Pindah, Singgah, Rumah
Sekitar setahun lalu, saat berbaring di kasur kontrakan kami di Palembang, Sumatera Selatan, telepon seluler saya berdering. Waktu itu sekitar pukul 11 malam dan saya bersama istri sudah hampir tidur. Saya mengambil ponsel, mengamati layarnya, dan terkejut karena panggilan telepon itu berasal dari kantor di Jakarta.
“Iya, Mas,” kata saya menjawab telepon. Yang menelepon adalah atasan saya dan dia memulai percakapan nyaris tengah malam itu dengan sebuah pertanyaan aneh: “Ris, kamu asli Jogja atau Solo ya?” Saya menjawab bahwa saya berasal dari Solo, lalu bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya terjadi.
Ternyata, panggilan telepon malam itu adalah sebuah awal dari perjalanan panjang kami—saya dan istri—untuk kesekian kali. Beberapa hari kemudian, saya dipanggil menghadap ke kantor di Jakarta dan sampai di sana, saya tahu bahwa saya akan dipindahtugaskan dari Palembang ke Yogyakarta. Pemindahan itu jelas mengejutkan, tetapi juga membahagiakan, dan menjadi perjalanan pindah kota untuk kesekian kali bagi saya.
Sejak memutuskan meninggalkan Solo sesudah lulus kuliah pada 2009, saya berkali-kali berpindah tempat tinggal. Kota pertama yang saya singgahi adalah Jakarta, tempat saya bekerja sebagai reporter majalah berita mingguan selama dua setengah tahun, sebelum kemudian pindah ke sebuah harian.
Saat bekerja di koran itulah saya mulai membayangkan akan mengalami perpindahan ke kota lain karena di kontrak pekerjaan saya tertulis kalimat “siap ditugaskan di seluruh wilayah Indonesia”. Sesudah setahun lebih ditempatkan di Jakarta, saya dipindahkan ke Bandung untuk penugasan selama sebulan. Meski pendek, perpindahan itu tak semudah yang dikira.
Saya harus mengemasi semua barang di Jakarta, lalu sebagian besar dikirim ke rumah saya di Solo, sementara sebagian kecil saya bawa ke Bandung. Barang bawaan saya ke tempat tugas baru itu bisa diringkas ke dalam satu koper, satu tas gunung, dan satu tas ransel. Di Bandung, saya tinggal di sebuah kamar di kantor koran tempat saya bekerja beserta dua reporter lain. Bandung adalah kota yang menyenangkan, tetapi saya hanya singgah di sana. Tempat penugasan baru sudah menanti saya, yakni Palembang.
Palembang adalah kota yang sempat saya bayangkan menjadi tempat tinggal selama beberapa tahun karena penugasan di sana memang belum disertai batas waktu. Sebulan pertama di sana, saya tidur di kamar yang juga terdapat di kantor, tetapi kemudian saya harus mencari kontrakan rumah. Penyebabnya, sesudah lebih dari sebulan di Palembang, saya memutuskan untuk menikah. Tentu saja, tak mungkin mengajak istri saya tidur di kantor terus-menerus.
Maka, dua hari sesudah menikah di Solo, saya mengajak istri pindah ke Palembang. Barang bawaan kami cukup banyak, tetapi untung masih bisa dimasukkan dalam bagasi pesawat terbang. Begitu tiba di Palembang, kami langsung tinggal di rumah yang terletak dekat Jalan Kolonel H Burlian itu. Itu adalah masa kerja keras karena kami harus membeli cukup banyak barang dan menata rumah.
Lama-kelamaan, saya dan istri mulai menyukai Palembang. Kami sempat tamasya ke beberapa tempat, termasuk Pulau Kemaro yang tersohor, juga mencoba banyak jenis pempek. Salah satu kegiatan favorit kami di sana adalah pergi ke warung-warung pempek, baik yang berada di pasar tradisional maupun toko modern macam Candy dan Beringin. Kadang kami ke mal dan ke bioskop untuk nonton film.
Tetapi kemudian, panggilan telepon nyaris tengah malam itu datang dan beberapa hari kemudian saya dan istri harus mengemasi semua barang, lalu pindah ke Yogyakarta. Akhirnya, lama penugasan saya di Palembang hanya tiga bulan dan sejak April 2014, saya resmi ditempatkan sebagai wartawan di Yogyakarta. Menjadi wartawan di kota manapun itu menyenangkan, tetapi menjadi wartawan di Yogyakarta itu, bagi saya, sangat menyenangkan.
***
Kini, kami mengontrak rumah kecil di daerah Banguntapan, Kabupaten Bantul, tak jauh dari pusat kerajinan perak Kotagede. Pengalaman tinggal di Yogyakarta sangat berbeda dengan di Palembang. Di Palembang, kami terhitung jarang berinteraksi dengan para tetangga karena kegiatan warga di kampung itu sangat jarang. Tak ada rapat RT, tak ada pengajian, tak ada arisan. Hanya dengan beberapa tetangga dekat rumah kami intens berinteraksi.
Sebaliknya, di Yogyakarta, warga di perumahan kami sangat aktif mengadakan kegiatan. Mulai kegiatan rutin semacam rapat RT, arisan ibu-ibu, pengajian, Posyandu, pertemuan dasawisma (saya baru tahu ada pertemuan macam ini setelah tinggal di Yogyakarta), hingga ke acara-acara insidental macam gerak jalan, tirakatan, dan yang sekarang sedang direncanakan adalah piknik bersama.
Sekarang, pada tanggal 5 setiap bulan, saya harus menyisihkan waktu untuk hadir dalam rapat RT khusus bapak-bapak—sesuatu yang belum pernah saya alami sebelumnya. Menjalani kewajiban baru itu tentu saja awalnya terasa aneh dan sangat membosankan, tetapi mau tak mau saya harus menyesuaikan. Istri saya juga harus mengikuti arisan ibu-ibu, pengajian, dan bahkan menjadi tuan rumah demo masak.
Saya tak tahu sampai kapan penugasan di Yogyakarta ini, tetapi untuk sementara, kami akan menganggap “Kota Pelajar” ini sebagai rumah yang tak sekadar disinggahi.
Komentar