Yang Terlewat dari Yang Ketu7uh
Saat pertama kali menonton cuplikan Yang Ketu7uh di Youtube beberapa waktu lalu, saya sempat mengira film dokumenter itu berkisah tentang dukungan rakyat yang besar terhadap Joko Widodo dalam pemilu presiden. Barangkali, anggapan itu muncul karena trailer film itu menampilkan sejumlah potongan video konser musik Salam Dua Jari di Gelora Bung Karno, Jakarta, saat hari H pilpres makin dekat.
Kenyataannya, Yang Ketu7uh bukanlah film tentang Jokowi, ataupun gelombang aktivisme sosial yang muncul untuk mendukungnya. Film ini juga bukan tentang persaingan sengit Jokowi dan Prabowo Subianto dalam memperebutkan kursi presiden. Yang Ketu7uh lebih tepat disebut sebagai film tentang relasi pemilu dan orang-orang kecil di republik ini.
Disutradarai jurnalis televisi berpengalaman, Dandhy Dwi Laksono, Yang Ketu7uh dibuat dengan melibatkan 19 videografer yang saya bayangkan bekerja secara terpisah di berbagai kota. Film ini menghadirkan empat tokoh yang semuanya berasal dari kalangan miskin dan, seperti bisa ditebak, keempatnya dihubungkan melalui peristiwa pemilu presiden.
Empat orang itu adalah Nita, perempuan yang harus menghidupi lima anaknya dengan menjadi buruh cuci di Tangerang, Banten; Amien, petani asal Indramayu, Jawa Barat, yang menanam di lahan milik negara; serta Suparno dan Sutara yang tinggal di kawasan kumuh Ibu Kota dan bekerja serabutan.
Kisah Nita yang harus menghidupi anak-anaknya sendirian karena suaminya meninggal sejak 2003 dikisahkan pertama kali. Kita melihat bagaimana miskinnya keluarga Nita dan makanan apa yang sehari-hari disantap oleh keluarga besarnya. Kita menyimak bagaimana perempuan berusia 60 tahun itu bekerja serabutan menjadi buruh cuci, juga mendengar keluhannya tentang segala macam: dari harga bahan bakar minyak hingga biaya pendidikan.
Sesudah itu, kita bertemua Amin yang dengan terang-terangan mengaku memanfaatkan lahan negara untuk bercocok tanam. Kita melihat sawah dengan padi yang dipanen dan petani yang berpeluh. Tapi, penonton juga disuguhi bagaimana Amin berkisah panjang tentang nasib petani miskin seperti dirinya dan kenapa lahan negara seharusnya diperbolehkan digarap oleh petani seperti dia.
Pada bagian selanjutnya, ada Suparno dan Sutara. Bagian ini membuat saya beberapa kali termangu, terutama karena gambaran kemiskinan di daerah Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, yang nyaris tak masuk akal, terutama karena beberapa kilometer dari wilayah itu terdapat banyak gedung pencakar langit yang keren dan wangi.
Adegan yang membuat saya sangat terkejut adalah ketika seorang perempuan keluar dari rumahnya yang kecil dan berdiri di lorong sempit perkampungan kumuh itu lalu tiba-tiba dia melepas celana pendeknya, berjongkok, dan buang air kecil di atas semacam selokan. Sebelum kencing, si perempuan sempat menoleh ke kamera—yang tampaknya dipasang di bagian atas jalan secara agak tersembunyi.
Adegan ini mengejutkan karena saya tak pernah membayangkan, pada tahun 2014, masih ada warga Ibu Kota yang bisa begitu nekat buang air kecil di sebuah jalan umum. Tepat pada adegan itu pula saya merasa Yang Ketu7uh berhasil menggambarkan betapa kemiskinan bisa begitu absurd dan bahkan mendekati surealis.
Di antara kisah empat wong cilik itu, Dandhy menghadirkan potongan rekaman video pemilu legislatif dan pilpres 2014. Ada Jokowi dan Prabowo dalam banyak peristiwa: pengambilan nomor urut di Komisi Pemilihan Umum, debat yang disiarkan langsung televisi, dan tentu saja pada banyak momen kampanye. Gambar-gambar dari masa lalu juga ditampilkan kembali, misalnya pidato Presiden Soekarno, aktivitas Jokowi sebagai Wali Kota Solo, dan momen kemesraan Prabowo dengan Megawati Soekarnoputri pada Pilpres 2009.
Sesudah setengah jalan, kita sebenarnya sangat gampang memahami arah Yang Ketu7uh. Film ini tampaknya hendak menghadirkan pandangan wong cilik terkait hajat besar pilpres dan apa pengaruh even politik raksasa itu pada kehidupan mereka. Sayangnya, dua tema itu adalah sesuatu yang agak klise dan mudah ditebak.
Yang Ketu7uh mencoba menyatakan bahwa pemilu hampir selalu dipahami sebagai momen yang penuh harapan oleh rakyat kebanyakan karena peristiwa yang menghasilkan pergantian pemerintahan itu diharapkan menjadi titik tolak perubahan nasib mereka. Namun, seperti kemudian dipahami oleh kita semua, harapan tentang perubahan itu lebih sering kandas daripada terwujud. Mengutip kata-kata Jokowi, setelah pemilu, “petani kembali ke sawah, nelayan kembali melaut, buruh dan pekerja kembali ke pabrik” tetapi mungkin tak akan terjadi apa-apa sesudah itu.
Dengan hanya mengemukakan dua tema yang saya sebut tadi, Yang Ketu7uh menjadi dokumenter yang terlalu biasa dan sesungguhnya kurang menggambarkan apa yang terjadi pada pilpres kemarin. Pengelompokan masyarakat secara tajam saat pilpres, misalnya, sama sekali tak tergambarkan. Padahal, pengelompokan itulah yang menjadi ciri paling khas Pilpres 2014 dan fenomena itu dirasakan oleh kebanyakan orang.
Saat pulang ke Solo untuk merayakan Lebaran tahun ini, misalnya, saya mendapati banyak anggota kelurga besar saya berdebat tentang Prabowo dan Jokowi. Perdebatan itu berlangsung panjang dan kadang-kadang sengit meski tidak sampai pada taraf mengkhawatirkan. Seingat saya, polarisasi masyarakat ini tak terjadi secara amat tegas pada pemilu-pemilu sebelumnya dan karena itu sayang sekali fenomena itu tak terekam dalam film ini.
Yang juga terlewat adalah soal dukungan masyarakat sipil pada Jokowi yang berlangsung dalam taraf luar biasa. Fenomena ini menunjukkan makin dekatnya civil society dengan dunia politik dan tentu saja ini sesuatu yang menarik dan harus dicatat. Tetapi, mungkin saja Dandhy memang ingin melewatkan semua itu dan fokus pada orang-orang kecil yang agaknya “steril” dari histeria Pilpres 2014. Saya kira, pilihan itu juga harus dihargai dan tetap menyimpan sisi menarik.
NB: gambar diambil dari sini.
Terimakasih sudah sharing,
Film tersebut menceritakan tentang apa dan pesan apa yang terdapat pada film tersebut?