Perjalanan yang Membuka Dialog
Saat tokoh Mahmud dalam Film Mencari Hilal memulai perjalanan, dia hanya punya satu tujuan: membuktikan bahwa praktik ibadah yang tulus dan tak mengharap imbalan itu masih ada. Namun, seperti kemudian kita lihat, perjalanan itu justru membawa Mahmud ke situasi tak terduga dan memaksanya membuka diri pada “yang lain”.
Pada akhirnya, yang terpenting dalam film karya sutradara Ismail Basbeth itu bukanlah keberhasilan Mahmud menemukan hilal, bulan sabit muda pertama yang menandai datangnya awal bulan dalam sistem kalender Hijriyah. Seperti yang bisa kita temui dalam beberapa film dan novel tentang perjalanan, film itu menyiratkan bahwa yang terpenting dalam sebuah perjalanan bukanlah akhir atau tujuan, melainkan proses.
Barangkali itulah kenapa adegan penemuan hilal dalam film tersebut berlangsung singkat dan biasa-biasa saja. Saat Mahmud (diperankan dengan baik oleh Deddy Sutomo) dan putranya, Heli (Oka Antara), berdiri di Menara Hiro untuk melihat bulan sabit di angkasa yang cerah, kita seperti tak melihat sebuah adegan yang agung. Bulan sabit itu juga tak tampak sebagai sebuah “harta karun” yang menjadi pamungkas sebuah film.
Mulai tayang di bioskop sekitar dua hari sebelum Lebaran tahun ini, Mencari Hilal memang dengan mudah dilabeli sebagai film religi. Namun, seperti dikatakan sendiri oleh Ismail Basbeth, karya itu juga bisa—dan memang pertama-tama harus—dianggap sebagai film keluarga. Terlepas dari soal hilal yang selalu dicari dan diperdebatkan jelang Ramadan dan Idul Fitri di Indonesia, Mencari Hilal memang pada dasarnya berkisah soal hubungan ayah dan anak yang telah lama diwarnai ketegangan.
Dalam berbagai sinopsis ihwal film ini, Mahmud digambarkan sebagai seorang muslim yang selalu berupaya menjalankan agamanya secara kaffah. Keislaman Mahmud tak hanya tampak dalam ibadah formal, misalnya salat tepat waktu dan tetap berpuasa meski sedang bepergian, tetapi juga terlihat dalam perilaku sehari-hari. Saat berdagang di pasar, misalnya, dia tak mengambil keuntungan berlebih dan selalu memberitahukan kondisi barang jualannya pada para pembeli.
Dalam relasi dengan orang lain, ketaatan Mahmud tampak dari upayanya yang konsisten dan kadang nekat untuk mengingatkan dan menasihati orang lain yang dianggapnya tidak atau kurang taat menjalankan ajaran agama. Maka, dengan kengototan yang kadang tak masuk akal, ayah dua anak itu menasihati para pedagang yang dinilainya mengambil laba tak wajar menjelang Lebaran, sopir bus yang tak puasa karena khawatir membahayakan keselamatan penumpangnya, juga warga sebuah desa yang menentukan datangnya Idul Fitri berdasar kalender Jawa.
Sementara itu, Heli, anak kedua Mahmud, adalah seorang aktivis yang mengedepankan rasionalitas dan hubungan baik dengan orang lain dibandingkan kesalehan agama. Dia jelas-jelas tidak berpuasa saat Ramadan serta tidak ikut salat dengan bapaknya yang selalu tergopoh-gopoh mencari tempat salat saat adzan berkumandang. Sikap semacam itu mungkin terbentuk karena Heli melihat “dampak buruk” dari kesalehan ayahnya, yakni penelantaran sang ibu.
Saat mendengar berita tentang besarnya biaya pelaksanaan Sidang Isbat yang digelar Kementerian Agama, Mahmud merasa galau. Dia lalu teringat ritual yang dilakukannya bersama teman-temannya saat di pondok pesantren dulu, yakni melakukan perjalanan untuk mencari hilal. Mahmud ingin melakukan napak tilas perjalanan itu, namun anak pertamanya, Halida (Erythrina Baskoro) melarang karena kondisi kesehatan sang ayah yang memburuk.
Setelah berdebat keras, Halida, yang bekerja di kantor imigrasi, mengizinkan Mahmud berangkat dengan syarat harus ditemani Heli. Waktu itu, Heli kebetulan pulang ke rumah karena ingin mengurus paspor untuk berangkat ke Nikaragua. Meski awalnya sangat keberatan, Heli akhirnya menemani sang ayah dengan imbalan dibantu mengurus paspor oleh kakaknya.
Menyatukan dua tokoh dengan pendirian bertolak belakang dalam satu perjalanan sebenarnya adalah formula klasik dalam sebuah cerita. Kita bisa menebak sejak awal bahwa perjalanan Mahmud dan Heli akan diwarnai konflik yang sumbernya tentu saja perbedaan sikap hidup di antara keduanya. Maka, dalam Mencari Hilal, kita melihat ayah dan anak itu bertengkar dalam banyak hal yang kemudian memuncak pada pengusiran Heli.
Namun, dalam cerita yang demikian, kita juga tahu bahwa pelan-pelan akan ada dialog antara Heli dan bapaknya. Perjalanan akan mendekatkan keduanya—secara fisik, mereka harus duduk berdekatan dalam kendaraan umum, berjalan kaki beriringan, dan tidur dalam kasur yang sama. Kedekatan fisik itu kemudian memunculkan dialog, bukan hanya secara verbal tetapi juga perasaan. Heli mulai memahami kengototan ayahnya, sementara Mahmud perlahan menyadari rasa frustasi sang anak yang kehabisan waktu mengurus paspor untuk keberangkatannya ke Nikaragua.
Rasa saling pengertian itu memuncak saat keduanya berdiri di Menara Hiro untuk melihat hilal. Secara metaforis, pencarian hilal yang dilakukan Mahmud bahkan bisa dikatakan sebagai pencarian terhadap anaknya sendiri, atau pencarian terhadap hubungan ayah-anak yang penuh kasih sayang. Saya kira, pada titik inilah Mencari Hilal sangat tepat disebut sebagai film keluarga.
***
Namun, dialog dalam Mencari Hilal tak berlangsung dalam satu lapis saja. Selain berdialog dengan anaknya, dalam perjalanan itu, Mahmud juga dipaksa bertemu dengan orang-orang yang berbeda dengannya. Pihak yang berbeda itu antara lain umat Nasrani yang kesulitan mendirikan gereja karena ancaman kelompok Islam garis keras; seorang muslim yang memiliki keponakan nonmuslim; dan penganut Islam Jawa yang memadukan ajaran agama dengan keyakinan kejawen.
Saat bertemu dengan orang-orang yang berbeda keyakinan dengannya, Mahmud awalnya terlihat tidak nyaman, curiga, dan bahkan berupaya “menyerang” mereka. Itulah yang antara lain terlihat saat ia menceramahi para penganut kejawen tentang bid’ah dan akidah yang benar. Namun, seperti hubungannya dengan sang anak, perlahan-lahan Mahmud membuka diri untuk berdialog. Hal itu antara lain tampak saat sang penganut Islam kaffah itu akhirnya membawa kitab penganut kejawen untuk dibaca.
Kemauan berdialog itu muncul antara lain karena prasangka yang dibangun Mahmud tentang pihak yang berbeda dengannya ternyata salah. Mereka “yang lain” itu ternyata bersikap baik pada Mahmud dan bahkan membantunya untuk menemukan hilal. Film ini bahkan menggambarkan bahwa bantuan terbesar yang diterima Mahmud saat mencari hilal datang bukan dari teman-temannya di pondok pesantren dulu atau sesama muslim, melainkan justru dari seorang pemuka agama lain.
Dengan semua hal itu, kita bisa mengatakan Mencari Hilal adalah film yang berupaya mendorong dialog di antara pemeluk agama untuk menciptakan saling pemahaman. Film itu juga seolah menyarankan: mereka yang merasa diri paling benar dalam beragama mungkin perlu mengikuti jejak Mahmud untuk memulai perjalanan agar bisa bertemu dan berdialog dengan “yang lain”.
NB: foto diambil dari sini
Komentar