Tak Ada Sultan di Ambarketawang
Pesanggrahan Ambarketawang yang biasanya sepi mendadak didatangi sejumlah orang, Minggu sore, 12 Juli lalu. Deretan sepeda motor diparkir di tanah lapang dekat sisa-sisa benteng di depan area pesanggrahan. Belasan pemuda tiba memakai baju peranakan warna biru, blangkon, dan jarik batik.
Tampilan mereka mirip dengan para abdi dalem Keraton Yogyakarta. Tetapi mereka bukan abdi dalem. Para pemuda itu, entah dari mana saja asal mereka, datang bukan untuk mengabdi pada keraton, tetapi untuk melakukan “revolusi”. Atau mungkin saja pemberontakan. Setidaknya, itulah yang mungkin mereka bayangkan.
Di depan sejumlah wartawan, pemuda-pemuda yang mengaku sebagai anggota Paguyuban Trah Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan itu membacakan semacam pernyataan sikap berkaitan dengan sabda raja yang dikeluarkan Sultan Hamengku Bawono X, Raja Keraton Yogyakarta, pada 30 April lalu. Menurut mereka, sejak sabda raja—yang berisi perubahan nama Sultan HB X—itu keluar, Keraton Yogyakarta berada dalam kekosongan kekuasaan.
Sebab, bagi mereka, pergantian nama dan gelar Sultan HB X membuat sang raja tak lagi berhak bertakhta. Lalu, dengan keberanian yang cukup mengejutkan, pemuda-pemuda itu mengangkat Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo, adik tiri Sultan HB X, sebagai raja dengan gelar Sultan Hamengku Buwono XI.
Prosesi pengangkatan raja baru itu berlangsung tak lebih dari 30 menit. Tak ada upacara apapun yang mengiringi. Prosesinya mirip pembacaan pernyataan sikap atau bahkan konferensi pers. Teks pengangkatan raja memakai bahasa Indonesia. Seusai acara, panitia memberikan salinan teks pengukuhan raja itu, juga rilis pers, kepada wartawan.
Selama acara berlangsung, warga sekitar Pesanggrahan Ambarketawang terlihat tak ambil peduli. Beberapa warga malah asyik nongkrong di depan rumah mereka, tak peduli bahwa beberapa meter dari tempat tinggal mereka sedang terjadi sebuah “revolusi”. Sampai acara selesai, raja baru yang dikukuhkan juga tak datang.
***
Pesanggrahan Ambarketawang terletak di Dusun Tlogo Lor, Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di tempat itulah dulu Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I, pernah tinggal selama satu tahun, sejak 9 Oktober 1755 hingga 7 Oktober 1756.
Sesudah Perjanjian Giyanti ditandatangani, Sultan HB I bersama keluarganya tinggal di pesanggrahan itu sambil menunggu pembangunan Keraton Yogyakarta selesai. Tempat itu dipilih karena dinilai cukup strategis sebagai benteng pertahanan karena dulu lokasinya terlindung gunung kapur yang besar.
Kini, pesanggrahan itu hanya menyisakan beberapa bangunan dan benteng yang tak lagi utuh. Ada sebuah papan berlapis kaca yang berisi informasi ihwal sejarah pesanggarahan tersebut, juga papan larangan merusak situs cagar budaya itu.
Sejarah Pesanggrahan Ambarketawang itulah yang menyebabkan sekelompok orang yang mengaku berasal dari Paguyuban Trah Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan menggelar pengukuhan raja baru di sana. Di tempat awal mula Keraton Yogyakarta itu, anak-anak muda tersebut mungkin berhasrat membangun sejarah baru keraton.
Ketua Paguyuban Trah Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan, Satria Djojonegoro, membandingkan pengukuhan raja baru yang dilakukan kelompoknya dengan pengukuhan Pangeran Mangkubumi sebagai Raja Mataram dengan gelar Paku Buwono III oleh para pengikutnya pada Desember 1749 di Desa Kebanaran. Kala itu, Mangkubumi sedang berperang melawan Paku Buwono II yang dibantu VOC.
Di tengah perang, Paku Buwono II meninggal dunia sehingga sempat terjadi kekosongan kekuasaan di tampuk Mataram. Mangkubumi lalu diangkat sebagai raja oleh pengikutnya untuk “mengisi kekosongan” tersebut. Namun, kita juga tahu bahwa VOC kemudian mengangkat putra Paku Buwono II sebagai Paku Buwono III sehingga perang antara Mangkubumi dan kerajaan di Surakarta terus berlanjut hingga munculnya Perjanjian Giyanti.
Dari perbandingan tersebut, kita melihat ada hasrat besar dari anak-anak muda yang datang ke Ambarketawang dengan pakaian peranakan itu. Namun, seperti yang kemudian tampak, hasrat itu ternyata cepat sekali padam. Tak ada kerabat keraton yang mendukung pengangkatan raja baru itu. GBPH Prabukusumo mengaku tak tahu-menahu soal pengangkatan itu sehingga ia menolak pengukuhan tersebut.
Penghageng Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta, Kanjeng Raden Tumenggung Jatiningrat, juga menyatakan pengangkatan itu tidak sah karena tak dilakukan sesuai aturan keraton. Padahal, Prabukusumo dan Jatiningrat selama ini dikenal sebagai kerabat keraton yang tak setuju dengan sabda raja yang dikeluarkan Sultan HB X.
Media massa juga tak memberitakan pengangkatan itu secara besar-besaran. Beberapa koran lokal, semisal Kedaulatan Rakyat dan Tribun Jogja, memberitakan peristiwa itu di halaman dalam, bukan di halaman 1. Masyarakat Yogyakarta juga tenang-tenang saja, tak tampak ada keresahan yang signifikan.
Oleh karena itu, secara faktual dan hukum, pengangkatan raja baru di Ambarketawang tersebut tak berpengaruh signifikan pada kedudukan Sultan HB X sebagai raja. Tetapi, peristiwa itu menarik untuk dicermati karena menandakan beberapa fenomena.
Pertama, peristiwa itu menandai makin kerasnya konflik terkait sabda raja. Cara-cara yang ditempuh para pihak berkonflik juga makin keras dan tidak elegan. Selain itu, pihak-pihak yang terlibat di pusaran konflik juga kian banyak sehingga situasinya menjadi makin kompleks.
Kedua, pengangkatan raja baru tersebut tampaknya lebih ditujukan untuk menggerus legitimasi dan wibawa Sultan HB X dan Keraton Yogyakarta, bukan benar-benar untuk merebut kekuasaan. Sebab, jika tujuannya memang untuk merebut takhta, prosesi pengangkatan raja baru itu terlihat sangat tidak serius dan kini terbukti sudah gagal.
Upaya merongrong wibawa keraton itu menarik untuk dicermati karena tak banyak pihak di Yogyakarta yang berani melakukan itu secara terang-terangan. Selama ini, Keraton Yogyakarta selalu dianggap sebagai institusi kerajaan yang mampu mempertahankan legitimasi dan kewibawaannya pada era demokrasi. Mungkin bahkan ada kepercayaan bahwa Keraton Yogyakarta akan “kebal” terhadap konflik internal yang bisa memecah-belah kerajaan di tempat lain.
Namun, konflik yang terjadi setelah keluarnya sabda raja—yang sudah berlangsung sekitar dua setengah bulan—sebenarnya menunjukkan bahwa “kekebalan” semacam itu tidak ada. Lagi pula, kita cukup menengok sejarah Keraton Yogyakarta—yang usianya baru 260 tahun—untuk melihat bahwa konflik ada di mana-mana—bahkan pendirian kerajaan tersebut juga bermula dari sebuah perselisihan.
Hingga kini, kita belum tahu bagaimana konflik terkait sabda raja itu akan berakhir. Tetapi, untuk sementara, satu hal telah jelas: tak ada Sultan baru yang muncul di Ambarketawang.
Komentar