Dongeng Islam dalam Lukisan Kaca
Di dunia nyata, Sunan Kalijaga dan Dewi Nawang Wulan barangkali tak pernah bertemu. Namun, dalam lukisan kaca karya almarhum Citro Waluyo, dua sosok itu bersua di tepi sebuah danau berair jernih. Dalam lukisan itu, Nawang Wulan duduk di atas batu, sementara Sunan Kalijaga bertengger di dahan pohon, tepat di atas sang dewi.
Apa sebenarnya maksud lukisan itu? Entahlah. Yang jelas, lukisan itu ikut dipamerkan dalam Pameran Seni Rupa Tradisi “Jamila” di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) yang berlangsung 15-24 Juli 2014. Pameran yang digelar untuk menyambut Bulan Ramadhan itu memamerkan puluhan karya rupa tradisional yang disebut “bernapaskan Islam”.
Sebagian besar karya yang ditampilkan dalam pameran itu adalah lukisan kaca alias lukisan yang dibuat di atas kaca, sementara sebagian kecil lainnya adalah lukisan kertas dan karya tiga dimensi. Tema “Jamila” yang bermakna cantik atau elok ingin memberi kesan bahwa lukisan-lukisan kaca yang dipamerkan memancarkan keindahan yang khas.
Menurut Kurator Pameran “Jamila”, Hermanu, sekitar 50 lukisan kaca yang dipamerkan itu dibuat dalam rentang 1950-an sampai 2014. Karya-karya itu sebagian merupakan koleksi pribadi beberapa pihak, termasuk pelukis kondang Nasirun. “Sebagian lukisan kaca itu tidak diketahui siapa pembuatnya. Sebagai seni tradisional, lukisan kaca pada masa lalu kerap tidak disertai nama pelukis dan judul karya,” kata dia.
Dalam sejarah seni rupa Indonesia, lukisan kaca kerap dianggap sebagai genre lukisan pinggiran. Kondisi itu terjadi mungkin karena sejak awal kemunculannya karya lukis kaca lebih sering dianggap sebagai “benda fungsional”, yakni sebagai hiasan dinding atau cendera mata, bukan semata-mata karya seni.
Menurut Hermanu, lukisan kaca karya orang Indonesia sudah bisa ditemukan sejak dekade 1930-an. Sebuah tulisan di Majalah Djawa pada 1930 menyebut lukisan-lukisan kaca sudah bisa ditemukan di toko-toko suvenir di Yogyakarta. Tema-tema lukisan itu bermacam-macam, misalnya cerita wayang, legenda rakyat, sampai lukisan bernapaskan Islam.
Hermanu menyatakan, lukisan kaca yang bernapaskan Islam muncul di Indonesia antara lain karena adanya pengaruh gambar cetak dari Timur Tengah. Gambar-gambar itu dibawa oleh orang-orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke Arab Saudi. Pelukis-pelukis lokal di Cirebon, Yogyakarta, dan Jawa Tengah kemudian melakukan reproduksi terhadap gambar cetak asal Timur Tengah itu dan menjualnya kepada umat Islam yang membutuhkan hiasan dinding di rumahnya.
***
Walaupun disebut bernapaskan Islam, lukisan-lukisan kaca yang dipamerkan dalam “Jamila” sama sekali tak merepresentasikan pemahaman Islam yang kaku. Dalam lukisan-lukisan itu justru tampak paham Islam yang lentur dan bisa berakulturasi dengan budaya lokal, dongeng rakyat, maupun kemajuan teknologi.
Lihat saja lukisan-lukisan kaca bergambar buraq, makhluk ajaib yang dipercaya sebagai tunggangan Nabi Muhammad dalam peristiwa Isra Mikraj. Nabi Muhammad dikisahkan menunggangi buraq saat melakukan perjalanan dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Yerussalem dalam waktu kurang dari semalam.
Pada berbagai lukisan kaca buatan dekade 1950-an yang dipamerkan di BBY, buraq digambarkan sebagai makhluk berkepala wanita dan berbadan kuda serta memiliki dua sayap. Gambaran semacam ini bukan asli Indonesia, melainkan ditiru dari berbagai lukisan dan gambar cetak asal Timur Tengah.
Namun, dalam sebuah lukisan yang diberi judul “Buraq Madura”, makhluk itu digambarkan sedang berdiri di depan sebuah masjid. Uniknya, di menara masjid itu berkibar bendera merah putih. “Masjid dalam lukisan itu bukan Masjidil Haram atau Masjidil Aqsa, tetapi masjid di Pamekasan, Madura. Jadi memang pelukisnya memasukkan unsur lokal dalam lukisan itu,” kata Hermanu.
Islam yang lokal juga hadir dalam lukisan tentang sejumlah masjid di Jawa, seperti Masjid Syuhada di Yogyakarta dan Masjid Agung Surakarta, yang diproduksi pada 1950 hingga 1960-an. Uniknya, dalam lukisan Masjid Syuhada, terdapat gambar mobil sedan di depan masjid. Adapun di depan gambar Masjid Agung Surakarta terdapat kereta api.
“Dalam lukisan-lukisan kaca Masjid Syuhada, selalu ada sedan. Sementara itu, pada lukisan Masjid Agung Surakarta selalu ada kereta api. Ini sudah menjadi ciri khas lukisan-lukisan kaca yang menggambarkan masjid di Jawa,” kata Hermanu. Perpaduan masjid dan alat transportasi modern barangkali menjadi simbol bahwa Islam tak menampik kemajuan teknologi.
Gambaran Islam yang adaptif dalam berbagai lukisan kaca memang kerap mengejutkan. Kejutan itu pula yang muncul saat menyimak lukisan Citro Waluyo tentang Sunan Kalijaga dan Dewi Nawang Wulan. Bagaimana mungkin seorang wali penyebar agam Islam bisa nongkrong bareng dengan dewi yang legendanya muncul dalam Babad Tanah Jawi?
***
Selain lukisan-lukisan lama, pameran “Jamila” menghadirkan beberapa karya pelukis kaca yang masih aktif, misalnya Sulasno dan Subandi. Beberapa lukisan Subandi menampilkan keislaman secara lebih verbal, antara lain dengan hadirnya teks tentang ajakan salat dan bersedekah.
Hal itu tampak dalam karya “Sholat Iku Wajib, Shodakoh Iku Utama” yang dibuat Subandi pada tahun ini. Walau begitu, akulturasi dengan budaya Jawa tetap terasa dengan hadirnya figur-figur punakawan, misalnya Semar, Petruk, dan Bagong.
Hermanu mengatakan, masa kejayaan lukisan kaca di Indonesia diperkirakan terjadi pada 1950 hingga 1970-an. Setelah itu, dinding-dinding rumah masyarakat Indonesia mulai jarang memajang lukisan kaca karena digantikan lukisan pemandangan alam yang dibuat pelukis-pelukis Sokaraja, Banyumas.
Sekarang, beberapa pelukis kaca yang masih bertahan harus pandai-pandai mencari uang dari profesi lain. Masa kejayaan lukisan kaca memang sudah usai, tetapi karya lukis yang tersisa dari masa lalu tetap berharga untuk ditengok, termasuk untuk memahami Islam yang lentur dan adaptif.
NB: versi lain tulisan ini terbit di Kompas edisi Minggu, 20 Juli 2014
Komentar