Cinta di Panti Karya
Meskipun menderita gangguan kejiwaan, penampilan dan perilaku Dewi (58) tak beda jauh dengan orang biasa. Dia kerap memakai jilbab serta kaus dan celana panjang. Cara bicaranya teratur dan santun. Semua perkataan orang lain juga bisa ditanggapinya dengan baik.
Sehari-hari, Dewi bahkan kerap membantu memasak di Panti Karya, sebuah panti sosial milik Pemerintah Kota Yogyakarta, yang menjadi tempat tinggalnya sejak 13 tahun lalu. Rabu sore, 28 Januari lalu, sesudah penghuni panti selesai makan bersama, Dewi bergegas menuju dapur untuk mencuci puluhan piring kotor yang baru saja dipakai.
“Saya udah enggak punya keluarga lagi,” kata perempuan yang mengaku berasal dari Kampung Wirosaban, Yogyakarta, itu. Sebelum masuk ke Panti Karya, Dewi pernah dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, Yogyakarta. Saat masuk ke panti, kondisi Dewi belum seperti sekarang. Dia belum bisa menjaga kebersihan diri dan gejala gangguan kejiwaannya masih kerap muncul.
“Dulu Bu Dewi itu kerap membawa barang-barang lalu diletakkan di tempat sembarangan. Misalnya bawang di dapur tiba-tiba ditaruh di pinggir jalan,” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Panti Karya, Waryono, sambil menemani saya berkeliling ke beberapa bangunan di panti.
Kondisi Dewi membaik berkat perawatan dan pelayanan di Panti Karya yang manusiawi dan penuh cinta kasih. Para perawat dan petugas panti itu menghindari cara-cara kekerasan. “Kami ingin memanusiakan mereka. Saat penghuni atau kelayan psikotik memukul petugas, tindakan itu tak dibalas dengan kekerasan. Sebab, kalau kelayan mendapat kekerasan, mereka akan membalas dengan kekerasan juga,” kata Waryono.
Dia menambahkan, penanaman nilai dan pembinaan kelayan yang menderita gangguan kejiwaan dilakukan secara perlahan-lahan. “Membiasakan mereka mandi itu susah lho. Tapi sekarang banyak yang bisa mandi, makan, tidur, dan bahkan ngobrol seperti orang normal,” ujarnya.
***
Panti Karya didirikan Pemerintah Daerah DI Yogyakarta pada dekade 1980-an. Mulai tahun 2008, pengelolaan panti itu diserahkan ke Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta. Secara kelembagaan, panti itu kini berada di bawah Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kota Yogyakarta.
Saat ini, Panti Karya difungsikan untuk menampung dan melayani orang-orang telantar, misalnya gelandangan, pengemis, maupun penderita gangguan kejiwaan. Panti itu juga menjadi tempat penampungan sementara bagi semua orang telantar yang terjaring razia oleh Pemkot Yogyakarta.
Di panti itu, para penyandang masalah sosial didata lalu dipilah-pilah berdasarkan umur dan masalah yang dihadapi. “Mereka yang terjaring razia minimal berada di sini selama tiga hari,” ujar Waryono yang menjadi Kepala UPT Panti Karya sejak September 2013.
Pada hari ketiga, para gelandangan dan pengemis yang diketahui masih memiliki keluarga akan dipulangkan. Mereka akan diantar hingga ke rumah, termasuk jika rumah mereka berada di luar DI Yogyakarta. Biaya pemulangan ditanggung Pemkot Yogyakarta.
Sementara itu, orang-orang telantar yang tak lagi punya keluarga, atau informasi ihwal keluarganya tak diketahui, diperlakukan berbeda. Mereka yang masih anak-anak dikirim ke Panti Anak Wiloso Projo yang juga dikelola Pemkot Yogyakarta, sementara yang sudah lanjut usia sebagian dipindahkan ke panti jompo.
Dengan sistem semacam itu, jumlah kelayan atau penghuni di Panti Karya selalu berubah-ubah. Pada akhir Januari 2015, kelayan Panti Karya berjumlah 84 orang, terdiri dari 59 penderita gangguan jiwa atau piskotik dan 25 orang telantar non-psikotik. “Jumlah kelayan yang psikotik memang lebih banyak karena sebagian besar dari mereka tak diketahui lagi keluarganya sehingga harus ditampung di sini,” kata Waryono.
Para kelayan psikotik di Panti Karya terus-menerus mendapatkan pembinaan, terutama dalam hal perilaku. Mereka diajarkan cara mandi dan membersihkan diri, cara makan yang sopan, dan dilibatkan dalam berbagai kegiatan. Secara medis, mereka juga mendapatkan pengobatan dan pengawasan dari perawat yang bertugas 24 jam di panti.
Setiap pagi, para kelayan, termasuk yang piskotik, diminta bangun pukul 04.30, lalu diarahkan untuk mandi. “Kalau yang belum bisa mandiri sendiri ya dimandikan,” ujar Waryono. Sesudah itu, mereka sarapan bersama, lalu mengikuti beragam kegiatan, misalnya pengajian, pelatihan keterampilan, dan olahraga.
Latihan keterampilan itu antara lain membuat sapu lidi, kemoceng, dan taplak meja. Kadang-kadang, mereka juga diajak berkebun di lahan kosong di bagian belakang panti.
Dengan pembinaan terus-menerus, beberapa pasien psikotik mulai bisa berperilaku normal. Mereka bisa mandi dan makan secara baik. Selain Dewi, kelayan psikotik yang perilakunya mulai normal adalah Sri Sumini (54). Perempuan asal Kabupaten Gunung Kidul, DIY, itu kini bertugas membantu mencuci pakaian penghuni Panti Karya. “Banyak banget pakaiannya. Sampai capek,” kata Sri sembari tertawa.
Beberapa kelayan psikotik Panti Karya juga sudah bisa kembali ke masyarakat dengan baik dan sebagian di antaranya sudah menikah.
***
Waryono menuturkan, salah satu kunci keberhasilan pembinaan di Panti Karya adalah pengertian terhadap para kelayan. Dengan bantuan psikolog dan dokter ahli jiwa, petugas panti mencoba memahami perilaku setiap kelayan. “Kami juga menanamkan pemahaman bahwa panti ini adalah rumah bagi para kelayan. Jadi mereka bisa nyaman tinggal di sini tetapi harus tetap mematuhi beberapa aturan,” katanya.
Salah seorang perawat di Panti Karya, Novia Sindy (28), menuturkan, kesabaran menghadapi kelayan harus diutamakan. Tindakan kelayan yang tak menyenangkan tak boleh dibalas dengan hardikan atau kekerasan. “Kalau pakai kekerasan, kelayan justru akan melawan,” kata perempuan yang bekerja di Panti Karya sejak setahun lalu itu.
Sore itu, saat saya mengunjungi Panti Karya, Novia ingin memberikan obat pada seorang kelayan psikotik bernama Wiwin. Namun, Wiwin menolak dan bahkan memukul tangan Novia sehingga obat yang dipegangnya terjatuh ke lantai.
Meski begitu, Novia tak marah. Dengan sabar, dia mencari obat berukuran kecil itu. “Memang mereka enggak bisa dipaksa. Kita yang harus sabar. Habis ini saya bujuk lagi dengan memberi permen,” kata Novia sembari tersenyum.
Versi sedikit berbeda dari tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 4 Februari 2015
Komentar