Raden Mandasia dan Kisah Besar
Saya selalu membayangkan Yusi Avianto Pareanom sebagai orang yang tak tergesa-gesa. Buku fiksi pertamanya, kumpulan cerpen Rumah Kopi Singa Tertawa, terbit tahun 2011 saat ia bukan lagi seorang pemuda. Saya tahu soal buku itu dari kicauan seorang teman di Twitter yang, kalau tak salah ingat, menyebut buku tersebut sebagai “kumpulan cerpen terbaik tahun ini”.
Bertahun-tahun sebelumnya, lamat-lamat saya pernah mendengar nama Yusi sebagai penulis atau wartawan. Mungkin saya pernah membaca tulisannya yang dimuat di Majalah Tempo atau media lain, tetapi saya tak ingat pernah membaca cerpen karya Yusi sebelumnya. Walaupun begitu, karena terprovokasi oleh twit teman saya, tak lama kemudian saya membeli Rumah Kopi Singa Tertawa. Saat menamatkan buku itu, saya tahu pendapat teman saya tak berlebihan.
Meski sempat tak mendapat perhatian di masa-masa awal, Rumah Kopi Singa Tertawa perlahan-lahan memancing banyak keingintahuan. Saya ingat ada diskusi soal kumpulan cerpen itu di Serambi Salihara, Jakarta. Salah satu orang yang saat itu ikut berkomentar adalah esais dan kritikus seni Adi Wicaksono. Waktu itu, cerpen-cerpen Yusi beberapa kali dibandingkan cerpen teman karibnya sendiri, AS Laksana. Saya ingat waktu itu Yusi hadir di ruang diskusi, tetapi ia menolak melontarkan tanggapan sepatah kata pun atas ulasan para pembicara.
Sesudah membaca Rumah Kopi Singa Tertawa, saya menemukan sebuah novel yang ditulis bersama-sama oleh belasan orang yang menyebut diri mereka Sarekat Penulis Kuping Hitam. Judulnya Lenka dan para penulisnya adalah peserta pelatihan menulis novel yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta. Pelatihan ini diampu oleh dua orang penulis, yakni Yusi dan AS Laksana. Saat membaca Lenka, saya berpendapat karya ini sangat dipengaruhi oleh gaya bercerita Yusi.
Setelah dua buku itu, saya berkali-kali membaca cerpen Yusi, kebanyakan terbit di Koran Tempo, dan berkali-kali merasakan sensasi yang sama saat menamatkan Rumah Kopi Singa Tertawa. Bila diringkas dan disimplifikasi, karya-karya fiksi Yusi sebenarnya memiliki sejumlah ciri. Dari segi teknik penulisan, karya-karya itu selalu sudah selesai. Kalimat-kalimatnya dirakit dengan penuh pertimbangan, alurnya memancing untuk terus membaca, diksinya kadang mengejutkan, dan logikanya terjaga. Yusi jelas sekali terlihat mempertimbangkan banyak hal dalam menulis dan dia bukan orang yang tergesa memutuskan.
Ciri lain karya Yusi adalah humor yang bertebaran di mana-mana. Seperti cerita-cerita AS Laksana, karya-karya fiksi Yusi nyaris selalu membuat kita tergelak. Peristiwa-peristiwa dalam cerpennya sangat sering mengejutkan dan kadang tidak masuk akal. Namun, ketidakmasukakalan itu, anehnya, tak membuat kita bersungut-sungut karena merasa dibohongi, melainkan justru mendatangkan rasa girang karena “kebohongan” yang dihadirkan Yusi seringkali sangat indah.
Salah satu kejutan yang kerap muncul dalam karya-karya Yusi adalah perincian mengenai beragam hal. Dalam cerpen “Ajal Anwar Sadat di Cempaka Putih”, kita menemukan perincian tentang macam-macam rasa takut, dari ketakutan terhadap ruangan sempit hingga ketakutan membuka mata, juga macam-macam warna pemulas kuku yang dideskripsikan dengan sangat berbunga-bunga, semisal merah haid pertama, biru tinta bolpen Pilot klasik, dan hijau pembungkus lemper (kelak, perincian semacam ini juga ditemukan dalam novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi).
Karakter yang juga hadir berulang dalam cerita-cerita Yusi adalah ketiadaan pesan moral. Fiksi-fiksi Yusi adalah “cerita murni”, tanpa tendensi khotbah sama sekali, atau kecenderungan untuk memberi kritik sosial. Dari cerpen-cerpennya yang pernah saya baca, Yusi juga tampaknya tak tertarik pada “cerita besar” yang banyak diolah oleh penulis-penulis kita, semisal pergolakan tahun 1965, konflik antar-kelompok berkait agama, terorisme, atau lainnya.
Hari-hari ini, saat membaca cerita fiksi yang dikarang beberapa penulis muda kita, saya merasa kadang menemukan pengaruh Yusi di sana. Bagaimana mereka—penulis-penulis muda itu—begitu berhasrat menghadirkan cerita yang paling absurd dan paling fantastis, dengan tendensi kekosongan pesan moral yang dijelas-jelaskan, juga upaya melucu yang kerap gagal. Kadang-kadang, karena certa-cerita macam begitu kian banyak, saya merasa hambar tiap kali membacanya.
***
Saya tidak tahu kapan Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, novel pertama Yusi yang terbit tahun ini, mulai ditulis. Yang jelas, salah satu bab novel itu sudah terbit sebagai cerpen di Koran Tempo pada Desember 2011, sementara dua bab lainnya muncul di Rumah Kopi Singa Tertawa. Beberapa bab lainnya pernah dipublikasikan Yusi di akun Facebook miliknya.
Sebelum Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi terbit, saya telah membaca petikan-petikan novel tersebut dari beragam sumber. Oleh karena itu, ketika akhirnya membaca buku tersebut, saya merasa tak asing dengan tokoh-tokoh di sana, misalnya Sungu Lembu, Raden Mandasia, serta Loki Tua beserta dua ekor anjingnya. Namun, dua pembacaan itu menghasilkan kesan cukup berbeda.
Saat membaca bab-bab Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi secara terpisah, saya selalu merasa cerita-cerita tersebut “sangat Yusi”. Lucu, penuh peristiwa fantastis, dan diwarnai dengan rincian-rincian memikat, seperti tentang bagaimana masyarakat suatu desa menyebut warna secara tak langsung. Ketika membaca secara acak beberapa petikan novel itu, saya tak bisa membayangkan garis besar cerita buku ini dan saya sempat mengira Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi adalah novel dengan jalinan cerita bercabang-cabang dan nyaris tanpa pusat kisah.
Namun, bayangan itu sirna ketika membaca buku tersebut secara utuh. Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi ternyata adalah kitab dongeng yang padu dan memiliki arah pengisahan jelas. Cerita novel ini berpusat pada perkembangan Kerajaan Gilingwesi yang dikisahkan dari sudut pandang seorang pemuda yang memusuhi kerajaan tersebut. Yusi bisa mengalihkan cerita ke mana-mana, dari petualangan di rumah dadu sampai perjalanan di lautan, dari kegemaran ganjil Raden Mandasia hingga pertaruhan aneh Loki Tua, tetapi cerita akan selalu kembali ke pusat yang sama: Gilingwesi.
Ketika sampai pada kesimpulan ini, saya sempat terkejut. Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi ternyata sebuah buku dengan “cerita besar”. Ini adalah dongeng tentang sebuah kerajaan, lengkap dengan raja perkasa yang memiliki 27 putra, dan kisah peperangan yang sedahsyat Mahabharata. Oleh karena itu, dengan sedikit cengengesan dan banyak simplifikasi, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi mungkin bisa disejajarkan dengan seri novel Gajah Mada karangan Langit Kresna Hariadi.
Namun, cara Yusi menyampaikan “cerita besar” itu terasa unik karena ia juga mengajak kita tamasya ke beragam “cerita kecil” yang seringkali jauh lebih asyik dinikmati. Dan, cerita-cerita kecil itu justru lebih banyak mendapat penekanan sehingga wajar bila banyak pembaca yang ingat soal detail-detail kisah tersebut.
Penekanan itu antara lain tampak dari pilihan Yusi menghabiskan lebih dari 1 halaman untuk menerangkan aneka macam bagian daging sapi, tetapi melukiskan kematian Watugunung, sang raja agung Gilingwesi, hanya dalam satu kalimat.
Penekanan tersebut juga hadir dengan cara lain: Yusi memberi judul novelnya dengan kegemaran ganjil Raden Mandasia. Padahal, kisah soal hobi mencuri daging sapi tersebut sebenarnya berkontribusi sangat kecil terhadap struktur novel ini secara keseluruhan. Bahkan tokoh Raden Mandasia juga tak bisa disebut sebagai sebenar-benarnya tokoh utama dalam buku ini.
Dengan penekanan semacam itu, saya kira Yusi berhasil menceritakan sebuah kisah besar dengan caranya sendiri.
Dari semua buku yg gagal baca tahun ini aku bela-lain untuk berkata tidak bagi Raden Mandasia, aku usahain tamat sebelum berganti tahun karena ingin memasukkannya ke dalam list buku terbaik yang aku baca di tahun ini. Sungu Lembu, seorang pria Banjaran Waru yang benci setengah mati pada Gilingwesi, kerajaan besar yang telah menginvasi tempat tinggalnya dan memorakporandakan hidupnya.