Pabrik Gagasan Sardono
Seniman teater Tony Broer muncul di bangunan bekas Pabrik Gula Colomadu dengan balutan lumpur yang memenuhi seluruh wajahnya. Dengan gerak-gerak pelan, dia berjalan, merangkak, dan berguling di antara mesin-mesin besar yang tak lagi berfungsi. Sebentar kemudian, dia menyibak kerumunan penonton, lalu memanjat tiang bangunan pabrik gula yang telah berkarat.
Sebagian penonton menahan napas ketika Tony terus bergerak ke atas tanpa alat pengaman. Sampai di puncak, ia berdiri tegak sebentar, lalu mencondongkan tubuhnya ke belakang, sementara dua tangannya berpegang pada tiang yang kelihatannya tak lagi kukuh. Gerakan berbahaya itu berhasil ia lakukan dengan baik.
Namun, seolah belum puas dengan eksplorasi yang dilakukannya, Tony kembali menempuh bahaya dengan meniti besi-besi vertikal yang tak terlalu lebar untuk menuju bagian lain pabrik. Dari ketinggian, ia lalu menumpahkan cat aneka warna dari sejumlah botol ke kain putih yang menjuntai dari atas hingga ke lantai. Tumpukan cat itu menghasilkan pola tak beraturan, tetapi penonton tampaknya terlihat lebih tenang karena sesudah itu Tony turun dengan selamat.
Penampilan Tony Broer yang membetot perhatian itu menjadi pembuka yang mengesankan dalam perhelatan seni “Sardono’s Retrospective: Fabriek Fikr” yang digelar di bekas Pabrik Gula Colomadu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Jumat, 20 November 2015. Sesuai namanya, perhelatan seni yang digelar pada 20-22 November itu digagas oleh maestro seni tari Sardono W Kusumo yang juga Guru Besar Institut Kesenian Jakarta.
“Fabriek Fikr”, yang bisa dimaknai sebagai pabrik gagasan, sebenarnya semacam pemanasan dari pagelaran “Sardono’s Retrospective” yang akan hadir dalam Singapore International Festival of Arts tahun 2016. Sardono memilih bekas Pabrik Gula Colomadu karena bangunan itu memiliki posisi menarik dalam perkembangan kebudayaan di Jawa, khususnya di wilayah Surakarta.
Didirikan pada 1861 oleh Mangkunegara IV dan berhenti beroperasi pada akhir dekade 1990-an, Pabrik Gula Colomadu menjadi salah satu penanda peralihan budaya agraris ke budaya industri di masyarakat Jawa. “Keberadaan pabrik gula merupakan awal fase industrialisasi yang mengubah sistem sosial ekonomi di Jawa,” ujar Sardono yang kini berusia 70 tahun.
***
Meski diberi tajuk “Sardono’s Retrospective”, perhelatan “Fabriek Fikr” tidak menyajikan karya-karya Sardono di masa lalu secara utuh. Karya sang maestro dalam pagelaran itu bahkan cenderung minim karena hanya terdiri dari film panjang, atau expanded cinema dalam bahasa Sardono, yang dibuat selama sekitar 10 tahun oleh Sardono bersama Faozan Rizal dan Hardi Artomo dengan durasi total 40 jam; beberapa lukisan yang disebut Sardono sebagai “dekorasi besar”; dan sebuah tarian singkat yang penuh improvisasi.
Selebihnya, Sardono mengajak sejumlah seniman lintas disiplin untuk menampilkan pertunjukan mandiri tanpa mendiktekan konsep yang rigid sehingga para partisipasi diberi banyak kebebasan. Meminjam kata-kata Astri Kusuma Wardani, koreografer muda yang terlibat dalam “Fabriek Fikr”, Sardono berperan sebagai “sutradara besar” dalam pagelaran itu.
Itulah kenapa, pengunjung diberi suguhan amat beragam. Sesudah penampilan impresif Tony Broer yang berhasil “menaklukkan” tiang-tiang tinggi Pabrik Gula Colomadu, kita diajak menyimak koreografi yang dimainkan 30 seniman Papua yang mengeksplorasi mesin-mesin gigantik di sana.
Koreografer dan penari muda asal Papua, Seirraimere Boogie, menjadi penyusun gerak para penari “Bumi Cenderawasih” itu yang berusaha mengaitkan kehidupan masa lalu di Papua dengan kehidupan masa kini yang penuh teknologi. Untuk mengiringi gerakan para penari Papua itu, komposer Otto Sidharta mengolah gelombang elektromagnetik yang ada di bekas Pabrik Gula Colomadu lalu memadukannya dengan musik elektronik dan sejumlah instrumen.
Otto menciptakan alat, baik hardware maupun software, untuk menangkap bunyi gelombang elektromagnetik lalu mengolahnya agar bisa didengar telinga manusia. Semua itu berlangsung secara live sehingga komposisi musik yang dihasilkan bisa berubah dari waktu ke waktu. “Eksperimen ini baru pertama kali saya lakukan,” ujar Otto.
Setelah tarian seniman Papua yang diakhiri dengan gerakan hip-hop, pengunjung digiring ke sisi lain pabrik untuk menyaksikan seniman teater Yusril Katil yang membakar sampah dan ranting kering sambil memakai mantel dan masker, dilanjutkan dengan menonton expanded cinema, lalu menikmati tarian empat penari perempuan yang disusun Astri Kusuma. Kemudian, penonton disambut penyanyi Nyak Ina Raseuki dan pemain selo Arini Kumara di satu ruangan luas. Lalu, kejutan yang dinantikan itu pun terjadi.
Sardono tiba-tiba naik ke atas “panggung” untuk menari. Pada Jumat (20/11), saat mulai menari, Sardono masih memakai kaos lengan panjang cokelat, topi koboi, dan celana panjang hitam yang ia pakai untuk menyambut para tamu. Tak berapa lama, beberapa orang muncul untuk memakaikan kostum sungguhan untuk Sardono. Lalu sang maestro mulai bergerak, saling merespon dengan permainan selo Arini. Di tengah-tengah, Sardono mengeluarkan teriakan-teriakan yang disambut lengkingan suara para penari Papua.
Koreografi yang sangat spontan itu hanya berlangsung beberapa menit, tetapi penonton memberi standing applause. Pada hari pertama, para pengunjung bahkan mengira pagelaran sudah usai setelah Sardono menari sehingga penampilan penari Bambang Besur dari Solo dan seniman teater asal Bandung, Rachman Sabur, kurang diperhatikan.
Padahal, keduanya tampil merespon beberapa barang di Pabrik Gula Colomadu dengan menarik. Besur, misalnya, melakukan olah vokal di dalam kubah besi besar yang menghasilkan efek akustik tertentu. “Sahut-menyahut” antara vokal Besur dan kubah itu memunculkan suara baru yang kadang di luar dugaan.
Secara keseluruhan, “Fabriek Fikr” bisa dianggap kelanjutan dari obsesi Sardono menggali kebudayaan masa lalu dan menggunakan ruang tak lazim sebagai tempat pertunjukan seni. Karena itu, menonton pagelaran tersebut menghasilkan pengalaman berbeda dengan menikmati pertunjukan seni umumnya. Sebagai “sutradara besar”, Sardono juga membebaskan penonton untuk menafsir sendiri tiap pertunjukan.
Tentu saja, respon pengunjung beragam. Seorang gadis muda berpenampilan trendi, misalnya, mengajak foto para penari lelaki Papua, lalu saling bertukar nama akun Instagram. Sementara itu, seorang perempuan bergaya sosialita tak henti terpesona pada expanded cinema yang dibuat Sardono. “Bagus banget, ya. Bagus banget ini,” katanya berulang-ulang dengan suara agak keras.
NB: Versi yang sedikit berbeda dari tulisan ini dimuat di Harian Kompas 22 November 2015.
Komentar