Dialita dan Salam yang Bersambut
Tiga puluh delapan tahun sesudah dibebaskan dari penjara Bukit Duri, Jakarta, Utati Koesalah (72) masih mengingat banyak hal terkait masa penahanannya. Salah satu yang terus dikenangnya adalah tradisi para tahanan untuk merayakan ulang tahun kawan senasib mereka. “Kalau ada yang ulang tahun, pagi-pagi kami datang ke ruang tahanannya untuk mengucapkan selamat,” kata mantan tahanan politik peristiwa 1965 itu.
Sambil membawa bunga yang dipetik di halaman penjara sebagai kado, para tahanan di Bukit Duri biasanya akan bernyanyi di depan sel teman yang berulang tahun. Ada beberapa lagu yang biasa mereka dendangkan dalam momen itu, salah satunya adalah “Salam Harapan” yang diciptakan dua tahanan politik 65, yakni Zubaedah Nungtjik dan Murtiningrum. Sesuai judulnya, bait-bait lagu itu berisi upaya memompakan semangat dan menyalakan harapan dalam situasi yang sebenarnya nyaris tak tertanggungkan.
Salam harapan padamu kawan
S’moga kau tetap sehat sentosa
Bagai gunung karang di tengah lautan
Tetap tegak didera gelombang…
Bertahun-tahun sesudah Utati bebas, lagu “Salam Harapan” tak surut dan dilupakan. Bahkan, Sabtu malam, 1 Oktober 2016, lagu itu kembali menggema dalam suasana yang sama sekali lain meski nuansa ketegaran yang dipancarkannya masih saja sama. Dalam konser paduan suara Dialita malam itu, “Salam Harapan” menerima kehormatan sebagai pembuka, seolah lagu tersebut punya makna penting yang harus disampaikan cepat-cepat di awal.
Dialita adalah kelompok paduan suara perempuan yang sebagian anggotanya merupakan penyintas dan keluarga penyintas peristiwa 1965. Nama kelompok itu merupakan kependekan dari “Di Atas Lima Puluh Tahun”, merujuk pada usia mayoritas anggotanya. Dua anggota Dialita, termasuk Utati, merupakan penyintas peristiwa 1965 yang pernah dipenjara bertahun-tahun tanpa proses hukum.
Konser malam itu diselenggarakan sebagai seremoni peluncuran album pertama Dialita yang bertajuk Dunia Milik Kita. Dalam album itu, ibu-ibu Dialita menyanyikan 10 lagu diiringi sejumlah musisi muda, yakni Frau, Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca, Sisir Tanah, Kroncongan Agawe Santosa, Lintang Raditya, Nadya Hatta, dan Prihatmoko Moki. Dalam konser 1 Oktober lalu, sebagian musisi muda itu juga hadir untuk mengiringi nyanyian 17 anggota Dialita.
Dunia Milik Kita diproduksi oleh label musik digital Yes No Wave Music dan Indonesian Visual Art Archive. Selain dirilis dalam format cakram padat (CD) oleh Cakrawala Records, album itu bisa diundah secara gratis di situs yesnowave.com sejak 17 Agustus 2016.
***
Sejak terbentuk tahun 2011, Dialita aktif menyanyikan lagu-lagu yang diciptakan oleh para tahanan politik 65 saat mereka dipenjara. Menurut Utati, hingga sekarang, para anggota Dialita berhasil melacak dan mengumpulkan sekitar 20 lagu yang dibuat di dalam penjara. Lagu-lagu itu berasal dari sejumlah penjara, misalnya Bukit Duri dan Salemba di Jakarta serta penjara Plantungan dan Ambarawa di Jawa Tengah.
Namun, karena berbagai sebab, belum semua lagu tersebut bisa dinyanyikan. “Yang sudah bisa kami nyanyikan ada 7 lagu,” kata Utati yang ditahan di Bukit Duri tahun 1967-1978. Dalam Album Dunia Milik Kita, ada lima “lagu dari dalam”, istilah para anggota Dialita untuk menyebut lagu-lagu yang diciptakan tahanan politik di dalam penjara, yakni “Salam Harapan”, “Ujian”, “Taman Bunga Plantungan”, “Lagu untuk Anakku”, dan “Kupandang Langit”.
Empat lagu lain dalam album tersebut berkait dengan peristiwa pada masa Orde Lama, yakni “Asia Afrika Bersatu”, “Viva Ganefo”, “Padi untuk India”, dan “Di Kaki-kaki Tangkuban Perahu”. Menurut Utati, sesudah peristiwa 1965, banyak orang takut menyanyikan lagu-lagu itu karena khawatir ditindak oleh pemerintah Orde Baru. “Kalau menurut istilah suami saya, lagu-lagu itu adalah lagu yang dibungkam,” kata istri penulis dan penerjemah Koesalah Soebagyo Toer itu.
Satu lagu lain dalam album pertama Dialita adalah “Dunia Milik Kita” yang diciptakan Sudharnoto sesudah Reformasi tahun 1998.
***
Mendengarkan ibu-ibu Dialita melantunkan “lagu-lagu dari dalam”, kita mungkin merasakan banyak hal bercampur dan menyatu. Tentu saja ada nuansa kesedihan dalam lagu-lagu itu, tetapi perasaan sedih tak pernah hadir secara penuh-seluruh. Sebab, lagu-lagu tersebut juga menyiratkan sikap tegar dan harapan yang tak pernah padam.
Dalam lagu “Ujian” yang liriknya diciptakan Siti Jus Djubariah di penjara Bukit Duri, misalnya, ada keyakinan bahwa “masa depan kan datang” dan “kita pasti kembali” meskipun “hujan deras menimpa bumi”, “topan badai memecah ombak”, dan “tembok tinggi memisah kita”. “Lagu ini ditulis Bu Jus Djubariah untuk menyemangati para tahanan, terutama yang masih remaja,” kata Mudjiati (68), anggota Dialita yang dipenjara di Bukit Duri dan Plantungan pada 1965-1979.
Lagu “Kupandang Langit” yang diciptakan Koesalah Soebagyo Toer di penjara Salemba menyiratkan pengakuan terhadap kebesaran Tuhan di tengah kondisi sulit yang menimpa para tahanan. Pengakuan itulah yang mungkin membuat Koesalah, adik kandung sastrawan Pramoedya Ananta Toer, menulis “langitku teladan” dan “bumiku dermawan”, sembari secara tegak mengatakan, “biarpun badan lagi terkurung, tetaplah engkau bertarung”.
Namun, harus buru-buru ditambahkan, lagu-lagu Dialita tak bisa hanya dipandang sebagai curahan hati dan upaya memunculkan harapan. Dilihat dari perspektif sejarah, “lagu-lagu dari dalam” itu adalah pengingat yang sangat berharga mengenai ketidakdilan yang hingga sekarang belum tuntas.
Salah satu anggota Dialita, Uchikowati (64), mengatakan, Dialita merasa bahagia karena didukung oleh para musisi muda. Ia juga menyatakan kebahagiaannya saat melihat ratusan anak muda yang datang dalam konser peluncuran Dunia Milik Kita. “Kami bahagia karena malam ini kami diterima begitu banyak kaum muda. Ini membuat kami menjadi lebih semangat,” katanya dari atas panggung saat konser.
Kehadiran anak-anak muda mendukung Dialita merupakan tanda bahwa “Salam Harapan” yang diulurkan kelompok itu ternyata bersambut. Karena itu, kita bisa menyebut upaya para ibu Dialita untuk merawat ingatan bukanlah sesuatu yang sia-sia.
NB: tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas Edisi Sabtu, 15 Oktober 2016.
Wah luarbiasa. Semoga ini mnjadikan kmi yg selalu mngangap di benar dan yg paling baik itu.
Semunya ini apakh mntan thanan yg di poto pak.?