Berwisata di Era Selfie
Di antara deretan bunga amarilis yang sedang mekar, Tri Wuri Handayani (20) berpose dengan beragam gaya. Kadang-kadang ia berdiri sambil melirik kamera, lalu kali lain dia duduk sambil berpose dengan senyum semanis mungkin. Gamis warna oranye bermotif bunga yang dipakainya terlihat serasi dengan pemandangan sekitar.
Sesudah beberapa gaya, dahi Tri terlihat berkeringat. Sapuan bedak di wajahnya sedikit memudar, namun warna lipstik di bibirnya masih terlihat tanpa cela. Sesaat kemudian, dia mengecek foto-foto hasil jepretan temannya. Keduanya kemudian bertukar peran karena sekarang giliran sang kawan yang bergaya di depan kamera.
Minggu siang, 29 November lalu, Tri dan seorang teman perempuannya sedang berwisata di kebun bunga amarilis di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Selama beberapa hari terakhir, kebun milik Sukadi (43), warga Dusun Ngasemayu, Desa Salam, Patuk, itu menjadi buah bibir setelah foto-foto pemandangannya menyebar di media sosial.
Para pengunjung pun berdatangan karena ingin melihat hamparan bunga yang secara berlebihan kadang dibandingkan dengan Taman Bunga Keukenhof di Belanda itu. Namun, seperti Tri, kebanyakan pengunjung datang tak sekadar untuk menikmati pemandangan, tetapi juga, atau malah terutama, untuk berfoto.
“Kami datang ke sini untuk foto-foto. Ini pakaiannya memang sengaja saya pilih supaya serasi dengan warna bunganya,” kata Tri yang mengaku tak tertarik untuk membeli bibit amarilis. Mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta itu menambahkan, foto-fotonya di kebun bunga amarilis itu tak dipakai untuk tujuan khusus, melainkan hanya untuk dipamerkan di media sosial.
***
Sukadi menuturkan, ia tak pernah berpikir bahwa bunga amarilis yang ditanamnya sejak tahun 2006 itu akan menimbulkan kehebohan. Dulu, tanaman yang oleh warga setempat disebut sebagai brambang procot itu bahkan dianggap sebagai gulma alias tanaman pengganggu bagi pertanian masyarakat sehingga sering dicabut lalu dibakar.
“Saya tertarik menanam karena warna bunganya bagus, juga supaya tanaman ini bisa lestari dan dinikmati anak cucu,” ujar Sukadi. Selama beberapa tahun terakhir, Sukadi kerap membeli bibit bunga berwarna oranye itu dari para petani di Patuk, lalu menanamnya di kebun. Tahun lalu, ia bahkan membeli bibit hingga seberat 2 ton sehingga luas kebun bunga itu kini mencapai 2.300 meter persegi.
Tanaman amarilis berbunga satu kali dalam setahun, yakni pada masa awal musim hujan. Usia bunga amarilis, yang sekarang juga disebut bunga puspa patuk oleh masyarakat setempat, biasanya sekitar 20 hari.
Sejak 18 November lalu, ketika bunga amarilis mulai mekar, ratusan hingga ribuan pengunjung datang tiap hari dengan aneka peralatan fotografi, dari smartphone atau telepon cerdas hingga kamera DSLR. Sebagian mereka membawa tongkat narsis alias tongsis untuk memotret diri sendiri atau selfie. Dalam waktu singkat, kebun bunga amarilis itu pun menjadi obyek wisata selfie karena orang-orang berlomba berfoto di sana lalu menyebarkannya lewat media sosial.
Wisata selfie di kebun bunga amarilis itu memberi dampak positif bagi masyarakat sekitar. Menurut Sukadi, sumbangan sukarela dari para pengunjung bisa mencapai Rp 1 juta per hari. Adapun pemasukan dari biaya parkir kendaraan rata-rata mencapai Rp 1,5 juta tiap hari. Pedagang dadakan pun muncul, termasuk mereka yang menjajakan bibit bunga amarilis.
Namun, dampak negatif juga ada karena banyak pengunjung yang menginjak-injak bunga amarilis saat berfoto. Foto-foto kebun yang rusak kemudian menyebar ke media sosial dan banyak pengguna internet yang mengkritik perilaku pengunjung itu. Meski begitu, Sukadi tak menyalahkan pengunjung. Sebab, kebun bunga itu memang belum dilengkapi jalan setapak dan ruang khusus untuk berfoto.
“Nantinya kebun ini akan kami tata dan dilengkapi ruang khusus untuk selfie. Jadi pengunjung bisa berfoto dengan pemandangan bagus tanpa merusak bunga,” tutur Sukadi yang sehari-hari berjualan mainan anak-anak.
***
Fenomena wisata selfie bisa menjadi penanda perubahan perilaku masyakarat saat berwisata. Jika dulu berfoto di obyek wisata, baik selfie maupun dipotret orang lain, seringkali hanyalah aktivitas pelengkap saat berwisata, kini berfoto justru menjadi kegiatan utama. Selain di kebun bunga amarilis di Patuk, kecenderungan itu bisa ditemui di sejumlah obyek wisata lain di DIY.
Di wisata alam Kalibiru, Kulon Progo, misalnya, daya tarik utamanya adalah berfoto di atas gardu pandang dengan pemandangan Waduk Sermo dan perbukitan Menoreh sebagai latar belakang. Di Pantai Nglambor, Gunung Kidul, jasa foto bawah air menarik banyak wisatawan melakukan snorkeling atau menyelam di permukaan meski mereka tak jago berenang. Keinginan berfoto pula yang membuat banyak wisatawan lokal berkunjung ke kebun buah dan hutan pinus di Imogiri, Bantul.
Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Heddy Shri Ahimsa-Putra, mengatakan, hasrat manusia untuk mendokumentasikan dan memamerkan aktivitasnya sebenarnya sudah ada sejak lama, dimulai dari era para pengelana yang menulis catatan perjalanan. Pada masa sekarang, hasrat itu makin berkembang karena adanya peralatan fotografi yang kian murah dan mudah didapat serta media sosial yang makin gampang diakses.
Menurut Heddy, wisata selfie berkembang karena kian besarnya keinginan manusia untuk menampilkan diri sendiri sekaligus menegaskan perbedaan dengan orang lain. Bagi sebagian orang, foto-foto selfie di tempat wisata menjadi penanda bahwa mereka lebih istimewa dibandingkan orang lain.
Namun, kerusakan kebun bunga amarilis di Patuk menunjukkan, sebagian pelaku wisata selfie cenderung mementingkan diri sendiri serta mengabaikan orang lain dan lingkungan sekitar. Kecenderungan itu bisa jadi muncul karena kedatangan para wisatawan itu memang hanya untuk melakukan selfie alias menampilkan diri sendiri, bukan untuk mengagumi keindahan amarilis.
“Kata selfie itu sendiri kan menunjukkan bahwa aktivitas tersebut sangat berpusat pada diri sendiri,” tutur Heddy.
NB: versi sedikit berbeda dari tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 30 November 2015.
Komentar