Dongeng Fantastis Murjangkung
Seandainya hari ini saya diminta menyebutkan lima penulis Indonesia kontemporer yang karyanya paling penting dan harus dibaca, dipastikan saya akan menjawab A.S. Laksana sebagai salah satunya. Bagi saya, Sulak—demikian konon ia biasa dipanggil oleh kawan-kawannya—adalah seorang penulis dengan tingkat kepengrajinan yang tak perlu diragukan lagi sehingga tulisan-tulisan yang dibuatnya hampir selalu terasa enak dibaca.
Beberapa tahun terakhir, nama Sulak memang tidak terlalu terdengar gaungnya, sebab sejak kumpulan cerpen pertamanya, Bidadari yang Mengembara, terbit pada 2004, dia cukup lama tak menerbitkan buku fiksi. Dua cerita bersambung yang ditulisnya di dua koran berbeda, entah kenapa, hingga sekarang tak pernah dicetak dalam bentuk buku.
Untungnya, awal tahun ini, kita kembali mendapati karyanya, sebuah kumpulan cerpen berjudul Murjangkung, Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu, yang tampaknya diterbitkan secara independen oleh Sulak. Berisi 20 cerpen yang seluruhnya pernah dimuat di media massa, buku ini beredar dalam dua format—cetak dan digital—yang hanya bisa didapat dengan memesan langsung ke penulisnya.
Saya sudah menamatkan Murjangkung beberapa bulan lalu, dan telah lama berniat untuk membuat sebuah ulasan, tapi niatan itu selalu tertunda-tunda. Ketika kemudian saya benar-benar memutuskan untuk menulis soal buku itu, saya memilih untuk terlebih dulu membaca kembali cerpen-cerpen di dalam Bidadari yang Mengembara untuk membuat semacam perbandingan.
Sebagai pelengkap, saya juga membaca sejumlah ulasan atas buku itu, termasuk review Majalah Tempo yang memilih kumpulan tersebut sebagai karya sastra pilihan tahun 2004. Dan, dari upaya itu, akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa cerpen-cerpen Sulak tak banyak berubah, sebab karakter cerita yang saya temukan dalam Murjangkung tak jauh berbeda dengan kisah-kisah dalam Bidadari yang Mengembara.
Seusai membaca Murjangkung, dengan alasan yang awalnya tak terlalu jelas, saya menganggap cerpen-cerpen Sulak sebagai semacam dongeng. Barangkali karena kejadian-kejadian di dalam cerpen itu seringkali bersifat fantastis dan jauh dari bayangan kita ihwal kehidupan sehari-hari. Di dalam cerita Sulak, kita memang bakal menemukan rangkaian peristiwa yang tak terduga, nyleneh, dan susah dipercaya—baik yang masih bisa dianggap sebagai kisah realis atau yang sepenuhnya surealis.
Cerpen “Perempuan dari Masa Lalu”, misalnya, jelas masuk dalam golongan realisme meskipun cerita itu dibangun dengan sejumlah kebetulan—sesuatu yang seringkali dianggap “haram” terkandung dalam sebuah fiksi. Dalam cerita itu, tokoh Seto bertemu secara tak sengaja dengan seorang perempuan yang ia yakini merupakan kekasihnya di masa lalu, lalu keduanya berbincang meskipun lalu terpisah, untuk kemudian bertemu kembali secara tak sengaja.
Sementara itu, dalam cerpen lainnya, seperti “Otobiografi Gloria” dan “Dongeng Cinta yang Dungu”, Sulak bermain-main dengan surealisme. Akan tetapi, sebenarnya, di dalam semesta karya Sulak, batas antara realisme dengan surealisme tidak pernah sungguh-sungguh jelas. Pasalnya, bahkan kisah-kisah Sulak yang paling realis sekalipun tetap sulit untuk dipercaya, tapi, justru tepat pada titik itulah terletak ciri khas karya penulis kelahiran Semarang tersebut.
Bagi saya, berbeda dengan kebanyakan penulis yang ingin pembaca mencerna cerita tuturannya sebagai “masuk akal”, Sulak tak peduli apakah ceritanya bisa dipercaya atau tidak. Dalam beberapa kisahnya, Sulak bahkan jelas-jelas menunjukkan bahwa ia hanya membual, atau setidaknya, ia secara jelas menunjukkan bahwa cerita yang dituturkannya tidak sepenuhnya akurat.
***
Supaya cerita-ceritanya dikenali sebagai sebentuk dongeng atau bualan, secara jahil Sulak seringkali memunculkan sosok narator dengan jelas dalam cerpen-cerpennya. Saya kira, kemunculan narator ini juga menjadi ciri yang terus berulang pada karya-karyanya, baik dalam Bidadari yang Mengembara maupun Murjangkung. Majalah Tempo pernah menyinggung soal kemunculan narator ini, demikian pula ulasan yang dibuat Windy Ramadhina di blognya.
Sejauh pembacaan saya, ada dua jenis narator dalam cerpen-cerpen Sulak. Jenis pertama adalah narator yang murni narator, dalam arti ia tak memiliki kaitan apa-apa dengan cerita yang dituturkannya. Jenis kedua adalah narator yang memiliki kaitan dengan cerita yang ia tuturkan, apapun bentuk keterkaitan itu.
Narator jenis pertama, antara lain, muncul dalam cerpen “Bagaimana Murjangkung Membangun Kota dan Mati Sakit Perut” dan “Seorang Lelaki Telungkup di Kuburan”. Dalam cerita-cerita itu, kita bertemu dengan sosok narator yang memperkenalkan diri, tapi tak ada hubungannya dengan cerita: ia tak menjadi tokoh atau punya keterkaitan dengan jalannya kisah.
Pada “Bagaimana Murjangkung Membangun Kota dan Mati Sakit Perut”, sang narator menyampaikan bahwa cerita yang hendak dituturkannya itu harusnya dibaca dalam situasi tenang, sementara dalam “Seorang Lelaki Telungkup di Kuburan”, penutur kisah muncul dengan dua kalimat ini:
Harus kukatakan kepadamu sejak awal bahwa ini bukan cerita yang kukarang sendiri. Aku hanya berusaha menyelam ke dalam diri seseorang yang tak kukenal dan mencoba menuturkan kisahnya menurut apa yang kurasakan.
Adapun narator jenis kedua muncul, antara lain, dalam “Otobiografi Gloria”, “Bagaimana Kami Selamat dari Kompeni dan Sebagainya”, dan “Cerita untuk Anak-anakmu”. Di dalam cerita yang saya sebut terakhir, sang narator muncul di sepanjang cerita bukan sebagai tokoh (seperti yang terjadi pada dua cerita yang saya sebut lebih awal), tapi tetap sebagai narator. Atau, barangkali, sang narator dalam cerpen itu adalah sang tokoh sekaligus.
Ya, cerpen itu memang berkisah tentang seseorang yang hendak mengisahkan sebuah dongeng kepada anak-anak dari sosok yang diajaknya bicara (ia berkali-kali menyebut “kau” dan “anak-anakmu”). Dongengnya sendiri picisan belaka, berisi kisah cinta penyanyi dangdut yang menikah dengan seorang anggota DPR lalu meminta cerai. Bagi saya, cerpen ini menarik karena kita menemukan cerita di dalam cerita, dongeng di dalam dongeng, dan pencerita yang mengisahkan seorang pencerita.
***
Menurut saya, kemunculan narator secara tegas dalam cerita-cerita Sulak membawa konsekuensi bahwa pembaca akan merasa berjarak dengan kisah tersebut. Sebab, kehadiran narator otomatis membuat dikotomi antara pembaca dengan penulis terasa jelas. Saat membaca cerpen Sulak, pembaca menjadi seperti pendengar dongeng yang melihat langsung sang penutur dongeng.
Akibat dari proses itu jelas: pembaca akan susah masuk ke dalam dunia reka yang diciptakan Sulak, dan kesulitan untuk merasa terlibat dengan tokoh-tokohnya—sebab kita sebagai pembaca tahu bahwa mereka cuma tokoh dongeng, tak berada dalam “kenyataan”.
Hal itu boleh saja bisa disebut sebagai kelemahan, tapi, bisa jadi Sulak memang tak ingin melibatkan kita di dalam cerita-ceritanya sebab ia tak hendak menjadikan cerpennya sebagai sebuah “dunia yang menyerupai kenyataan”. Yang ia inginkan, barangkali, adalah menyajikan dongeng yang bisa memikat kita meski pada saat bersamaan kita tahu bahwa cerita itu barangkali hanya bualan atau tak akurat.
Saya kira, bila benar itu yang ia inginkan, Sulak sudah berhasil. Sebab, sebagai pencerita, ia memiliki kemahiran yang membikin iri. Kalimat-kalimatnya kompleks tapi tetap jernih, detail yang diterakannya penuh nuansa, dan alur yang dibangunnya begitu lentur dan kadang melantur tapi dengan serta merta bisa kembali ke fokus yang diinginkannya. Dengan semua keterampilan itu, maka tiap dusta serta bual yang dibuat Sulak berpotensi menjadi kebohongan yang bisa dinikmati dan, sebagai pembaca, saya merasa hal itu sudah lebih dari cukup.
NB: foto diambil dari sini.
Komentar