Kita Berbelanja Maka Kita Ada

You may also like...

15 Responses

  1. Senoaji says:

    mungkin fenomena itu sudah mulai bergeser bahkan merebut perhatian holic-nya. dan yang terjadi adalah hidup mati untuk belanja. apakah mungkin ini karena usaha pencapaian pemenuhan identitas diri ataukah hanya libas imbas budaya baru [culuture shock]

  2. Haris Firdaus says:

    @ senoaji
    salah satu yang membuat belanja jadi amat penting kan pengaitan belanja dengan identitas diri. belanja menjadi aktivitas di mana eksistensi ditegaskan. tapi kondisi ini memang karena “budaya baru”.

  3. sawali tuhusetya says:

    wah, buku yang bagus dan mencerahkan, mas haris. judulnya mengingatkan pada kita, betapa idiom yang pernah diungkapkan leh rene descartes itu sudah mengalami perluasan makna. gaya hidup konsumtif dan hedonis agaknya sudah menjadi kelatahan dalam bersikap, sehingga cenderung memicu seseorang utk mengambil “jalan kelinci” sekadar utk mendapatkan harta dan kekayaan.

  4. boykesn says:

    benar, karena juga akibat ketakutan akan ketinggalan tren sehingga menjadi konsumtip.

  5. Sidik Nugroho says:

    pertama-tama, trims review-nya.

    “pendiktean” rasanya terlalu berat dijadikan istilah bagi para produsen, mengingat “upaya ‘pendiktean’ … dengan melakukan pembaharuan terus-menerus dalam hal desain produk.”

    yang saya tanyakan: apakah pembaharuan itu juga ditentukan dari selera konsumen berdasar riset, atau anlisa s.w.o.t, misalnya? bila ya, kembali lagi pada slogan lawas: “pembeli adalah raja”.

  6. Tukang Nggunem says:

    Budaya konsumerisme pada hakekatnya menembak pada sisi manusia yang tidak pernah puas dan berkeinginan untuk selalu “tampil”. Dan Produsen tau betul akan hal tersebut dengan menggelontori produk2 baru, dan selalu menciptakan trend2 anyar…

    Ning kok nggumune akeh2 wong wedok ya Ris sing ngono kuwi…

  7. www.katobengke.com says:

    shopping……………..
    wah gmana yah………

  8. mursid access says:

    shopping kalau lagi pengen, kalau lagi gak mud alias bokek ya mana mungkin..
    (doh)
    hhahaha

  9. haris says:

    @ sidik nugroho
    benar, mas bahwa selalu ada riset dlm memproduksi sebuah produk. tapi ingat bahwa riset itu lebih banyak digunakan untuk membuat konsumen bisa membeli lebih banyak ketimbang menyajikan produk yang benar2 berorientasi pada konsumen. dlm dunia desain produk, ada ajaran jangan pernah pernah memproduksi barang kategori “travo”, yakni barang yang tahannya amat lama. barang “travo” dihindari karena sekali membeli barang ini, konsumen tak perlu membeli lagi. misal kecil ini menunjukkan bahwa produksi produk selalu harus diimbangi propaganda untuk mengonsumsi, dan dalam taraf tertentu konsumsi jadi sebuah laku yang menentukan identitas kita. jadi, pembeli sama sekali bukan raja, mas. produsen itulah yang raja sejati:)

    @ tukang gunem
    benar njol bahwa kecenderungan perempuan utk menjadi pecandu belanja (shopaholic) itu lebih besar daripada laki2. survey di Inggris menunjukkan bahwa kebanyakan perempuan memikirkan belanja setiap satu menit sekali! kalau laki2, konon yang paling banyak dipikirkan itu seks, njol. ini kemungkinan juga valid ya?ha3.

  10. Sidik Nugroho says:

    asyik. baru tahu saya tentang adanya barang travo. jadi tambah wawasan. matur nuwun, mas.

  11. Ari says:

    meminjam kata-katanya sindhunata, itu adalah kebiasaan orang-orang kita, mudah lupa pada hal-hal yang sebetulnya bersifat urgent. contohnya, meskipun saat ini sedang krisis, masih saja mall-mall dipenuhi pengunjung. yeah, ini cuma nyuplik pendapat berita aja sih.

  12. alris says:

    Wah, buku yang menarik. Nanti tak cari, kalo mampu beli *maklum pengangguran*
    Salam kenal, main yuk ke blog aku.
    Salam.

  13. ciwir says:

    aku ora patek dong karo postingan ini.
    sing penting komen…. 😀

  14. masmpep says:

    saya kira belanja tak bisa dipisahkan dari iklan. saya sendiri berusaha untuk sadar, bahwa iklan selalu meracuni otak. tapi beberapa kali saya terpengaruh iklan juga. apalagi yang ditulis dalam bentuk advetorial. misalnya ‘iklan-iklan’ tempat yang makan enak, klasik, penuh tantangan mencari warungnya, dan eksotik. beberapa kali saya melanggar ‘komitmen’ untuk prihatin karena tergoda ‘advetorial’ model ini.

    memang makan enak, tak perlu diiklankan membuat kita mencobanya lagi. lagi. dan lagi.

    salam,
    penikmat kuliner yang rela konsumtif karenanya…

  15. afie says:

    wah, gak berani komen ….hehehe

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>