Apakah Yogyakarta Membutuhkan Go-Jek?
Mulai Senin, 16 November 2015, Go-Jek resmi beroperasi di Yogyakarta. Hari itu, saya datang ke kantor cabang Go-Jek di Yogyakarta untuk meliput keramaian di sana, juga mewawancarai sejumlah warga yang mendaftar menjadi pengemudi.
Kantor itu ramai. Halamannya penuh dengan deretan sepeda motor. Di dalam ruangan ada banyak orang yang sedang mengikuti pelatihan sebagai pengemudi Go-Jek. Saat hendak masuk ke kantor, seorang laki-laki menghentikan kami. “Pendaftarannya sudah tutup, Mas. Besok Kamis baru buka lagi. Ini saya juga mau daftar tapi kecele,” kata dia karena mengira saya hendak mendaftar sebagai pengemudi.
Semua orang yang masuk ke kantor itu memang akan “dicurigai” hendak mendaftar sebagai pengemudi Go-Jek. Warga yang datang untuk mendaftar tidak hanya mereka yang berasal dari kalangan bawah, tapi juga kelas menengah. Siang itu saya bahkan melihat anak muda gaul yang mengendarai sepeda motor laki datang dengan memakai jaket Go-Jek.
Selain anak muda itu, saya bertemu dengan seorang ibu rumah tangga asal Bantul yang mendaftar sebagai pengemudi Go-Jek agar “tidak hanya menganggur di rumah”, juga seorang mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada yang ingin mencari penghasilan tambahan dengan ngojek. Keduanya sudah resmi menjadi driver Go-Jek dan terus-menerus melihat ke smartphone hitam yang menjadi senjata utama mereka.
Di tengah aktivitas itu, saya sempat menelepon pejabat dinas perhubungan di Pemkot Yogyakarta dan Pemda DI Yogyakarta untuk menanyakan apakah mereka sudah tahu soal beroperasinya Go-Jek di Yogyakarta. Keduanya sama-sama menjawab belum tahu. Saya agak terkejut mendengarnya. Sesudah ini, barangkali perdebatan ihwal “perizinan” Go-Jek akan mengemuka di Yogyakarta, menular dari kota-kota yang sebelumnya sudah disinggahi layanan ojek daring tersebut.
Namun, saya tak tertarik menggubris soal perizinan yang menggelikan itu. Seusai merampungkan berita pendek soal beroperasinya Go-Jek, saya justru bertanya-tanya: apakah Yogyakarta benar-benar membutuhkan Go-Jek?
***
Untuk menjawab pertanyaan itu, barangkali kita harus menengok bagaimana sejarah kemunculan Go-Jek di kota awalnya, yakni Jakarta. Teman saya, Roy Thaniago, pernah membuat reportase cukup mendalam ihwal Go-Jek di Jurnal Karbon yang dikelola ruangrupa. Tulisan itu terbit pada 26 Juli 2011, sekitar lima bulan setelah pertama kali Go-Jek “mengaspal” di Jakarta dan jauh sebelum media-media daring kita meributkan apa saja yang terkait dengan perusahaan yang didirikan Nadiem Makarim tersebut.
Dalam tulisannya, Roy menyebut Go-Jek lahir dari situasi khas Jakarta. Buruknya sistem transportasi umum dan tingginya tingkat pengangguran, ditambah mudahnya membeli sepeda motor secara kredit, membuat banyak sekali tukang ojek yang muncul di Ibu Kota. Situasi khas itulah yang kemudian memunculkan kurva penawaran dan permintaan terkait ojek.
Dari sisi penawaran, banyak orang yang ingin mengais rezeki melalui ojek karena mereka tak punya pekerjaan formal atau penghasilan mereka tak memadai. Sementara, dari sisi permintaan, banyak warga yang membutuhkan ojek sepeda motor karena moda transportasi itu menjadi alternatif saat kemacetan Jakarta kian mengerikan dari waktu ke waktu.
Di tengah situasi itu, Go-Jek hadir untuk menghubungkan tukang ojek dan warga yang membutuhkan jasa mereka. Itulah kenapa, bagi sebagian warga Jakarta, Go-Jek sangat membantu. Sutradara Roby Ertanto, misalnya, mengatakan, dia kerap memakai jasa Go-Jek untuk mengambil atau mengantar barang. Karena kesibukan, juga kemacetan Jakarta yang parah, sutradara Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita itu memang sering tak sempat melakukan hal-hal semacam itu.
”Saya sudah beberapa kali pakai layanan ini untuk mengantar atau mengambil barang, seperti dokumen atau hard disk. Lebih praktis, cepat, dan bisa tepat waktu walaupun agak sedikit mahal karena tarif dihitung per kilometer. Namun, kita bisa pantau perjalanannya karena ada tracking GPS. Jadi, saya tidak perlu punya kurir sendiri,” kata Robby seperti dikutip Kompas.
Belakangan, kita tahu, Go-Jek melakukan ekspansi ke kota-kota lain, seperti Bandung dan Bali, lalu, ke Yogyakarta, Semarang, Medan, Palembang, dan Balikpapan. Namun, apa sebenarnya dasar pertimbangan ekspansi itu? Semata-mata bisnis, atau juga berangkat dari analisis sosial di setiap kota seperti yang dulu dilakukan ketika Go-Jek hadir di Jakarta?
***
Bertahun-tahun lalu, Yogyakarta kerap dianggap sebagai antitesis dari Jakarta. Jika Jakarta adalah kota yang sibuk dan macet, Yogyakarta dianggap sebagai kota yang selow dan hanya dilanda kemacetan pada waktu tertentu. Dengan kondisi itu, saya kira, Yogyakarta bukanlah tempat yang menumbuhkan banyak tukang ojek. Di kota ini, ojek juga tak pernah dianggap sebagai kendaraan yang punya “posisi istimewa” laiknya di Jakarta karena ojek di Yogyakarta bukanlah kendaraan penembus kemacetan seperti di Ibu Kota.
Bukan karena transportasi umum di kota ini lebih baik, melainkan karena kebanyakan penduduk “Kota Pelajar” tampaknya lebih nyaman naik sepeda motor pribadi saat bepergian. Ini karena mereka tak harus menempuh jarak yang jauh dalam aktivitas sehari-hari, juga tak harus menghadapi kemacetan tiap waktu. Untuk mereka yang tak punya atau tak bisa mengendarai sepeda motor, masih ada becak atau andong sebagai pilihan transportasi jarak dekat.
Saat ini, romantisme Yogyakarta sebagai antitesis Jakarta barangkali memang tidak lagi tepat. Kemacetan kian parah dan transportasi umum juga tak kalah buruknya, tetapi kita tetap bisa bertanya: apakah Yogyakarta benar-benar membutuhkan Go-Jek? Apakah penawaran dan permintaan terkait ojek di Yogyakarta memang sama-sama tinggi sehingga butuh dijembatani dengan aplikasi daring?
Atau jangan-jangan, masuknya Go-Jek ke Yogyakarta adalah pertanda bahwa kota ini sebenarnya kian mirip dengan Jakarta?
Komentar