Tahun Gosip Sastra
Dunia sastra Indonesia tahun ini dimulai dengan keheningan dan diakhiri dengan ribut-ribut agak besar yang seru dan lucu. Dibandingkan tahun lalu, berdasar pengamatan saya yang terbatas, jumlah buku sastra Indonesia yang terbit tahun ini tampaknya lebih sedikit. Dan dari yang sedikit itu, tak banyak yang diperbincangkan secara serius.
Dua novel yang tahun ini masih saja digunjingkan—secara serius atau pun tidak—sebenarnya adalah terbitan tahun lalu. Amba karya Laksmi Pamuntjak terbit pada Oktober 2012 dan Pulang karangan Leila S Chudori muncul di publik dua bulan kemudian. Mungkin karena terbit di akhir tahun lalu, perbincangan soal novel itu berlangsung sampai tahun ini dan bahkan membesar kembali pada akhir 2013 sesudah penganugerahan Khatulistiwa Literary Award (KLA).
Saya membaca hampir semua ulasan soal Amba serta Pulang, termasuk esai Alwi A Ardhana di Indoprogress yang membahas keduanya sekaligus. Saya agak tak sepakat dengan simpulan Alwi yang menyebut kedua novel itu hanya menganggap orang-orang nonkomunis sebagai korban dari peristiwa 1965, sementara mereka yang komunis bukanlah korban. Saya membaca Amba dan Pulang tetapi tak menyimpulkan hal demikian.
Benar bahwa tokoh utama kedua novel itu adalah orang-orang yang nonkomunis dan digambarkan sedikit sinis pada mereka yang komunis. Benar bahwa para tokoh utama itu lalu menderita saat peristiwa 1965 padahal mereka tak terlibat langsung dengan PKI. Namun, bisakah konstruksi yang demikian dijadikan dasar untuk menyimpulkan Amba dan Pulang hanya menjadikan orang nonkomunis sebagai korban?
Jauh sebelum Laksmi dan Leila menulis dengan konstruksi demikian, Umar Kayam sudah menulis cerpen “Bawuk”, sementara Ahmad Tohari menulis Ronggeng Dukuh Paruk. Dalam semua karya yang saya sebut tadi—dan itu hanya contoh kecil—para korban peristiwa 1965 bukan hanya orang komunis, tetapi juga mereka yang tak terlibat langsung dengan PKI. Bawuk bukanlah kader ideologis PKI, demikian pula Srintil.
Lagipula, hari gini semua orang juga tahu bahwa orang komunis adalah korban utama peristiwa 1965 dan sejarah macam itu hampir tak tergantikan sehingga sebenarnya tak perlu ada kekhawatiran apa-apa ketika teks sastra berupaya “sedikit nakal” dalam menggambarkan sejarah.
***
Saya tak mau lama-lama membicarakan Amba dan Pulang sebab kita semua harusnya move on ke karya-karya yang lebih baru dari penulis Indonesia. Dua buku yang harus segera disebut adalah Semusim dan Semusim Lagi karangan Andina Dwifatma dan Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya karya Dewi Kharisma Michelia. Dua karya itu sama-sama menarik dan memberi warna baru dalam sastra Indonesia yang belakangan terlalu penuh dengan novel sejarah.
Semusim adalah novel separo surealis yang dituturkan dengan keterampilan memadai. Cara Andina memilih judul dengan mencaplok bagian dari teks lain tetapi tanpa menunjukkan kaitan antara novelnya dengan teks yang dicuplik mengingatkan saya pada teknik Haruki Murakami saat menulis Norwegian Wood dan cerpen “Towns of Cat” yang dimuat di New Yorker.
Warna surealis dalam Semusim, terutama dengan hadirnya seekor ikan yang bisa bicara dan tahu segalanya, juga mengingatkan saya pada Murakami. Ah, sesungguhnya, banyak hal dalam novel ini yang mengingatkan saya pada karya-karya Murakami dan mungkin karena itulah saya suka Semusim.
Saya juga cukup menyukai Surat Panjang tetapi ada beberapa detail yang mengganggu. Salah satunya adalah cara tutur tokoh utama yang kadang lebih mirip orang bercerita kepada pembaca anonim daripada sebuah dialog akrab dengan orang yang dikenal. Akibatnya, Dewi memberi banyak informasi latar belakang yang tak lazim ada di dalam sebuah surat.
Padahal, kita tahu, novel itu berisi sekumpulan surat kepada seseorang. Tampaknya Dewi terlalu takut pembaca tak bisa mengikuti alur kisah novelnya jika dia benar-benar menggunakan teknik menulis surat yang intim dan akrab.
Sementara itu, kumpulan cerpen AS Laksana, Murjangkung, Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu, tentu saja karya menarik yang bisa disebut sebagai buku sastra Indonesia terbaik tahun ini. Sulak, harus diakui, adalah penulis yang sangat paham cara menulis dan itulah kenapa tulisannya menjadi sangat bagus. Dan, jangan lupa, dia juga seorang guru menulis yang baik.
Buktinya, dua murid Sulak kini menjadi penulis dan mereka menjadi pemenang sayembara novel yang digelar Dewan Kesenian Jakarta tahun lalu. Dua novel dari kedua murid Sulak itu terbit tahun ini dan keduanya sudah saya sebut berurutan dalam tulisan ini.
Tetapi, betapapun karyanya bagus dan muridnya berhasil jadi novelis keren, Sulak barangkali kurang pas disebut sebagai “tokoh sastra tahun ini”. Gelar itu, saya kira, lebih tepat dianugerahkan kepada Linda Christanty, yang hanya bersenjatakan status Facebook, berhasil mengguncang dunia sastra Indonesia.
Lewat kalimat-kalimat tajam yang nylekit, kritik Linda memang akhirnya didengar dan di akun Facebooknya terjadi debat yang jauh lebih panjang dan memusingkan daripada semua kritik sastra yang ditulis tahun ini –jika memang ada tulisan yang pantas disebut sebagai “kritik sastra” pada 2013. Mungkin, karena itu pula tahun ini pantas disebut sebagai “Tahun Gosip Sastra”.
Bandung, 24 Desember 2013
Foto diambil dari sini.
Komentar