Anak Kandung Pluralisme
Usianya baru 16 tahun, tapi tutur katanya berani, argumennya jernih, dan dia tak malu-malu mengungkapkan pendapatnya soal diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas di Indonesia. Sebagai bagian dari kaum minoritas, Sandra merasakan berbagai diskriminasi, juga melihat sendiri aksi kekerasan sejak masih belia.
Saat berusia 11 tahun, Sandra diajak kedua orang tuanya mengikuti aksi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) pada 1 Juni 2008 di kawasan Monumen Nasional, Jakarta, untuk memperingati Hari Lahir Pancasila. Kita tahu, aksi tersebut kemudian bubar sebelum waktunya karena diserbu oleh sekelompok orang yang memakai atribut Front Pembela Islam.
Saat penyerangan terjadi, Sandra dan keluarganya tak terluka. Namun, trauma yang muncul karena peristiwa itu membekas dalam. “Waktu itu saya masih kelas 5 SD. Saya lihat darah di depan mata, juga para penyerang yang membawa bambu berujung runcing. Ada beberapa jamaah masjid saya yang kepalanya bocor,” kata Sandra.
Bertahun-tahun sesudah kejadian itu, Sandra kembali merasakan pahitnya menjadi kelompok minoritas. Pada Kamis malam, 4 April 2013, Pemerintah Kota Bekasi menyegel Masjid Al Misbah di kawasan Pondok Gede, tak jauh dari tempat Sandra dan keluarganya tinggal. Sehari-hari, masjid yang berdiri sejak 1998 itu merupakan tempat Sandra dan para tetangganya sesama penganut Ahmadiyah beribadah.
Pintu Masjid Al Misbah dirantai dan di sekelilingnya dipasang lembaran-lembaran seng untuk menghalangi jalan keluar masuk. Warga Ahmadiyah terpaksa beribadah di rumah. “Saat penyegelan, ayah saya bersama sejumlah jamaah lain memilih bertahan di dalam masjid. Dia baru keluar seminggu kemudian,” ujar Sandra.
Ketika saya bertanya kenapa masjid itu harus disegel, Sandra dengan tegas menyebut perbedaan keyakinan sebagai pangkal persoalan. Yang mengejutkan, dia kemudian mengelaborasi jawabannya itu dengan penjelasan panjang tentang ajaran Ahmadiyah, termasuk tentang Mirza Ghulam Ahmad dan Tadzkirah, yang pada pokoknya menolak tuduhan sebagian kalangan Islam bahwa kelompok itu merupakan aliran sesat.
“Saya baca Al Quran, saya sholat, saya puasa. Syahadat saya juga sama dengan orang Islam lain,” katanya. Oleh karenanya, dia tak habis pikir kenapa harus ada penyegelan masjid. “Kami nggak pernah berbuat onar atau buat kerusakan. Kami cuma beribadah di situ, meyakini apa yang kami yakini.”
Di bagian agak akhir wawancara, Sandra mengungkap kekesalannya pada pemerintah yang tak berdaya mengatasi masalah intoleransi. “Saya kecewa dengan pemerintah. Kalau Indonesia benar-benar menjunjung Bhinneka Tunggal Ika, harusnya nggak ada kejadian semacam itu,” katanya.
***
Saya bertemu Sandra dalam acara peringatan Hari Anak Indonesia pada Sabtu, 27 Juli lalu di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Acara yang diselenggarakan oleh 11 lembaga pemerhati hak anak itu menghadirkan sekitar 100 anak dari berbagai kelompok minoritas, misalnya Ahmadiyah, Sunda Wiwitan, jamaah Gereja HKBP Filadelfia di Bekasi, jamaah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin di Kota Bogor, Jawa Barat, dan lainnya.
Dalam acara itu, anak-anak dari kelompok minoritas diajak melupakan sejenak masalah mereka dengan bernyanyi, mendengarkan dongeng, dan bermain bersama. Namun, persoalan diskriminasi yang mereka terima juga terus disuarakan, antara lain melalui surat, puisi, dan gambar.
Di sela-sela acara itu pula saya menjumpai Edo, remaja 12 tahun yang menjadi jamaah GKI Taman Yasmin. Pada salah satu sesi, Edo membacakan surat yang ditulisnya untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Bapak masih ingat saya? Saya Edo yang tahun lalu pernah kirim surat sama Bapak,” tulisnya.
Seperti diketahui, Pemerintah Kota Bogor membekukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) GKI Taman Yasmin pada 2008. Mahkamah Agung dan Ombudsman Republik Indonesia telah memerintahkan pembekuan IMB itu dicabut, namun hingga kini pembangunan gereja itu tetap tak bisa dilanjutkan.
Pada Oktober 2012, Edo mengirim surat pada Presiden Yudhoyono namun tak ada balasan. “Sekarang saya buat surat lagi untuk Bapak, isinya masih sama kayak dulu. Kalau bisa, tolong Bapak bilang ke Walikota Bogor untuk buka gereja saya,” ungkapnya.
Dia juga menuliskan pengalamannya beribadah di trotoar depan bangunan GKI Taman Yasmin dan di depan Istana Merdeka. “Emangnya salah kami di mana? Mau ibadah saja harus panas-panasan sampai hujan-hujanan segala,” tutur Edo yang mengaku sudah 30 kali ikut beribadah di depan Istana Merdeka.
Edo cukup fasih bercerita soal kasus GKI Taman Yasmin. Dia, misalnya, tahu soal tuduhan pemalsuan tanda tangan yang dijadikan salah satu dasar untuk menyegel bangunan gereja. Dia juga paham ihwal penolakan dari kelompok tertentu terhadap keberadaan gereja.
Yang mengejutkan saya, ternyata Edo memang terlibat aktif dalam hampir semua aktivitas advokasi GKI Taman Yasmin. Sebab, sang ibu, Renata Anggraeni, tak lain adalah salah satu anggota tim advokasi kasus itu. Sejak awal mula penyegelan, Renata mengaku selalu mengajak Edo dalam berbagai aktivitas terkait GKI Taman Yasmin.
“Saya ingin anak saya punya kesadaran untuk melakukan perjuangan,” kata Renata. Namun, pilihan itu tentu punya konsekuensi. Salah satunya, Edo harus rela berpanas-panasan atau kehujanan saat melakukan aksi di depan Istana Merdeka. Bocah kelas 1 SMP itu juga harus mengalami diusir oleh polisi atau Satpol PP ketika ikut serta dalam berbagai aksi GKI Taman Yasmin.
***
Menjelang akhir acara, saya berbincang dengan beberapa kawan jurnalis dan aktivis tentang kondisi anak-anak dari kelompok minoritas yang menjadi korban intoleransi. Seorang kawan menyebut anak-anak itu cenderung tumbuh dalam ketakutan panjang karena kasus yang mereka alami.
Hal itu tentu saja benar. Dan karenanya, sangat penting untuk mendesak pemerintah segera menyelesaikan berbagai masalah intoleransi. Ada banyak anak Ahmadiyah di Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang hidup di pengungsian selama bertahun-tahun. Mereka tercerabut dari lingkungan sosial tempatnya tumbuh, juga terabaikan hak memperoleh pendidikan dan kesehatan. Hal serupa dialami anak-anak Syiah di Sampang, Madura.
Namun, yang juga penting dilakukan adalah menyuntikkan harapan, optimisme, keberanian, dan pentingnya toleransi pada anak-anak korban intoleransi. Saya termasuk yang tak terlalu setuju bahwa anak-anak itu akan selalu tumbuh dalam ketakutan panjang. Sebab, selalu ada kemungkinan mereka bisa menanggalkan ketakutan dan justru menjadi sosok yang tegar dan berani.
Seperti Malala Yousafzai. Atau seperti Sandra dan Edo. Saya mengagumi dua remaja itu karena mereka tampaknya berhasil mengatasi rasa takut mereka, lalu mengubah ketakutan itu menjadi sebuah tekad untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Sejak bertemu keduanya, saya jadi lebih optimis memandang perjuangan melawan intoleransi di Indonesia. Merekalah anak kandung pluralisme yang terlahir sebagai korban namun kemudian tumbuh menjadi pejuang. Dalam jangka 10 tahun ke depan, anak-anak seperti Sandra dan Edo mungkin akan tumbuh sebagai aktivis yang menggemakan pentingnya penghargaan terhadap keberagaman dan keharusan memerangi segala bentuk intoleransi.
Masa depan kebhinekaan Indonesia masa mendatang, pada akhirnya, terletak pada remaja-remaja semacam mereka.
Komentar