Internet Sebagai Rimba Asing
Senin pagi, 17 November 2014, Gedung Pengadilan Negeri Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, disesaki puluhan orang. Sebagian besar dari mereka berkumpul di halaman, membawa spanduk dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Seorang laki-laki berdiri di antara mereka sambil berorasi.
Saya datang agak terlambat. Ruang sidang utama sudah dipenuhi orang. Di samping ruang itu, orang-orang juga bergerombol mengerumuni ruangan berteralis besi. Di dalamnya ada Ervani Emihandayani, terdakwa kasus pencemaran nama baik melalui media sosial Facebook. Perempuan berusia 29 tahun itu tampak tegang berada meski sejumlah saudara dan temannya terus berupaya mengajak ngobrol.
Tak lama kemudian, sidang dimulai. Ervani dibawa ke ruang sidang dan didudukkan di kursi pesakitan. Ini adalah sidang kedua perkara itu. Agendanya pembacaan eksepsi dari tim pembela Ervani yang berasal dari LBH Yogyakarta. Pembacaan eksepsi berlangsung kurang dari satu jam. Sesudah itu, Ketua Majelis Hakim Sulistyo M Dwi Putro membacakan putusan soal permohonan penangguhan penahanan Ervani.
Hakim ternyata mengabulkan permohonan itu. Tepuk tangan dan teriakan bahagia langsung terdengar. Ruang sidang agak riuh sehingga Hakim Sulistyo terpaksa berbicara dengan nada tinggi untuk memperingatkan pengunjung. Tapi peringatan itu sama sekali tak mengurangi kebahagiaan yang dirasakan Ervani serta para kerabatnya.
“Saya sangat bersyukur atas putusan hakim,” kata Ervani. Saya dan beberapa teman wartawan menemuinya seusai sidang. Dia masih berada di ruang tahanan, tetapi ekspresinya terlihat jauh berbeda dengan pagi tadi. Ervani berkali-kali tersenyum dan menjawab pertanyaan kami dengan lancar. “Habis ini saya ingin masuk kerja lagi,” ujar dia.
Kasus Ervani berawal dari masalah yang menimpa suaminya, Alfa Janto (33), yang bekerja sebagai petugas keamanan di sebuah toko aksesoris di Yogyakarta. Pada pertengahan Maret 2014, Alfa mendengar dirinya akan dimutasi ke Cirebon, Jawa Barat. Namun, dia menolak karena mutasi kerja tak tercantum dalam kontrak kerjanya.
Perusahaan lalu memberi Alfa dua pilihan: mengundurkan diri atau menerima mutasi. Ervani mendengar cerita itu dari sang suami dan merasa kesal. Dia lalu menulis di grup Facebook perusahaan suaminya pada 30 Mei 2014. Saya tak akan mengutip ucapan Ervani di tulisan ini, tapi Anda bisa mencarinya lewat Google. Intinya, tulisan Ervani menyinggung seorang atasan suaminya.
Pada 9 Juli 2014, Ervani dipanggil polisi untuk dimintai keterangan. Pada hari itu pula dia ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik. Dia antara lain dijerat dengan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ancaman hukuman untuk pelanggar pasal itu tidak main-main: penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Saat berkas perkaranya dilimpahkan oleh polisi ke kejaksaan pada 29 Oktober 2014, Ervani akhirnya ditahan. Dia lalu menjalani sidang perdana pada 11 November lalu.
Kasus ini mulai mencuat pada akhir Oktober 2014 saat LBH Yogyakarta menggelar konferensi pers soal nasib Ervani. Gerakan dukungan pada Ervani pun muncul. Para tetangganya di Dusun Gedongan, Desa Bangunjiwo, Bantul, pun membentuk kelompok untuk mendukung Ervani. Tiap kali sidang digelar, masyarakat Gedongan, termasuk nenek-nenek dan para bocah, datang beramai-ramai. Mereka berorasi di halam gedung pengadilan dan ikut masuk ke ruangan saat sidang dimulai.
***
Berdasarkan data Safenet, kasus Ervani merupakan kasus penghinaan dan pencemaran nama baik ke-71 yang menjerat pengguna internet sejak UU ITE disahkan. Dari tahun ke tahun, tren kriminalisasi pengguna internet terus bertambah. “Pada tahun 2014, ada sekitar 40 kasus pencemaran nama baik yang menjerat pengguna internet,” kata Donny BU, Direktur ICT Watch, yang saya temui sedang memantau sidang Ervani, 17 November lalu.
Sebagai wartawan, blogger, sekaligus pengguna media sosial, saya turut khawatir dengan tren peningkatan kriminalisasi semacam itu. Saya memang belum memantau semua kasus yang disebut Safenet, dan bisa jadi sebagian pelaku dalam kasus itu memang layak dihukum. Tapi masalahnya bukan sekadar bersalah atau tidak.
UU ITE, khususnya Pasal 27 dan 28, memberi ruang yang cukup longgar kepada siapapun yang ingin mempidanakan orang lain dengan alasan yang sebenarnya kurang kuat. Itulah masalahnya. Masalah lain, UU ITE memberi ancaman hukuman yang lebih tinggi kepada tersangka pencemaran nama baik daripada KUHP.
Pasal 310 dan 311 KUHP hanya mengatur ancaman hukuman maksimal 4 tahun kepada tersangka pencemaran nama baik, sementara UU ITE memberi ancaman 6 tahun. Perbedaan 2 tahun itu berdampak besar karena polisi atau jaksa hanya bisa menahan seorang tersangka kasus pidana yang diancam hukuman di atas 5 tahun. Itulah kenapa Ervani ditahan meski dia belum mulai menjalani sidang dan hampir tak punya potensi melarikan diri.
Penahanan sebelum masa sidang itulah yang menakutkan para pengguna internet. Apalagi, sebagian aparat penegak hukum di Indonesia masih belum memahami secara baik soal UU ITE dan dunia internet secara umum. Bagi saya, inilah masalah struktural yang sekarang menghantui para pengguna internet di tanah air.
Namun, problem struktural itu bukan satu-satunya. Saya percaya ada persoalan kultural yang membuat tren kriminalisasi pengguna internet meningkat. Dari sisi teknologi internet, masyarakat Indonesia mungkin tak tertinggal jauh dengan warga Eropa dan Amerika Serikat. Namun, secara kultur, saya menilai internet masih merupakan sebuah rimba yang asing bagi sebagian besar dari kita.
Seperti banyak produk teknologi lainnya, internet masuk ke Indonesia tanpa dibarengi pemahaman yang memadai tentang bagaimana menggunakannya. Kebanyakan perbincangan kita soal internet hanya menyangkut sisi teknologinya dan itulah kenapa begitu banyak blog dan website yang membahas aspek-aspek teknis terkait internet dan beragam produk turunannya. Sementara itu, perbincangan soal aspek sosial dan kebudayaan internet jarang terdengar. Akibatnya, kita melek teknologi internet tapi tidak melek kultur internet.
Saat persaingan politik dalam pemilu presiden lalu memanas, misalnya, kita melihat dampak buruk dari “buta kultur” itu. Ribuan posting yang berisi caci maki, hasutan, dan fitnah memenuhi ruang media sosial kita dan membuat kita tergerak untuk menanggapi atau membalas dengan nada yang tak kalah negatif tanpa berpikir bahwa semua perkataan itu bisa berdampak secara langsung pada kita, bukan di dunia maya melainkan pada hidup yang riil.
Pemikiran semacam itu pula yang mungkin ada pada Ervani sebelum dia memposting tulisan di Facebook. Nyatanya, seperti yang kita lihat pada kasus Ervani, pemikiran semacam itu salah. Apa yang kita tulis di internet sangat mungkin punya konsekuensi hukum. Itulah kenapa kita harus berhati-hati, sebab internet mungkin masih serupa rimba asing yang perlahan-lahan harus kita coba pahami.
Komentar