(Bukan) Sirkus Sawong Jabo
Kelompok musik Sirkus Barock baru saja menyelesaikan sebuah lagu saat remaja-remaja lelaki yang merangsek di depan panggung berteriak-teriak, “Hio, Pakde. Hio, Pakde.” Waktu itu, para penonton di barisan depan masih cukup tenang dan bersedia duduk lesehan. Namun, ketika lagu “Hio” dimainkan, suasana menjadi riuh karena puluhan penonton seketika berdiri, berjoget, dan bernyanyi bersama.
Musisi senior Sawung Jabo, pentolan Sirkus Barock yang dipanggil “pakde” oleh sebagian penonton, terlihat tenang menyambut keriuhan itu. Tampak jelas bahwa ia memaklumi (atau malah mungkin mensyukuri?) tindakan sebagian penonton yang boleh jadi dianggap melanggar etika menonton di ruang pertunjukan serius macam Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY), tempat konser Sirkus Barock digelar, Kamis (27/10) malam.
Konser malam itu digelar untuk merayakan 40 tahun perjalanan Sirkus Barock. Dalam konser bertajuk “40 Tahun Proses Kreatif Sirkus Barock” itu, Sawung Jabo tampil bersama 9 personel lain, yakni Joel Tampeng (gitar), Hasnan Hasibuan (cello), Giana Sudaryono (perkusi), Sinung Garjito (bas), Toto Tewel (gitar), Bagus Mazasupa (keyoboard), Ucok Hutabarat (biola), Endy Baroque (drum), dan Denny Dumbo (perkusi). Permainan kelompok itu juga diiringi oleh orkestra Barock String Squad.
Sirkus Barock didirikan oleh Sawung Jabo di Yogyakarta tahun 1976. Embrio dari grup yang awalnya bernama Barock ini adalah Keluarga Arek-Arek Suroboyo (KAAS), sebuah ikatan pelajar dan mahasiswa asal Surabaya yang sedang belajar di Yogyakarta. Sirkus Barock telah menghasilkan sejumlah album, misalnya Anak Setan, Bukan Debu Jalanan, Kanvas Putih, Fatamorgana, Jula Juli Anak Negri, dan Anak Angin. Album terbaru kelompok ini adalah Perjalanan Waktu yang dirilis tahun ini.
Sejak berdiri hingga kini, Sirkus Barock identik dengan Sawung Jabo. Personel lain di kelompok itu kerap berganti, namun peran Jabo sebagai vokalis dan pemimpin grup tak tergantikan hingga sekarang, saat ia sudah berusia 65 tahun.
Dilahirkan dengan nama Mochamad Djohansyah pada 4 Mei 1951 di Surabaya, Sawung Jabo merupakan musisi legendaris yang serba bisa. Ia pernah bergabung dengan Bengkel Teater pimpinan penyair WS Rendra, mengembara di Australia dan berkolaborasi dengan musisi di sana, serta sempat berkarya bersama sejumlah musisi ternama Indonesia
Meskipun Jabo juga pernah aktif dalam berbagai kelompok dan proyek musik, misalnya Swami, Kantata Takwa, dan Geng Gong, namun Sirkus Barock tampaknya memiliki arti khusus baginya. Sebab, grup itulah yang terus ia hidupi dengan konsekuensi Jabo harus berkolaborasi dengan musisi yang jauh lebih muda.
***
Selain merupakan perayaan atas sebuah perjalanan berkesenian, konser “40 Tahun Proses Kreatif Sirkus Barock” tampaknya juga diniatkan untuk menampilkan sisi lain dari Sirkus Barock yang belum banyak dikenal publik. Itulah kenapa konser itu juga menampilkan sejumlah kelompok musik yang dikembangkan oleh 9 personel Sirkus Barock di luar Sawung Jabo.
Selain Giana Sudaryono yang tampil solo, 8 personel lain Sirkus Barock tampil dalam format grup. Masing-masing dari mereka memainkan satu lagu dengan genre beragam, dari pop, blues, hingga rock. Joel Tampeng, misalnya, tampil bersama grup Angin Timur membawakan lagu “Peristiwa Manusia” dari album pertama Sirkus Barock, Anak Setan (1986). Hasnan Hasibuan bersama Fonticello hadir mengejutkan karena berhasil menampilkan musik rock nan cadas dengan cello.
Bagus Mazasupa yang tampil bersama kelompok Bulan Jingga juga berhasil memukau penonton, terutama berkat penampilan dua anak perempuan yang melantunkan “Kalau Batas Tak Lagi Jelas” karya Sawung Jabo. Penampilan Denny Dumbo bersama Nusa Etnik menarik karena memadukan alat musik dari beragam budaya, misalnya gamelan, jimbe, gitar dan keyboard. Endy Baroque yang tampil dengan format Brightsize Trio menghadirkan permainan yang bertenaga, terutama berkat gebukan drum Endy yang kuat dan menggebu.
Berbagai penampilan itu menunjukkan, Sirkus Barock bukan semata-semata sirkus pribadi Sawung Jabo. Kelompok itu juga ditopang oleh musisi-musisi dengan keterampilan tinggi yang sebagian baru berusia 30-an tahun. Kehadiran sejumlah kelompok musik yang diinisiasi personel Sirkus Barock juga membuktikan bahwa kelompok tersebut masih terus berproses, tak hanya menghasilkan karya tetapi juga mendorong munculnya grup musik baru dengan semangat eksperimental.
***
Konser “40 Tahun Proses Kreatif Sirkus Barock” berlangsung lebih dari 3 jam, mulai sekitar pukul 19.45. Sirkus Barock dan Sawung Jabo baru naik panggung sekitar pukul 22.00 dan membuka pertunjukan dengan lagu “Saat 1973” dari album Kanvas Putih (1993). Sejak lagu pertama terdengar, sebagian penonton yang sebelumnya duduk manis di kursi Concert Hall TBY memilih mendekat ke panggung dan duduk lesehan di lantai. Respon ini menunjukkan, sesudah 40 tahun, Sirkus Barock tetap punya penggemar fanatik.
Ketika lagu “Anak Setan” dimainkan, keriuhan mulai tampak. Makin banyak penonton yang mendekat ke panggung dan sebagian mulai tak kuasa menahan hasrat untuk berjingkrak. Sesudah itu, Jabo berturut-turut memainkan “Lagu Pemabuk”, “Kemarin dan Esok”, “Di Hatimu Aku Berlindung”, dan “Perjalanan Awan”. Suasana menjadi benar-benar riuh ketika “Hio” dimainkan dan terus berlanjut hingga akhir konser.
“Hio” sebenarnya bukan murni lagu Sirkus Barock. Lagu ciptaan Sawung Jabo itu muncul dalam album Swami II hasil kolaborasi Jabo dengan sejumlah musisi, misalnya Iwan Fals dan Jockie Surjoprajogo. Lirik lagu itu berkisah tentang sikap untuk menjaga kejujuran:
Aku tak mau terlibat segala macam tipu menipu
Aku tak mau terlibat segala macam omong kosong
Aku mau wajar wajar saja
….
Hiiooo Hiooo Hiiooo…
Sesudah “Hio”, Sawung Jabo mendendangkan “Lingkaran Aku Cinta Padamu” dan saat itulah beberapa remaja pria menyanyi bersama sambil saling memegang pundak. Setelah lagu kedelapan itu, Sirkus Barock menutup konser dengan “Jula Juli Anak Negri” yang penuh kritik sosial. Namun, penonton tampaknya belum puas sehingga mereka meminta Sawung Jabo kembali bernyanyi.
Sayang, permintaan itu tak terpenuhi sehingga sebagian penonton akhirnya menyanyikan sendiri “lagu kesepuluh” malam itu dengan beramai-ramai mendendangkan “Kuda Lumping”. Sambil meninggalkan ruang konser, masih terdengar sayup-sayup paduan suara dadakan yang mendendangkan lagu itu:
Kuda lumping nasibnya nungging/ Mencari makan terpontang panting/ Aku juga dianggap sinting/ Sebenarnya siapa yang sinting…
NB: tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas Edisi Minggu, 30 Oktober 2016.
Foto diambil dari sini
Luar biasa orang tua ini. Semoga pjng umur dan sehat selalu amin.
Berpa lagu yg sudah di ciptak bpak ini.?