy—bekas suaminya—sedang berada di Alaska. Ketika Marno mengatakan bahwa minggu kemarin Tommy masih ada di Texas atau Kansas, Jane dengan yakin menjawab, “ Aku bilang, aku me-ra-sa Tommy berada di Alaska.”
Absurd? Iya, tapi menjadi lebih absurd ketika Jane menyinggung tentang adat orang Eskimo untuk “menyuguhkan istri kepada tamu” dan ia berharap Tommy tak kesepian di Alaska karena adat itu masih berlaku. Sesudah itu, perkataan-perkataan Jane makin membingungkan, dan di antara kegagapan menanggapi semua pembicaraan itu, Marno yang melihat lampu-lampu di antara pencakar langit di Manhattan tiba-tiba mengingat desanya yang penuh kunang-kunang. Kelak, di antara ceracau Jane yang makin tak jelas, ia juga akan mengingat istrinya yang berjarak ribuan kilometer darinya.
Dari judulnya, juga berdasar pembandingan antara lampu Manhattan dan kunang-kunang, orang bisa melakukan tafsir secara sosiologis bahwa “Seribu Kunang-kunang di Manhattan” berisi tentang kegagapan seorang yang berasal dari sebuah desa di Indonesia ketika berhadapan dengan realitas kebudayaan di New York, tapi, tentu saja, saya tak menyukai tafsir literal nan kering semacam itu.
Saya lebih suka menganggap cerpen ini sebagai kisah realis tentang bagaimana hidup bisa menjadi begitu absurd, begitu tanpa tujuan. Dan dalam hidup yang semacam itu, kau tak bisa meninggalkan kontradiksi. Jane membicarakan mantan suaminya dengan selingkuhannya, sementara Marno mengingat istrinya saat sedang mencoba menenangkan kekasih gelapnya.
Seperti dalam cerita itu, kadang-kadang kita memang menghadapi situasi yang aneh dan penuh paradoks, di mana standar moralitas dan akal sehat sering tak bisa dipakai. Dan, saat terjebak dalam situasi semacam itu, kita mungkin bisa meniru Marno dan Jane yang menerima kondisi itu dengan lapang dada, lebur di dalamnya tanpa kekhawatiran yang terlalu besar, lalu menjalani kehidupan tanpa harus menilai.
Dalam kata pengantar kumpulan cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan yang diterbitkan Grafiti, dikatakan bahwa realisme Kayam adalah “realisme yang tak memihak”. Saya setuju dengan penilaian yang dikutip dari pendapat Harry Aveling itu, dan barangkali karena itu pula saya selalu dibuat terkesan dengan cerpen ini.
Tapi, bagi saya, dalam cerita ini, realisme Kayam bukan hanya tak memihak, tapi dia juga tanpa tujuan. Maksud saya, dalam cerpen ini, Kayam membuat cerita tanpa tujuan lain apa-apa—seperti memberi pesan tertentu—kecuali menghasilkan kisah yang asyik. Dari sini, mungkin kita bisa mengatakan bahwa kisah yang asyik dan mengesankan kebanyakan lahir dari penulis yang tak memiliki pretensi lain apa-apa. Mungkin.
NB: foto diambil dari sini.
Ris,
Aku mengenal cerpen “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan” justru dari guru bahasa Indonesiaku semasa SMA–guru yang malah menceritakan cerpen ini dalam versi yang ngawur, dengan tokoh Jane diubah jadi Chikitia (aku lupa Marno diubah jadi apa. Bahkan, guru ini, selama 3 tahun mengajar, cerpen yang dikenalkan ya cuma ini. Haha.
Selepas SMA, aku baca cerpen ini dalam versi aslinya–bukan versi guru tadi. Tapi cerpen ini tak punya kesan mendalam buatku. Kisah di balik mengenal cerpen itulah yang amat berkesan buatku. Lamat-lamat, suara guru tersebut jadi terdengar lagi hari ini. Makasih sudah menuliskannya, Ris!
NB: realisme yang tanpa tujuan. “Tanpa tujuan” mungkin bisa jadi estetika di beberapa kebudayaan di Indonesia. Dalam gamelan Jawa misalnya, di sana “waktu” adalah ruang menunggu dan berputar, bukan sarana menuju ke sesuatu, seperti halnya musik-musik Barat. Ini tafsir ngasal sih. Jangan serius, masnya…
wah cerita yang seru, roy. hehehe. btw, ada beberapa teman yang juga bilang mereka ga terlalu suka dengan “Seribu Kunang2 di Manhattan”. mungkin memang seleraku aneh ya 😀
yang kadang2 tanpa tujuan itu adalah hidup, roy. kalau seni tradisional kebanyakan sih “bertujuan” 😀