Melawan dengan Lukisan Abstrak
Lukisan karya Putu Bonuz Sudiana itu seketika menghadirkan imaji tentang laut yang penuh pergolakan. Torehan cat biru yang bergelombang di antara bidang yang didominasi warna kelabu memantik gambaran ihwal konflik dan ketidakteraturan. Tapi, lukisan bercorak abstrak ini bukan hanya memunculkan kesan ihwal laut dan ketidakteraturan, melainkan juga bagian dari sebuah gerakan perlawanan.
Diberi judul “Things In The Sea I”, lukisan tersebut ikut ditampilkan dalam pameran “NU-ABSTRACT” di Langgeng Art Foundation, Yogyakarta, pada 3 Mei-4 Juni 2018. Pameran ini menghadirkan lukisan-lukisan abstrak karya empat perupa Bali yang tergabung dalam kelompok NU-ABSTRACT.
Selain Sudiana, tiga perupa lain anggota kelompok tersebut adalah Gede Mahendra Yasa, Kemalezedine, dan Ketut Moniarta. Para perupa ini sebelumnya juga tergabung dalam Neo-Pitamaha, sebuah kelompok pelukis yang berfokus mempelajari dan mengeksplorasi seni lukis Bali. Namun, melalui kelompok NU-ABSTRACT, Gede Mahendra Yasa dan kawan-kawan tidak lagi berfokus pada seni lukis Bali, tetapi justru berpaling pada lukisan abstrak.
Yang menarik, penyelenggaraan pameran “NU-ABSTRACT” ini bukan hanya didasari oleh keinginan mengeksplorasi kembali genre lukisan abstrak yang punya sejarah panjang dalam perkembangan seni rupa modern. Pameran ini juga dilandasi oleh kegelisahan terhadap berkembangnya paham tertentu yang dinilai bisa menghambat kebebasan berkesenian di Indonesia.
Gede Mahendra Yasa, yang merupakan pelopor kelompok NU-ABSTRACT, menuturkan, ia dan teman-temannya gelisah melihat berkembangnya paham yang melarang penggambaran makhluk hidup dalam karya seni, termasuk lukisan. Larangan itu muncul karena ada keyakinan bahwa menggambar makhluk hidup merupakan pelanggaran terhadap ajaran agam tertentu.
Selama beberapa tahun terakhir, paham tersebut berkembang di kalangan sejumlah perupa Indonesia sehingga para seniman itu pun tak lagi mau menggambar makhluk hidup dalam karya-karya mereka. Di Yogyakarta, bahkan ada kelompok khusus yang menghimpun para seniman—tidak hanya dari kalangan perupa—yang menganut paham tersebut.
Yang menarik, sebagian dari perupa yang menganut paham itu kemudian beralih membuat lukisan abstrak. Dengan melukis secara abstrak, seorang perupa tentu saja terbebas dari keharusan menggambarkan figur makhluk hidup sehingga ia tetap bisa berkesenian tanpa harus melanggar ajaran agama yang diyakininya.
Gede Mahendra Yasa mengatakan, apabila paham tersebut terus berkembang dan mendapatkan banyak pengikut, ia dan teman-temannya khawatir kebebasan para perupa di Indonesia untuk berkarya akan terganggu. Apalagi, selama beberapa tahun terakhir, sudah muncul sikap-sikap yang membatasi kebebasan dalam berkesenian, misalnya penolakan dan pembongkaran patung-patung yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama atau budaya tertentu.
“Makanya cepat-cepat kita bikin statement (pernyataan). Jadi ini memang masalah ideologis,” kata perupa yang akrab dipanggil Hendra itu.
Generasi 1980-an
Melalui pameran ini, empat perupa NU-ABSTRACT ingin menghadirkan lukisan abstrak sebagai bagian dari sejarah seni rupa modern. Para perupa itu juga ingin menegaskan bahwa mereka membuat lukisan abstrak karena pilihan bebas, bukan karena “dipaksa” oleh ajaran tertentu. Upaya ini bisa dilihat sebagai tandingan dan perlawanan terhadap kehadiran lukisan abstrak yang muncul karena didorong oleh paham keagamaan tertentu.
Kurator Langgeng Art Foundation, Citra Pratiwi, menyebut, keempat anggota NU-ABSTRACT banyak dipengaruhi oleh para perupa abstrak yang aktif berkarya pada dekade 1980-an di New York, Amerika Serikat. Para perupa abstrak generasi 1980-an itu antara lain Terry Winters, Thomas Nozkowski, Stephen Mueller, Pat Steir, Jack Whitten, Bill Jensen, Louise Fishman, Elizabeth Murray, Carroll Dunham, Stanley Whitney, Joan Snyder, dan sebagainya.
Gede Mahendra Yasa mengatakan, para perupa abstrak generasi 1980-an di New York itu bisa disebut sebagai generasi keempat pelukis abstrak dalam sejarah seni rupa modern. Dia menambahkan, dibanding para pendahulunya, para perupa generasi 1980-an itu lebih longgar dalam membuat lukisan abstrak.
Kritikus seni Raphael Rubinstein menyebut, karya lukisan para perupa abstrak generasi 1980-an sebagai “abstraksi yang tidak murni” karena masih memuat elemen-elemen non-abstrak, misalnya acuan terhadap figur, lanskap, peristiwa sejarah, maupun elemen-elemen budaya tertentu.
Pesan
“Abstraksi yang tidak murni” itulah yang juga terlihat pada sebagian karya di pameran “NU-ABSTRACT”. Seperti yang disebut sebelumnya, lukisan Putu Bonuz Sudiana yang bertajuk “Things In The Sea I”, misalnya, bisa jadi akan memunculkan imaji tentang laut di benak orang yang memandangnya. Dibanding dua lukisan lain Sudiana yang juga dihadirkan dalam pameran “NU-ABSTRACT”, lukisan tersebut menjadi karya yang memunculkan imaji paling kuat.
Sementara itu, lukisan “Deus In Absentia” karya Kemalezedine memunculkan imaji tentang figur binatang. Meski tentu tak jelas jenis binatang apa yang muncul mendominasi lukisan itu, karya ini boleh jadi masuk dalam kategori “abstraksi yang tidak murni”. Adapun lukisan Ketut Moniarta tampak “lebih abstrak” dari karya rekan-rekannya karena hampir-hampir tak lagi menampakkan jejak imaji apa-apa.
Di sisi lain, eksperimentasi menarik dilakukan oleh Gede Mahendra Yasa yang melukis menggunakan medium tak biasa. Alih-alih menggunakan cat minyak atau akrilik yang sudah umum, perupa kelahiran Singaraja, Bali, itu memilih memakai encaustic yang terbuat dari lilin lebah dan getah damar untuk melukis. Encaustic adalah material yang berusia sangat tua dan pada masa Mesir kuno digunakan untuk melukis potret seseorang yang kemudian ditempelkan ke mumi.
Dari sisi visual, dua lukisan Gede Mahendra Yasa dalam pameran “NU-ABSTRACT” tampak mengeksplorasi sejumlah bentuk geometris, seperti lingkaran dan kotak. Bentuk-bentuk itu kemudian dipadukan dengan garis-garis yang kadang saling tumpang-tindih.
Seperti lazimnya lukisan abstrak, lukisan karya para perupa NU-ABSTRACT di pameran ini memang tak menampakkan pesan yang bisa dengan mudah dikenali. Namun, penyisipan pesan semacam itu sepertinya memang tidak perlu karena toh penyelenggaraan pameran ini sudah mengandung sebuah pesan yang sangat politis. Pameran ini juga memberi pesan bahwa lukisan abstrak—yang di Indonesia kerap dianggap bersifat apolitis—ternyata bisa menjadi senjata perlawanan.
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas
Komentar