Terpingkal karena Ben Sohib
Saya pertama kali mengetahui Ben Sohib menulis cerita pendek pada tahun 2011 ketika dia tampil dalam salah satu sesi Utan Kayu-Salihara Literary Biennale di Jakarta. Waktu itu, Ben hadir dalam sesi pembacaan karya dan diskusi dengan tema “Sastra dan Tradisi Islam” bersama sejumlah penulis lain, yakni Ahmad Fuadi, Hasan Al Bana, Syaiful Alim, dan Okky Madasari.
Jauh hari sebelumnya, saya hanya mengenal Ben Sohib sebagai penulis dua novel laris, Da Peci Code serta Balada Rosid dan Delia. Saya membaca dua novel itu pada 2010, beberapa saat sebelum menulis resensi Film 3 Hati: 2 Dunia, 1 Cinta yang diilhami oleh dua karya tersebut dan kemudian meraih banyak penghargaan pada Festival Film Indonesia tahun itu. Meskipun temanya lumayan menarik, tentang cinta beda agama, saya tak terlalu menyukai dua novel Ben.
Bagi saya waktu itu yang masih sok, Da Peci Code serta Balada Rosid dan Delia tak tergolong sebagai “novel sastra”. Itulah kenapa saya kaget ketika tahu Ben diundang ke Utan Kayu-Salihara Literary Biennale. Apalagi, waktu itu, saya belum pernah membaca karya Ben selain dua novelnya. Namun, prasangka itu harus dibayar mahal.
Di antara empat penulis lain yang tampil dalam sesi “Sastra dan Tradisi Islam” itu, Ben justru yang paling menonjol. Cerpen yang dibacakannya saat itu terdengar sangat menarik sehingga saya penasaran ingin membaca cerpen-cerpennya yang lain.
Ketika beberapa bulan kemudian Ben diundang kembali ke Teater Salihara untuk membacakan karya dalam sebuah acara bertema “Jakarta dalam Sastra”, saya sangat antusias untuk datang. Apalagi, tiga penulis lain yang saat itu tampil adalah mereka yang sangat saya sukai karyanya, yaitu Yusi Avianto Pareanom, AS Laksana, dan Zen Hae.
Saya agak lupa judul cerpen-cerpen yang dibacakan Ben Sohib dalam dua acara di Teater Salihara itu. Tetapi, jika tak salah ingat, salah satu cerpen yang sempat dibaca Ben—entah pada kesempatan pertama atau kedua—adalah “Haji Syiah” yang dimuat di Koran Tempo pada April 2012.
Saya terpingkal-pingkal saat mendengarkan Ben membaca cerpen itu, bukan karena gaya teaterikal sang penulis, melainkan karena cerita “Haji Syiah” memang benar-benar lucu. Kelak, ketika cerpen itu telah tersedia di internet, saya berkali-kali membacanya dan tetap saja tertawa pada bagian-bagian tertentu, misalnya saat Haji Syiah kehilangan dua giginya atau saat sang tokoh utama itu roboh terkena angin.
Sesudah itu, saya seperti kecanduan membaca cerpen Ben Sohib, terutama melalui penelusuran di internet. Namun, seperti yang bisa kita lihat, cerpen Ben ternyata masih sangat sedikit. Sampai tahun lalu, hanya ada lima cerpen Ben Sohib yang bisa kita temukan. Untungnya, semua cerpen yang pernah dimuat di Koran Tempo itu benar-benar menarik dan lucu sehingga tak masalah jika kita membacanya berulang kali.
***
Hampir semua cerpen Ben Sohib selalu punya latar tempat yang khas, yakni sebuah kampung di Jakarta. Dalam cerpen “Haji Syiah”, “Para Penjual Rumah Ustazah Nung”, dan “Bagaimana Nasrul Marhaban Mati dan Dikenang”, latar tempatnya adalah Kampung Melayu Pulo yang kita tahu berada di sekitar wilayah Jatinegara, Jakarta Timur. Adapun dalam “Burung Nasar dan Kutukan Korban Kesembilan”, latarnya adalah Kampung Kebon Nanas yang juga ada di Jatinegara.
Dalam biodatanya, Ben memang menulis bahwa dia aktif di Komunitas Majelis Sastra Masjid Al-Makmur di Cililitan, Jakarta Timur, sehingga kemungkinan besar dia sangat mengenal latar tempat cerpen-cerpennya. Itulah kenapa Ben terlihat sangat leluasa saat mengisahkan seluk-beluk kampung-kampung tersebut. Fakta bahwa Ben adalah keturunan Arab dan pengakuan bahwa dia aktif dalam sebuah komunitas masjid juga menunjukkan kemungkinan bahwa Ben sangat akrab dengan Islam, baik secara teologis maupun sosiologis.
Pemahaman dan kedekatan dengan Islam itulah yang membuat Ben bisa dengan sangat cair, rileks, dan kadang nakal, menulis tentang perilaku orang-orang Islam di kampung-kampung kecil di Jakarta. Hampir semua cerpen Ben memang menyinggung Islam, tetapi dia tak tertarik untuk berdakwah atau melakukan kritik terhadap ajaran agama tersebut. Seperti yang dilakukan banyak penulis lain yang gemilang, saat menulis cerpen, Ben barangkali tak memiliki tendensi apa-apa kecuali berkisah dengan semangat menggebu.
Meski begitu, dengan segera kita menemukan banyak nuansa dalam cerpen-cerpen Ben. Dalam “Haji Syiah”, misalnya, ada tendensi menunjukkan Islam sebagai rahmatan lil alamin tetapi juga menampilkan kemungkinan para pemeluk Islam bisa menjadi terlalu fundamentalis dan sok suci. Cerpen itu—yang saya anggap sebagai karya terbaik di antara lima cerita Ben Sohib yang sudah saya baca—juga menghadirkan nuansa sedih dan haru saat Haji Syiah merindukan dua pemabuk muda yang dulu pernah sangat akrab dengannya tetapi kemudian membencinya mati-matian justru ketika keduanya telah “bertaubat” dan belajar di pondok pesantren.
“Haji Syiah” adalah cerpen yang sangat bagus karena cerita itu menampilkan ironi yang sangat mengena dan pas tetapi tanpa meniadakan kenikmatan membaca sebuah cerita. Ironi semacam itu juga ada saat membaca “Burung Nasar dan Kutukan Korban Kesembilan”. Cerpen itu dengan baik menampilkan bagaimana seseorang bisa secara licik dan kejam memanfaatkan duka seseorang yang kehilangan kerabatnya untuk mendapat uang.
Selain ironi, humor adalah sesuatu yang nyaris selalu tampil dan bahkan mendominasi cerpen-cerpen Ben Sohib. Humor yang dibalut dengan cara pengisahan berteknik tinggi itu selalu mengingatkan saya pada cerpen-cerpen Yusi Avianto Pareanom dan AS Laksana. Barangkali, bisa dikatakan Ben terpengaruh oleh Yusi dan Sulak dalam hal teknik pengisahan cerita.
Pengaruh itu pula yang barangkali membuat Ben Sohib kerap membuat cerita yang menggantung—sebuah teknik yang kerap saya jumpai dalam kisah-kisah Yusi dan Sulak. Selain cerpen “Bagaimana Nasrul Marhaban Mati dan Dikenang” dan “Haji Syiah”, cerita-cerita Ben yang saya baca memang selalu berakhir menggantung. Kadang-kadang, cerita-cerita itu bahkan bisa disebut sebagai tidak tuntas dan mungkin saja mereka hanyalah fragmen dari sebuah kisah yang lebih panjang.
Tendensi tak tuntas itu tampak paling kuat pada “Dakocan”, cerpen Ben paling baru yang dimuat pada 2 November 2014 di Koran Tempo. Cerpen ini juga tampak paling berbeda dengan empat cerita lain karena latar tempatnya bukanlah Kampung Melayu Pulo atau Kebon Nanas dan tokoh-tokohnya bukanlah orang-orang di kampung tersebut.
Barangkali, perbedaan itu menandakan Ben sedang berevolusi dan memperbarui diri. Mungkin kita tak akan bertemu para haji atau orang-orang kampung lagi dalam cerpen Ben berikutnya, tetapi, berkaca pada “Dakocan”, kita masih bisa berharap Ben Sohib akan menghasilkan cerita-cerita yang penuh ironi tetapi juga membuat terpingkal-pingkal. Mari kita tunggu.
foto diambil dari sini.
Komentar