Dilema Hotel di Yogyakarta
Sejak bertugas di Yogyakarta sekitar setahun lalu, salah satu isu yang kerap saya liput adalah maraknya pembangunan hotel di kota itu. Saya pertama kali menulis masalah tersebut sekira sebulan sesudah tiba di Yogyakarta, saat hadir dalam sebuah diskusi tentang praktik bisnis berkeadilan.
Dalam acara itu, seorang pembicara memaparkan tentang potensi dampak negatif maraknya pendirian bangunan komersial, terutama terkait ketersediaan air tanah. Saya sempat berbincang sebentar dengan si pembicara seusai diskusi, dan dua hari kemudian, tepatnya 12 Mei 2014, berita pertama saya soal maraknya pembangunan hotel terbit.
Itu adalah berita pendek, panjangnya hanya 2.402 karakter, dan dimuat di “halaman dalam”. Mungkin tak banyak pembaca yang memperhatikan berita kecil itu, tapi bagi saya, tulisan tersebut menjadi pintu masuk untuk mendalami masalah hotel di Yogyakarta. Sehari sesudah berita tersebut, berita lain soal hotel di Yogyakarta yang saya tulis kembali muncul.
Berita kedua itu lebih besar dan menjadi headline di salah satu “halaman dalam” koran tempat saya bekerja. Setelah itu, saya beberapa kali menulis soal maraknya pembangunan hotel di Yogyakarta dan hampir dalam setiap berita tersebut, saya menampilkan data pertumbuhan hotel di Yogyakarta yang saya ambil dari situs Badan Pusat Statistik. Aktivitas meliput itulah yang membuat saya sedikit banyak memahami persoalan pertambahan hotel di “Kota Pelajar”.
Selama beberapa tahun terakhir, keberadaan hotel di Yogyakarta memang menimbulkan dilema yang tak mudah diselesaikan. Di satu sisi, perekonomian Yogyakarta, bahkan DIY sebagai provinsi, kian ditopang oleh sektor jasa dan pariwisata sehingga hotel adalah pendukung perekonomian yang penting. Data BPS menunjukkan kontribusi dua sektor itu terhadap perekonomian DIY terus meningkat, sementara kontribusi sektor pertanian dan industri cenderung menurun.
Namun, seperti yang sudah saya sebut, pembangunan hotel yang kian tak terkendali juga berdampak negatif. Sejumlah warga di beberapa kampung di Yogyakarta mengeluhkan kekeringan sumur-sumur mereka. Semua kampung yang mengalami kekeringan itu berada di dekat hotel. Aksi protes muncul pun, diiringi penolakan warga di sejumlah kampung terhadap rencana pembangunan hotel di lingkungan mereka.
Gerakan protes itu kemudian mewujud menjadi Gerakan Warga Berdaya yang didukung sejumlah seniman, akademisi, dan aktivis. Gerakan itulah yang antara lain berinisiatif membuat film dokumenter Belakang Hotel yang berkisah tentang efek buruk pembangunan hotel di Yogyakarta.
***
Di tengah gerakan protes itu, yang kadang dilupakan orang adalah izin mendirikan bangunan (IMB) hotel baru terus diberikan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Pemkot Yogyakarta memang telah mengeluarkan kebijakan moratorium penerbitan IMB hotel baru mulai 1 Januari 2014-31 Desember 2016. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Wali Kota (Perwal) Yogyakarta Nomor 77 Tahun 2013 yang disahkan pada 20 November 2013.
Namun, Perwal itu dianggap tak efektif menghentikan pendirian hotel baru di Yogyakarta. Sebab, aturan itu menyatakan, permohonan IMB hotel yang masuk sebelum 1 Januari 2014 tetap akan diproses. Akibatnya, alih-alih menghambat laju pertambahan hotel, Perwal itu justru dianggap mempercepat pertumbuhan hotel di Yogyakarta. Berdasarkan data Dinas Perizinan Yogyakarta, sesudah Perwal itu terbit hingga 31 Desember 2013, ada 104 permohonan IMB hotel yang masuk. Semua permohonan IMB itu tetap diproses dan hingga kini prosesnya masih berjalan.
Berdasarkan wawancara saya dengan Dinas Perizinan Yogyakarta pada pertengahan Januari 2015, dari 104 permohonan IMB itu, sudah ada 77 IMB yang dikabulkan, terdiri dari 67 IMB hotel baru, 7 IMB untuk hotel yang sudah berdiri tapi belum berizin, dan 3 IMB untuk pengembangan bangunan hotel yang sudah ada. Artinya, masih ada 27 permohonan IMB yang saat ini sedang diproses sehingga jumlah hotel akan terus bertambah.
Merujuk data BPS, sampai awal 2014, ada 399 unit hotel di Yogyakarta, terdiri dari 43 hotel berbintang dan 356 hotel nonbintang. Dengan asumsi 27 permohonan IMB hotel baru yang sedang diproses nantinya akan dikabulkan oleh Pemkot Yogyakarta, setidaknya akan ada 493 hotel di Yogyakarta sampai akhir 2016.
Kenapa hitung-hitungan macam ini penting? Jawabannya adalah agar perjuangan meminimalkan dampak negatif pembangunan hotel di Yogyakarta bisa terarah. Sependek pengetahuan saya, perjuangan elemen warga terkait dampak negatif hotel secara umum kadang tak terarah. Yang dimunculkan seringkali hanyalah kritik terhadap pembangunan hotel yang tak terkendali, tetapi tuntutan pada Pemkot Yogyakarta kurang terumuskan secara baik.
Memang ada tuntutan agar pemkot membatasi pembangunan hotel, tetapi Wali Kota Yogyakarta bisa jadi akan menjawab bahwa dirinya telah memenuhi tuntutan itu dengan mengeluarkan kebijakan moratorium. Harus diingat pula bahwa moratorium itu dikeluarkan sesudah adanya gerakan masyarakat yang memprotes dampak pembangunan hotel pada tahun 2013.
Paska moratorium, harus ada arah yang lebih jelas dalam perjuangan meminimalkan dampak negatif pembangunan hotel karena moratorium itu justru membuat investor berlomba-lomba membangun hotel secepatnya di Yogyakarta.
Menurut saya, ada beberapa alternatif yang bisa dipilih. Salah satunya adalah menggandeng berbagai pihak untuk melakukan riset tentang dampak negatif pembangunan hotel, terutama terkait berkurangnya ketersediaan air tanah di Yogyakarta. Data yang dihasilkan dari proses ilmiah itu bisa menjadi bahan untuk menuntut Pemkot Yogyakarta menghentikan proses IMB hotel yang sedang berjalan, misalnya. Atau jika itu tak mungkin, pemkot bisa dituntut memperpanjang masa moratorium.
Dengan perumusan arah perjuangan yang lebih baik, saya kira, dilema hotel di Yogyakarta bisa lebih mudah diselesaikan.
Seharusnya pemerintah mensosialisasikan ke masyarakat terlebih dahulu jika ingin membangun sebuah hotel lagi.