Semusim Surealis yang Mengubah Segalanya
Perempuan itu baru saja lulus SMA dan sedang bersiap melanjutkan kuliah di jurusan sejarah ketika sebuah surat kaleng sampai padanya. Ia membaca surat itu, terkejut oleh kenyataan yang dipaparkan di sana, dan sesudah itu, hidupnya tak lagi pernah sama. Dia pergi meninggalkan rumah dan ibunya, lalu tinggal di sebuah kota asing, untuk menantikan sebuah pertemuan yang hampir-hampir tak pernah tercapai.
Kelak, ia justru bertemu seekor ikan mas koki yang bisa bicara dan mengendalikan hidupnya, tapi sebelum sampai di bagian itu, perempuan tersebut akan lebih dulu bercinta dengan seorang pemuda yang kemudian ditusuknya hingga nyaris tiada. Pada bagian yang lebih kemudian, perempuan itu akhirnya dirawat di rumah sakit jiwa.
Saya tak tahu apa hubungan kisah semacam itu dengan puisi Sitor Situmorang yang berjudul “Surat Kertas Hijau”, tapi Andina Dwifatma, sang penulis cerita, mengutip sajak itu di sampul belakang novel pertamanya ini. Judul novel ini, Semusim, dan Semusim Lagi (Gramedia Pustaka Utama, April 2013), memang mengambil satu baris dari “Surat Kertas Hijau”, tapi sesungguhnya dua karya itu nyaris tak memiliki kaitan apa-apa.
Semusim, dan Semusim Lagi merupakan pemenang sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta tahun lalu, dan para juri lomba itu mendeskripsikan teknik penceritaan karya ini dengan empat kata yang sungguh mengerikan: intens, serius, eksploratif, dan mencekam. Tentu saja pendapat itu berlebihan, sebab semua komentar pendek yang ditampilkan di kover sebuah buku memang selalu berlebihan.
Bercerita ihwal seorang remaja perempuan intorvert yang hendak bertemu ayahnya, novel ini sebenarnya dimulai dengan awal yang kurang meyakinkan. Cerita tentang surat misterius yang datang tiba-tiba dan mengubah hidup seorang tokoh bukanlah satu plot yang sungguh-sungguh baru, namun rangkaian kisah sesudah itu bisa menyelamatkan permulaan yang sedikit meragukan tersebut.
Sebentar saja kita akan jatuh cinta pada sang “aku” dalam novel ini, sebab dia memang tipikal tokoh yang mudah dicintai: muda, aneh, penyendiri, eksentrik, dan sedikit gila. Remaja perempuan itu hampir-hampir tak pernah bicara dengan ibunya, dan ia sama sekali tak mengenal sang ayah. Tentu saja dia menyukai buku (semua tokoh dengan karakter aneh di dalam novel pasti menyukai buku) dan dia sering berpikir secara agak random.
Sesudah menerima surat kaleng yang ditulis oleh seseorang yang mengaku sebagai ayahnya, perempuan itu memutuskan pergi ke Kota S untuk menemui bapak yang tak diingatnya. Di kota itu, ia tinggal sendirian di sebuah rumah yang sudah disiapkan, sebab sang ayah masih sakit parah dan belum bisa menemuinya. Lalu, kejadian-kejadian yang aneh pun terjadi.
Puncak dari semua kejadian itu adalah saat ia berjumpa dengan Sobron, seekor ikan mas koki yang bisa bicara dan tahu segalanya. Sobron memberi tahu bahwa sang perempuan hamil, dan satu ketika, ikan itu menyodorkan sebuah pisau untuk menusuk Muara, lelaki yang konon menghamili perempuan tersebut. Muara hampir meninggal dunia, dan sang perempuan digelandang ke kantor polisi, sebelum kemudian dipindahkan ke rumah sakit jiwa.
Dengan pelbagai hal ganjil di dalamnya, saya menganggap Semusim, dan Semusim Lagi sebagai novel surealis—atau setidaknya, setengah surealis. Bukan hanya karena di dalamnya ada ikan mas koki yang bisa bicara dan seorang janda tua yang menyebut ikan itu sebagai reinkarnasi suaminya, tapi juga karena sejumlah kejadian di dalam novel ini dikendalikan oleh logika yang non-realis.
Dalam novel ini, mimpi dan khayalan memiliki peranan yang sama pentingnya dengan kenyataan untuk membangun cerita yang utuh. Ada beberapa bagian dalam novel ini yang dikisahkan sebagai mimpi dari tokoh utamanya, tapi, dipandang dari keseluruhan bangunan novel, isi mimpi itu merupakan pelengkap dari berbagai peristiwa nyata yang terjadi sebelumnya.
Momen-momen penting yang dikisahkan sebagai mimpi, antara lain, adalah pertemuan “sang aku” dengan ibunya yang terjadi di sebuah angkringan, atau pertemuan “sang aku” dengan Muara di rumah sakit jiwa. Kita tahu kejadian-kejadian itu barangkali hanya khayalan sang tokoh, yang berarti sebenarnya tak sungguh-sungguh terjadi, tapi bila kita menganggap peristiwa itu tak pernah ada, maka novel ini akan jadi rumpang. Karenanya, mau tak mau, kita harus menganggap mimpi itu sebagai “kenyataan” yang melengkapi kenyataan sebelumnya.
***
Bagi saya, unsur surealis dalam Semusim, dan Semusim Lagi adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, hal itu bisa disebut sebagai kelebihan, sebab beberapa tahun terakhir surealisme adalah sesuatu yang tak akrab dengan novel Indonesia. Novel-novel Indonesia mutakhir lebih banyak dipenuhi cerita sejarah dan kisah teka-teki, dan semua karya dengan dua unsur itu tentu harus berjalan dalam logika realis.
Sesudah Tak Ada Santo dari Sirkus karya Seno Joko Suyono yang sangat surealis, kita terus-menerus disuguhi sejarah, sejarah, dan sejarah. Dan malangnya, sejarah yang dieksplorasi juga tak variatif, seperti kejadian 1965 yang konon dianggap tak pernah habis untuk dikisahkan itu. Tahun lalu, setidaknya ada tiga novel berbau sejarah 1965 dan semuanya mendapat banyak perhatian.
Akan tetapi, menurut saya, surealisme yang tampak dalam Semusim, dan Semusim Lagi juga menjadi kelemahan. Sebab, unsur itu muncul secara tiba-tiba di bagian tengah dan melabrak bangunan kisah realis yang dibangun di awal-awal. Dan malangnya, bangunan kisah realis di awal novel ini jauh lebih menarik daripada konstruksi cerita surealis di tengah hingga akhir buku.
Itulah kenapa saya mulai membaca novel ini dengan perasaan suka tapi mengakhirinya dengan sedikit mual. Saya tak menganggap unsur surealisme dalam novel ini benar-benar diperlukan dan cerita akan tetap baik-baik saja walaupun Sobron tak muncul dan sang tokoh utama tak bertemu ibu dan kekasihnya dalam mimpi.
Kemunculan Sobron, pada akhirnya, hanya menambah keruwetan, dan meruntuhkan banyak potensi kisah menarik yang sebelumnya muncul. Hubungan tokoh utama dengan Muara, misalnya, belum habis dieksplorasi tapi sudah harus terputus gara-gara munculnya seekor ikan mas koki yang bisa bicara. Hubungan tokoh utama dengan sang ayah, yang sejak semula menjadi unsur utama novel ini, bahkan tak sempat dikembangkan sama sekali.
Saat mulai membaca novel ini, saya seperti anak kecil yang diberi harapan akan munculnya kisah-kisah luar biasa, tapi di bagian tengah, harapan itu mulai pupus dan akhirnya benar-benar sirna di bagian akhir. Sayang sekali, sebab rasanya seperti dibohongi atau patah hati, tapi Andina Dwifatma, saya kira, masih akan menulis novel yang lebih mengasyikkan daripada debutnya ini.
1 Response
[…] http://harisfirdaus.id/2013/05/semusim-surealis-yang-mengubah-segalanya/ (diakses pada 28 Juni 2017 pukul 19.10 WIB) […]