Menari untuk Kesetaraan
Di panggung yang gelap dan tak terlalu luas itu, Arif Setyo Budi (28) duduk bersimpuh. Dalam keremangan cahaya, sosoknya terlihat sama dengan penari-penari yang biasa kita lihat. Namun, begitu Arif berdiri diiringi sorotan lampu, penonton tahu dia ternyata hanya memiliki satu kaki.
Arif memulai koreografinya dengan gerakan standar dalam pertunjukan breakdance. Dia menundukkan badan dan menyentuhkan kepalanya ke lantai, lalu perlahan-lahan badan dan kakinya diangkat. Setelah gerakan berdiri dengan kepala atau headstand itu, Arif melakukan salto ke kanan dan kiri, ke depan dan belakang.
Kemudian, dia mulai berimprovisasi dengan kaki kirinya yang masih normal. Pada beberapa kesempatan, Arif memakai tongkat penyangga untuk membantunya melakukan sejumlah manuver. Meskipun tak berbeda jauh dengan pentas breakdance biasa, tarian Arif tetap menyentuh karena dia mampu menerobos keterbatasannya untuk menghasilkan gerakan-gerakan indah.
Kamis malam, 28 Mei lalu, Arif tampil membawakan koreografi berjudul “Breakdance Tanpa Batas” di Auditorium Lembaga Indonesia Perancis Yogyakarta. Tarian Arif merupakan satu dari empat repertoar dalam pertunjukan tari “All Bodies Speak!” yang ditampilkan malam itu oleh Komunitas Nalitari. Selain “Breakdance Tanpa Batas”, tiga repertoar lainnya adalah “Island of Doll”, “Bintang”, dan “Nalitari”.
Berbeda dengan pertunjukan tari umumnya, sebagian besar penari dalam “All Bodies Speak” bukanlah penari profesional. Sebagian dari mereka bahkan merupakan orang-orang berkebutuhan khusus atau difabel, termasuk Arif yang belajar breakdance sejak tahun 2005.
“Pada tahun 2007, saya mengalami kecelakaan kerja di pabrik sehingga kaki kanan saya terpotong. Sesudah masa pemulihan, saya kembali berlatih breakdance tahun 2008 dan terus berlatih hingga sekarang, termasuk setelah bergabung dengan Nalitari,” kata Arif yang berasal dari Malang, Jawa Timur.
***
Nalitari adalah komunitas nirlaba di Yogyakarta yang bertujuan mempromosikan inklusifitas dan kesetaraan melalui dan dalam tarian. Pembentukan komunitas itu berawal dari penyelenggaraan pelatihan tari DanceAbility di Yogyakarta pada April 2013. “DanceAbility adalah metode tarian yang memberikan ruang dan kesempatan kepada semua orang untuk menari,” kata Koordinator Komunitas Nalitari, Tiara Brahmarani (29).
DanceAbility diciptakan pada tahun 1987 oleh Alito Alessi, seorang penari Amerika Serikat yang memiliki pengalaman dalam dunia tari selama 30 tahun. Pada April 2013, Alessi datang ke Yogyakarta untuk memberi pelatihan DanceAbility kepada sejumlah orang dari beragam latar belakang.
Pada Desember 2013, peserta workshop yang terdiri dari mahasiswa, guru, penari profesional, dan orang berkebutuhan khusus itu mendirikan Komunitas DanceAbility Indonesia yang merupakan cikal-bakal Nalitari. “Nama Nalitari itu berasal dari dua kata, ‘nali’ dan ‘tari’. Nali dalam bahasa Jawa bermakna mengikat sehingga komunitas ini ingin mengikat orang dari beragam latar belakang melalui tarian,” kata Direktur Kreatif Nalitari, Yoana Wilda Kristiawati (23).
Menurut Tiara, ada empat prinsip utama dalam DanceAbility. Prinsip pertama adalah sensasi, yakni tiap penari dibebaskan melakukan gerak yang bisa memberi sensasi kepada dirinya. Prinsip kedua adalah hubungan, yang bermakna seorang penari harus sadar mereka sedang berhubungan dengan penari lain saat menari.
Prinsip ketiga adalah waktu. Prinsip ini bermakna penari harus menyadari bahwa tiap orang memiliki kecepatan yang berbeda dalam bergerak sehingga harus ada penyesuaian. Adapun prinsip keempat adalah desain, yang berarti semua gerakan dalam DanceAbility harus bisa membangun desain yang indah dan bisa dinikmati orang lain.
Dengan prinsip-prinsip itu, kata Tiara, dalam DanceAbility tidak ada gerakan baku yang diajarkan secara ketat seperti dalam tari tradisional. Dalam DanceAbility, setiap orang dibebaskan menentukan gerakan apa yang akan mereka lakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Karena itu pula, pegiat DanceAbility biasanya mempraktikan tarian yang penuh improvisasi.
Tiara menuturkan, Nalitari memiliki anggota sekitar 50 orang dengan usia dan latar belakang beragam. Sebagian besar dari mereka bukan penari profesional dan sebagian lainnya adalah orang berkebutuhan khusus, misalnya tuna daksa, tuna rungu, dan mereka yang mengalami down syndrome. Dalam pentas “All Bodies Speak!”, orang-orang berkebutuhan khusus itu memainkan peran yang cukup vital pada empat repertoar yang ditampilkan.
Keterlibatan beberapa orang berkebutuhan khusus kadang membuat Nalitari dianggap sebagai kelompok penari khusus difabel. Menurut Tiara, anggapan semacam itu salah karena Nalitari tak khusus mengembangkan tarian untuk kelompok difabel. Keterlibatan orang difabel merupakan upaya untuk mempromosikan kesetaraan dan mengikis sikap diskriminatif pada kelompok tertentu.
***
Tiara mengatakan, menari dengan metode DanceAbility memiliki banyak manfaat, misalnya menumbuhkan kepercayaan diri dan menjalin relasi yang lebih baik dengan orang lain. “Namun, manfaat DanceAbility pasti berbeda-beda untuk tiap orang. Bagi saya, menari membuat mengenali diri sendiri karena saat menari saya merasakan sensasi pada tubuh saya,” kata perempuan yang sedang menyelesaikan studi magister tersebut.
Anggota Komunitas Nalitari, Lusi Insiati (50), menuturkan, semua proses di komunitas tersebut berlangsung dengan hangat dan setara. “Enggak ada perlakuan yang berbeda untuk tuna daksa seperti saya. Dengan gabung di komunitas ini, saya mendapatkan banyak teman baik,” kata wanita yang memakai kursi roda tersebut.
Sejak berdiri tahun 2013, Nalitari telah tampil di sejumlah acara, misalnya Festival Kesenian Yogyakarta, Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta, dan peringatan Hari Difabel Internasional. Sebelum “All Bodies Speak!”, komunitas itu juga pernah menggelar pertunukan “Beyond Body Borders” di Rumah Budaya Tembi, Yogyakarta, pada Juni 2014.
Meskipun masih memiliki sejumlah keterbatasan, misalnya belum memiliki sekretariat dan belum bisa menggelar latihan secara rutin, Nalitari terus berproses dan ke depan bisa diharapkan ikut mewarnai dunia kesenian di Indonesia.
NB: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas edisi Minggu, 7 Juni 2015
Setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan,setiap org jg pengen mengembangkan potensi dirinya,di Nalitari ini bisa mengembangkan bakat menari sesorang tdk hanya yg normal yg cacat jg bisa berkarya diNalitari.diNalitari megajarkan keteraan tdk menbeda2kan.