GM Sudarta dan Orang-orang Kalah
Akhir Juni 2018, dunia seni Indonesia kembali diterpa kabar duka. Karikaturis GM Sudarta, yang terutama dikenal melalui tokoh karikatur Oom Pasikom, meninggal dunia pada Sabtu (30/6/2018). Kepergian Sudarta tidak hanya menjadi kehilangan besar untuk dunia karikatur dan kartun di Indonesia, tetapi juga sebuah kehilangan untuk dunia seni rupa dan sastra tanah air.
Semasa hidupnya, GM Sudarta memang tidak hanya menggambar karikatur yang secara rutin ditayangkan di Harian Kompas sejak tahun 1967. Pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 20 September 1945 itu juga menghasilkan beragam karya seni lain, seperti lukisan, puisi, dan cerita pendek (cerpen). Karena itu, tak heran, saat abu jenazah Sudarta disemayamkan di Yogyakarta beberapa waktu lalu, para seniman dari berbagai bidang, bukan hanya para kartunis, datang untuk memberi penghormatan.
Di bidang sastra, Sudarta antara lain dikenal melalui buku kumpulan cepen Bunga Tabur Terakhir: Cinta, Dendam, dan Karma di Balik Tragedi 65. Buku ini diterbitkan tahun 2011 oleh penerbit Galangpress yang berbasis di Yogyakarta. Seperti subjudul yang tercantum di buku itu, Bunga Tabur Terakhir memuat cerpen-cerpen yang berkisah tentang tragedi 1965. Buku itu memuat 10 cerpen yang ditulis Sudarta pada tahun 2003-2011 dan sebagian di antaranya pernah dimuat di Kompas.
Yang menarik, Bunga Tabur Terakhir juga diklaim sebagai “sebuah kumpulan cerpen berdasarkan kisah nyata”. Dalam kata pengantar di buku ini, penerbit Galangpress menyatakan, cerpen-cerpen dalam Bunga Tabur Terakhir dibuat berdasar pengamatan, pengalaman langsung, serta investigasi terhadap korban dan saudara korban kekerasan 1965.
“Melalui pengamatan dan pengalaman secara langsung, serta investigasi terhadap para korban atau sanak-saudara korban kekerasan, GM Sudarta, sang karikaturis ulung ini berusaha ‘merekonstruksi’ peristiwa berdarah tersebut dalam bentuk kumpulan cerpen yang berjudul Bunga Tabur Terakhir,” tulis perwakilan penerbit Galangpress dalam kata pengantar.
Saat peluncuran buku Bunga Tabur Terakhir pada 29 September 2011 di Yogyakarta, GM Sudarta mengatakan bahwa buku tersebut merupakan ungkapan pengalaman batin saat mengalami peristiwa 1965 dan berjumpa dengan korban-korban peristiwa itu. ”Tragedi itu merupakan potret sejarah hilangnya rasa kemanusiaan di Indonesia. Saya mengalami kejadian itu dan banyak menemui orang yang tidak bersalah disalahkan,” katanya (Kompas, 30/9/2011).
GM Sudarta juga mengatakan, ada persoalan-persoalan tertentu yang menurutnya lebih cocok disajikan dalam bentuk cerpen ketimbang kartun atau lukisan. “Saya menulis cerpen, karena saya merasakan, ada sisi-sisi kehidupan tertentu yang serasa lebih pas dan cocok bila disajikan dalam bentuk cerpen daripada dalam bentuk kartun atau lukisan,” katanya seperti termuat di kover belakang buku Bunga Tabur Terakhir.
Para korban
Cerpen-cerpen dalam Bunga Tabur Terakhir berfokus pada kisah para korban peristiwa 1965 dan secara lebih khusus menyoroti nasib mereka yang sebenarnya tidak terlibat langsung dalam pertikaian politik saat itu tetapi turut menjadi korban. Dalam buku itu, kita akan bertemu dengan orang-orang yang ditangkap, dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuh karena dianggap memiliki kaitan dengan Gerakan 30 September (G30S) meski sebenarnya mereka tak tahu apa-apa.
Kebanyakan para korban yang dikisahkan Sudarta adalah orang-orang miskin yang minim pendidikan dan tinggal di desa. Karena berbagai alasan, orang-orang itu dituduh memiliki kaitan dengan G30S sehingga akhirnya menjadi korban kekejaman pada masa tersebut. Mereka inilah orang-orang kalah yang akhirnya menjadi korban dalam tragedi 1965.
Dalam cerpen “Orang-orang Mati yang Tidak Mau Masuk Kubur”, kita bertemu dengan tukang penggali sumur bernama Mbah Warso yang turut ditangkap karena alasan sangat sepele, yakni tidak bisa menyebutkan kata sandi yang telah ditetapkan oleh aparat. Dalam cerpen itu, diceritakan bahwa aparat yang berkuasa menetapkan kata sandi tertentu untuk mengenali mana warga yang dianggap “terlibat” dan mana yang tidak. Kata sandi itu telah disebarkan ke pihak yang dianggap “bersih” sehingga bila ada warga yang tak bisa menyebutkan kata sandi itu, mereka harus ditangkap dan dihukum tanpa harus repot-repot diperiksa.
Dalam cerpen “Candik Ala”, kita bertemu dengan seorang pegawai negeri yang akhirnya ditangkap oleh aparat karena mendapat fitnah dari bawahannya yang sakit hati. Sang pegawai itu kemudian harus menjalani hukuman kerja paksa membangun tanggul, lalu akhirnya dihukum mati dengan cara ditembak di dekat Kali Woro, sebuah sungai di Klaten.
Sementara itu, dalam cerpen “Sum”, tokoh utamanya adalah seorang perempuan yang semasa muda merupakan bintang utama sandiwara tradisional Srandul. Sumarah, tokoh utama cerita itu, ikut ditangkap gara-gara sang suami yang dianggap mendukung G30S. Dia kemudian ditahan, diperkosa, tetapi akhirnya “diselamatkan” oleh seorang aparat. Namun, sebagai imbalannya, Sum harus menjadi wanita simpanan sang aparat.
Pada beberapa cerpen, GM Sudarta melukiskan penderitaan amat berat yang harus ditanggung oleh para korban 1965. Namun, Sudarta juga menggambarkan bahwa sejumlah korban peristiwa 1965 ternyata memiliki semangat hidup yang sangat kuat dan sebagian di antaranya bahkan mempunyai keinginan untuk melawan.
Lihat saja tokoh Maryam dalam cerpen “Bunga Tabur Terakhir”. Dalam cerpen yang pernah dimuat di Kompas dengan judul “Perjalanan Pengantin” itu, Maryam adalah gadis desa yang kerap terlibat dalam acara kesenian di desanya. Ia menjalin cinta dengan Trimo, seorang pemuda yang baru saja pulang kampung setelah merantau ke kota. Saat konflik 1965 terjadi, Maryam masuk dalam daftar orang yang dianggap terlibat G30S sehingga keselamatannya pun terancam.
Dalam kondisi seperti itu, Maryam terpaksa menerima tawaran menjadi wanita simpanan sang lurah desa agar bisa selamat dari pembantaian. Namun, Maryam justru kemudian dijadikan pekerja seks komersial (PSK) dan tinggal di sebuah kompleks prostitusi hingga akhirnya menderita sipilis. Meski mengalami penderitaan sangat berat, Maryam ternyata tidak menyerah dan kalah.
Bertahun-tahun setelah peristiwa 1965, saat bertemu kembali dengan Trimo, Maryam justru menampakkan sikap yang sangat tegar. Yang mengejutkan, perempuan itu bahkan bertekad kuat untuk melawan dan membalas perlakuan sang lurah padanya. “Saya akan menyelesaikan dendam padanya. Telah saya gerogoti hartanya dan sekarang mulai saya hancurkan tubuhnya dengan penyakit saya hingga tuntas,” kata Maryam.
Perlawanan yang keras kepala juga ditunjukkan oleh Dalijo dalam cerpen “Perburuan Terakhir”. Dalijo adalah tahanan politik yang diasingkan ke Pulau Buru, Maluku, setelah sebelumnya ditahan di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Selama ditahan di Pulau Buru, Dalijo telah menjalani aneka hukuman yang sangat berat sehingga ia dan beberapa teman sesama tahanan memutuskan untuk melarikan diri.
Keputusan melarikan diri itu dirancang setelah beberapa tahanan mendengar adanya kapal dari luar negeri yang merapat di pantai dekat kamp penahanan mereka. Maka, pada suatu malam, Dalijo dan sekitar 40 tahanan mengendap-endap keluar dari kamp penahanan, lalu berupaya mencapai pantai. Tentu saja keputusan itu salah karena informasi ihwal kapal yang bersandar itu adalah kabar bohong belaka.
Maka, peristiwa itu pun berubah menjadi sebuah perburuan, sebuah perburuan yang terakhir, karena para aparat bersenjata segera saja memburu para tahanan yang melarikan diri. Di akhir cerita, saat dikejar-kejar petugas jaga menuju ke pantai, Dalijo seolah melihat sosok ayah dan ibunya tengah menunggangi gelombang laut. Dia pun lari ke arah mereka, tetapi kemudian tersungkur ke laut karena ditembak dari belakang. GM Sudarta menutup cerpen itu dengan sebuah kalimat yang mengejutkan: “Laut telah membebaskannya!”
Empati
Saat membaca cerpen-cerpen dalam Bunga Tabur Terakhir, jelas tergambar bahwa GM Sudarta memberi empati yang sangat besar terhadap para korban yang telah menerima perlakuan sangat kejam pada masa lalu. Sikap itu antara lain terlihat dari munculnya beberapa tokoh “Aku” (memakai sudut pandang orang pertama) yang bersimpati kepada para korban peristiwa 1965.
Dalam cerpen “Mbah Broto”, “Wiro Seledri”, dan “Sum”, misalnya, ada tokoh “Aku” yang berteman dengan orang-orang yang dikucilkan masyarakat karena dianggap terlibat dalam peristiwa 1965. Meski sudah diingatkan bahwa hubungan dengan para korban peristiwa 1965 itu akan berdampak buruk, tokoh “Aku” dalam tiga cerpen itu tetap nekat menjalin pertemanan dengan orang-orang tersebut.
Dalam cerpen “Orang-orang Mati yang Tidak Mau Masuk Kubur”, ada tokoh “Aku” yang juga berempati pada para korban. Namun, yang menarik, tokoh “Aku” dalam cerpen ini justru merupakan orang yang terpaksa terlibat dalam penangkapan dan bahkan pembunuhan para korban peristiwa 1965.
Di balik tindakannya yang terpaksa mengikuti perintah untuk ikut melakukan tindakan biadab, tokoh “Aku” dalam cerpen itu ternyata masih menyimpan rasa kemanusiaan di hatinya. Pada titik inilah terasa bahwa GM Sudarta tidak menggambarkan tokoh-tokohnya secara hitam-putih.
Karya lain
Hingga ia berpulang, Bunga Tabur Terakhir menjadi satu-satunya buku kumpulan cerpen GM Sudarta yang pernah diterbitkan. Oleh karena itu, mau tidak mau, buku tersebut akan menjadi rujukan utama dalam pembahasan mengenai karya cerpen GM Sudarta. Meski begitu, sebenarnya ada sejumlah cerpen Sudarta yang belum dimuat dalam buku tersebut.
Berdasarkan penelusuran yang terbatas, sedikitnya ada dua cerpen karya Sudarta yang pernah dimuat di Kompas, tetapi belum masuk dalam buku Bunga Tabur Terakhir. Dua cerpen itu adalah “Wanita Berpedang Samurai” yang dimuat 27 Juli 2008 dan “Sang Petruk” yang dimuat 30 September 2012.
Selain kedua cerpen itu, berdasar informasi di kover belakang buku Bunga Tabur Terakhir, cerpen lain GM Sudarta disebut pernah dimuat di Mingguan Suluh Indonesia tahun 1965, Majalah Selecta tahun 1967, serta koran Suara Merdeka. Cerpen karya Sudarta juga disebut memenangi lomba cerpen Majalah Femina tahun 1980 dan 1984.
Sayangnya, sejumlah cerpen Sudarta itu tampaknya tidak mudah untuk diakses lagi sekarang. Barangkali, dibutuhkan upaya penelitian untuk mengumpulkan kembali dan mempublikasikan cerpen-cerpen—juga puisi-puisi—karya GM Sudarta agar masyarakat mengenal lebih utuh sosok sang seniman tersebut.
Tulisan ini pernah dimuat di Kompas.id
Komentar