Menyelematkan Anggrek Merapi
Perjalanan kami menembus Hutan Turgo di kaki Gunung Merapi, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu pagi, 21 Februari 2015, ternyata tak sia-sia. Meski kaki pegal dan napas tersengal-sengal, badan terasa segar saat menghirup udara khas pegunungan dan mendengarkan kicauan burung hutan. Apalagi, sesudah berjalan beberapa ratus meter, kami menemukan aneka tanaman anggrek yang memanjakan mata.
Anggrek-anggrek itu menempel di sejumlah batang pohon. Di bawahnya, terdapat papan yang berisi informasi ihwal jenis anggrek dan karakteristiknya. “Kawasan hutan ini merupakan areal pelestarian anggrek yang hidup di wilayah Gunung Merapi,” kata Sulistyono, pegiat Yayasan Kanopi Indonesia, yang memimpin perjalanan kami.
Beberapa puluh meter sesudah memasuki hutan, kami memang menjumpai gerbang masuk areal pelestarian anggrek Merapi. Namun, dari gerbang tersebut, pengunjung harus berjalan beberapa ratus meter lagi untuk berjumpa dengan aneka anggrek yang mempesona.
Pagi itu, Sulistyono meminta rombongan kami berhenti di sebuah dataran cukup luas yang dikelilingi beberapa pohon. Sesudah beristirahat sebentar, sejumlah pegiat Yayasan Kanopi Indonesia dibantu petugas Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dan warga setempat mulai memanjat pohon. Mereka hendak menempelkan beberapa tanaman anggrek ke pohon.
Kegiatan tersebut merupakan bagian dari acara peluncuran Program Adopsi Anggrek Merapi yang digagas Balai TNGM bekerja sama dengan Yayasan Kanopi Indonesia dan Kelompok Tani Ngudi Makmur. “Di tempat ini, kita akan melepasliarkan sekitar 20 anggrek yang sudah diadopsi oleh donatur,” kata Sulistyono.
Anggrek yang akan dilepasliarkan itu telah ditempelkan di papan yang dibuat dari tanaman pakis. “Pelepasliaran dilakukan dengan mengikat, bukan memaku, pakis ke pohon. Ingat, yang diikat itu pakisnya, bukan batang anggreknya. Tali pengikatnya dibuat dari bahan alami, yakni ijuk, agar ramah lingkungan,” tutur Sulistyono pada para donatur dan pengunjung.
Sesudah upacara peluncuran dilakukan, para pengunjung tak mau ketinggalan untuk menempelkan anggrek ke pohon. Beberapa mahasiswi dan remaja perempuan bahkan nekat memanjat pohon dengan bantuan tangga agar bisa merasakan sensasi melepasliarkan anggrek. Tentu saja, mereka tak lupa mengabadikan peristiwa itu dengan kamera dan telepon genggam.
***
Pelestarian anggrek di lereng Merapi tak bisa dilepaskan dari peran Musimin (50), Ketua Kelompok Tani Ngudi Makmur di Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman. Sejak awal dekade 2000-an, Musimin dan beberapa warga Dusun tergerak melestarikan anggrek di Merapi. Konservasi terhadap anggrek yang tumbuh di kaki Gunung Merapi perlu dilakukan karena kelestarian tanaman tersebut terancam oleh sejumlah sebab.
Ancaman terbesar tentu saja adalah letusan Gunung Merapi yang terjadi secara periodik. Tiap kali erupsi Merapi terjadi, sebagian kawasan hutan di kaki gunung tersebut rusak sehingga banyak tanaman yang mati. Ancaman lainnya adalah pengambilan tanaman anggrek di hutan untuk dijual yang sempat marak beberapa tahun lalu.
Dibantu sejumlah lembaga, termasuk Yayasan Kanopi Indonesia, Musimin dan beberapa warga Dusun Turgo kemudian membangun green house atau rumah budidaya anggrek. Di green house itulah bibit-bibit anggrek asli Merapi dikembangbiakkan dan dipelihara hingga tumbuh dewasa. Jika jumlah bibit anggrek sudah cukup banyak, sebagian tanaman itu akan dikembalikan ke habitat aslinya di kawasan TNGM.
Saat ini, ada lima rumah budidaya anggrek yang semuanya berada di dekat rumah Musimin. “Di rumah budidaya kami ada 2.000 tanaman anggrek yang terdiri dari 60 jenis,” kata Musimin. Tiap hari, Musimin dan keluarganya bergantian merawat dan menjaga ribuan anggrek tersebut. “Perawatan anggrek cukup mudah, hanya perlu disiram air dua hari sekali. Enggak perlu dipupuk,” katanya.
Musimin mengaku tergerak melestarikan anggrek agar anak cucunya kelak tetap bisa menikmati keindahan bunga tersebut. “Kalau enggak dilestarikan, anak cucu kita nanti enggak bisa lihat dan tahu anggrek Merapi itu seperti apa. Padahal Merapi ini kan ‘gudangnya’ anggrek,” tutur dia.
***
Sulistyono menjelaskan, berdasarkan sejumlah riset, ada 95 jenis anggrek yang saat ini tumbuh di sekitar Gunung Merapi, sebagian di antaranya tergolong langka. Salah satu contohnya adalah Anggrek Rhomboda velutina yang tercatat hanya pernah ditemukan di sekitar Gunung Ungaran, Jawa Tengah, pada 1921. Ada pula Anggrek Zeuxine petakensis yang selama ini hanya ditemukan di Kalimantan.
Menurut Sulistyono, sejak tahun 2002, Yayasan Kanopi Indonesia didukung Balai TNGM membantu warga Dusun Turgo membudidayakan dan merawat anggrek. Budidaya dilakukan di luar kawasan hutan yang dianggap aman dari ancaman erupsi Merapi. “Kami juga mendata semua jenis anggrek di Merapi dan menerbitkan buku tentang anggrek Merapi,” ujarnya.
Kepala Balai TNGM Edy Sutiyarto mengatakan, Program Adopsi Anggrek Merapi dibuat agar konservasi anggrek bisa makin baik. Dalam program tersebut, masyarakat diajak mengadopsi anggrek Merapi dengan menyumbangkan dana. Ada tiga paket adopsi yang bisa dipilih para donatur, baik individu maupun lembaga. Yang pertama adalah paket platinum, yakni adopsi Vanda tricolor, anggrek ikonik Gunung Merapi, dengan biaya Rp 1.000.000 untuk setiap bibit.
Paket kedua adalah paket gold, yakni adopsi anggrek jenis Eria hyacinthoides, Bulbophyllum lemniscatoides, Pholidota ventricosa, Gastrochilus sororius, atau Macropodanthus teysmannii, dengan biaya Rp 850.000 per bibit. Adapun yang ketiga adalah paket silver, yakni adopsi anggrek jenis Dendrobium mutabile, Eria obbliterata, dan Bulbophyllum flavescens dengan dana adopsi sebesar Rp. 675.000 untuk setiap bibit.
Dana yang terkumpul akan dipakai untuk merawat anggrek yang sudah dilepasliarkan di hutan. Sebab, anggrek yang baru saja dilepaskan ke alam harus dirawat selama dua tahun, misalnya dengan memberi air.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Novianto Bambang mengapresiasi program Adopsi Anggrek Merapi. Namun, Novianto meminta dana dari program adopsi itu dikelola secara transparan. “Dana itu harus diaudit dan penggunannya dilaporkan pada donatur,” ujarnya.
NB: versi sedikit berbeda dari tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 29 April 2015
Komentar