Penumpang Gelap
Mulanya, saat kereta api yang saya tumpangi malam itu berhenti, saya sama sekali tak curiga. Saya mengira ini hanya pemberhentian biasa, jeda yang biasa terjadi dalam sebuah perjalanan panjang kereta api. Saya ada di gerbong terakhir kereta. Di luar gelap. Tidak tampak bangunan apapun.
Beberapa saat kemudian, mulai tampak kasak-kusuk di antara para penumpang. Mereka yang berdiri di dekat pintu saling berbisik. Ada beberapa kecemasan yang muncul di wajah mereka. Saya maju ke arah mereka, mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Ternyata, ada pemeriksaan khusus malam itu. Semua penumpang yang tak punya tiket akan kena. Ini jelas sebuah kejadian luar biasa.
Saya sedang berada di dalam kereta api Senja Utama jurusan Jakarta-Solo pada Kamis, 25 Februari lalu itu. Hari itu penumpang membludak karena besoknya tanggal merah. Para pekerja di Jakarta–termasuk saya–berniat pulang ke tempat asalnya. Tak semua kebagian tiket. Dalam kondisi yang demikian, tiket kereta memang sudah habis diborong jauh-jauh hari. Sebagian memilih membeli tiket berdiri–dengan harga sama dengan tiket reguler, Rp. 130.000. Sebagian lainnya nekad naik kereta tanpa tiket.
Dalam kondisi biasa, menjadi penumpang gelap kereta api bukanlah sebuah masalah besar. Menurut seorang kawan yang kerap naik kereta tanpa tiket, praktik membayar di atas kereta adalah hal yang sangat wajar. Untuk Senja Utama jurusan Jakarta-Solo, mereka yang tak punya tiket cukup membayar Rp. 30-60 ribu untuk bisa lolos dari pemeriksaan. Sekali lagi, ini sesuatu yang sangat normal. Saya yakin, Anda sekalian pun pernah mengenali praktik semacam ini.
Tapi malam itu, hal luar biasa benar-benar terjadi. Pemeriksaan dilakukan oleh Polisi Militer (PM). Ini gelagat buruk. Kawan saya memberitahu, kalau PM sudah ikut-ikutan memeriksa, tak akan ada yang lolos. Bahkan para anggota TNI dan Polri pun yang tak membawa tiket tak akan lolos.
Informasi kawan saya sahih. Sesudah beberapa lama kereta berhenti, ada pengumuman agar para “anggota” yang belum mempunyai tiket untuk turun dari kereta api dan membeli tiket. “Anggota” adalah kata ganti untuk para tentara dan polisi. Jika Anda cukup sering bepergian naik kereta api, Anda pasti tahu bahwa para “anggota” inilah yang memang sering menjadi penumpang gelap. Mereka punya jaringan kuat. Cukup berpotongan rambut pendek dan badan tegap, seseorang bisa dengan mudah mengaku sebagai “anggota” dan menikmati privelese tertentu.
Sebelum kereta api berhenti, saya melihat seorang “anggota” berkeliling dari gerbong ke gerbong menariki “iuran”. Dalam kondisi biasa, si pengepul ini juga akan menerima uang dari para penumpang gelap yang bukan “anggota”. Tapi malam itu, ia hanya mau menerima dari para “anggota” saja karena pemeriksaan sangat ketat. Ia mengaku tak bisa “menjamin” para penumpang gelap dari kalangan sipil.
Nyatanya, si pengepul itu akhirnya keok juga. Hanya beberapa menit sebelum pemberhentian itu–yang kemudian saya tahu lokasinya di Stasiun Cikampek–si pengepul kembali keliling gerbong. Ia mengembalikan “iuran” tadi sembari mengatakan, tak sanggup menjamin siapapun. Ini benar-benar kabar buruk.
Malam itu, para “anggota” yang tak bertiket akhirnya turun. Tak lama kemudian, muncul pengumuman lagi. Para penumpang non “anggota” juga disuruh turun membeli tiket dulu. Para “anggota” diminta membeli tiket seharga Rp. 104.000, sementara yang sipil dikenai harga normal, Rp. 130.000.
Suasana Stasiun Cikampek riuh rendah. Ada banyak petugas berseragam PT Kereta Api yang memegang lembaran-lembaran pengganti tiket. Mereka tampak senang dengan “operasi” malam itu. Tidak ada raut muka marah dari mereka. Semua melayani para penumpang gelap dengan ramah.
Seorang penumpang gelap yang sudah berpengalaman berkata pada saya, ini kali pertama ia mengalami operasi luar biasa semacam itu. Sebelumnya, ia selalu lolos.
***
Perjumpaan pertama saya dengan para penumpang gelap kereta api terjadi pada suatu malam saat saya sedang menunggu Senja Utama di Stasiun Pasar Senen, berbulan-bulan lampau. Saat itu, saya bertemu kawan kuliah saya yang juga akan pulang ke Solo. Bedanya, ia naik Kereta Progo.
Karena Progo berangkat satu jam lebih lambat ketimbang Senja Utama, kawan saya itu menemani saya menunggu di Jalur 3. Saat Senja Utama datang, saya naik. Kawan saya msih ada di sekeliling kereta. Tiba-tiba, ia muncul di depan jendela tempat duduk saya dan berkata bahwa ia ditawari ikut naik Senja Utama oleh seorang petugas PT KAI. Ia tinggal menyerahkan tiket Progo-nya dan menambah uang Rp. 50.000.
Saat itu Selasa, banyak tempat duduk Senja Utama yang kosong. Kawan saya itu dipastikan dapat tempat duduk. Ia bahkan mengajak saya pindah ke kursi yang dua-duanya kosong. Kami akhirnya dapat tempat di gerbong yang hampir terakhir. Ternyata, satu gerbong itu berisi banyak penumpang gelap. Seorang polisi KA ada di gerbong itu, memastikan mereka semua “aman”.
Saat petugas tiket mendatangi gerbong itu, sang polisi KA berdiri dengan sigap. Tiap kali petugas tiket mendatangi penumpang tanpa tiket, ia akan berkata ramah, “Ini PT KAI”. Saya tertawa dalam hati mendengar “sandi” itu–mengambil nama PT KAI untuk para penumpang gelap, bagi saya, sungguh menggelikan dan ironis.
Sepanjang perjalanan, saya dan kawan saya ngobrol banyak dengan sang polisi KA itu. Ia asli Solo. Praktik semacam itu adalah sesuatu yang biasa, katanya. Bisa dilakukan, asal kondisi kereta sedang tak penuh. Kami ngobrol macam-macam hal, mulai dari CPNS sampai urusan cewek. Kawan saya itu bahkan meminta nomor handphone sang petugas.
Sesudah perjalanan itu, saya berjumpa dengan banyak sekali penumpang gelap. Mereka biasanya membawa koran, sebagai alas tidur di bawah jika tak dapat tempat duduk. Selama berjumpa dengan mereka, saya merasa mereka tak banyak merugikan penumpang lain. Kebanyakan mereka baik dan ramah, tidak sombong. Mereka juga sumber informasi yang kaya mengenai seluk beluk perkeretapian karena umumnya mereka “penumpang senior”. 😀
Jakarta, 6 Maret 2010
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
Hahaha Penumpang gelapzzzz
mudah2an saya bukan termasuk penumpang gelap
salam,
Mudike nyang ngendi mas Haris?
ya begitulah mas…
mben aku pernah diajak salah seorang temen dari solo
buat ikut2an jadi penumpang gelap via bandung. ah apalah itu
jalurnya, sampe harus oper-oper hanya untuk mendapat
bea mudik yang lebih ngirit :p
tapi apapun itu, rasanya kurang sreg bagiku untuk menjadi salah
satu dari mereka. tapi emang bener, rata2 penumpang gelap adalah
pemain lama, alias senior
Sejauh ini saya masih suka numpang kereta terang-terangan, hehehe……
Begitulah Indonesia.
payah n parah… gak bisa diatur
wow, wow
Ha..ha…, itu mah bukan penumpang gelap gambarnya mas, tapi penumpang terang benderang. kalau di nigeria sana banyak penumpang gelapnya….he..he…hitam maksud saya, bercanda lho…
salam.
waktu dulu masih mahasiswa sih sering jd penumpang yang nakal gitu…tak bayar. tapi pernah juga saya dari Jakarta, pakai tiket. sampai kebumen nggak di tanyain tuh tiketnya, pakai eksekutif kali ya…
kondisi ekonomikah pemicunya?
atau memang kelakuane wong indonesia???
Aku pernah jadi salah satu penumpang gelap itu, Ris. Hahaha.. Biasanya, kalau ga karena tiket abis, ya lg bokek. Hehe.. Akhirnya, krn takut menyuburkan korupsi, aku milih naik kereta ekonomi aja.
PEnumpang gelap ‘kan ada juga yang terpaksa karena kehabisan tiket, kalau yang seperti itu agak mendingan lah
wah, baru kali ini dengar penuturan dari penumpang gelap. hehe
salam kenal dari bekasi
@ TKB: ke sukoharjo,mas. dekat solo.
@ ciwir:biasanya penumpang gelap itu pekerja2 di jakarta yg tiap minggu balik kampung karena istri/suami mereka ada di kota asal mereka. mereka kan gak kuat pisah lebih dari seminggu dg istri. he2.
sudah lama gak naek kereta, mungkin menarik juga melihat “aksi” “kucing2an” hehe…
makanya kandani mursid ojo ngeyel. hehehehe :p
salam,
ael
hahahaha, sama, saya juga sering ngalamin. tp menjadi penumpang gelap, itu baru dua kali. itupun karena keteledoran saya. tiketnya ternyata salah tanggal. harusnya pake tiket tgl 25, yg saya bawa malah tiket tgl 26, hehehe, salah pesen.
salam kenal
-Salam Gombal’s-
barang biasa kok dirasani.. 😀
dimana-mana penumpang gelap. bukan cuma di kereta…
tapi juga di politik… 😀
kapan ya semuanya bisa bener…
doh, ternyata kompas-mengomnpas sdh jadi budaya. para “anggota” makin banyak berkeliaran. naluri jurnalistik mas haris bener2 tajam.
wahh klo penumpang gelap KRL Jabodetabek saya lumayan sering ya mas, tapi klo luar kota, belum pernah. blm cukup ilmu,hehehhe 😀
salam kenal
gambar yang diambil kok gak sinkron…
, keterangan asli foto: Para penumpang KA Senja Utama; Jatinegara-Solo Balapan. Perjalanan rutin diakhir pekan dimulai dengan antrian diloket dan desakan penumpang didalam gerbong Bisnis KA Senja Utama Solo balapan. Pelayanan transportasi darat khususnya kereta api yang kurang mendukung sehingga terjadinya kekurang nyamanan dalam perjalanan.…
belum tentu yg di gambar adalah penumpang gelap…soalnya saya sering duduk dibawah krn beli tiket tanpa_tempat_duduk jangan2 saya dikira penumpang gelap juga..
gambar yang diambil kok gak sinkron…
, keterangan asli foto: Para penumpang KA Senja Utama; Jatinegara-Solo Balapan. Perjalanan rutin diakhir pekan dimulai dengan antrian diloket dan desakan penumpang didalam gerbong Bisnis KA Senja Utama Solo balapan. Pelayanan transportasi darat khususnya kereta api yang kurang mendukung sehingga terjadinya kekurang nyamanan dalam perjalanan.…
belum tentu yg di gambar adalah penumpang gelap…soalnya saya sering duduk dibawah krn beli tiket tanpa_tempat_duduk jangan2 saya dikira penumpang gelap juga..
doh, ternyata kompas-mengomnpas sdh jadi budaya. para “anggota” makin banyak berkeliaran. naluri jurnalistik mas haris bener2 tajam.
Oouw…. saya belum pernah satu gerbong dengan penumpang gelap…
kayaknya itu memang sudah umum sih, tapi cuma problem utama sih dari kesadaran masyarakat yang kadang malah suka banged melanggar peraturan.
pengalaman yang menyenangkan siy kalo baru satu kali nyoba… tapi coba tingkatkan biar lebih sering jadi penumpang gelap ya….
saran winda.. jangan terbujuk sama ajakan dari orang2 yang tidak bertanggung jawab..haha
Saya paling sering naik kereta bisnis, baik itu Senja Utama maupun Fajar Utama. Sering melihat dan atau satu gerbong dengan para penumpang gelap. Tapi, kebanyakan mereka berambut cepat. Ada yang bercelana coklat. Ada yang hijau loreng-loreng. Dan sering melihat kepala kereta tidak menagih apa pun dari mereka. Takut?
hahaha…selain pake password ada yang pake stempel lho om!…
dan tragisnya…penumpang gelap itu kebanyakan wong sugih bergaji tetap yang tiap minggu mesti pulang kampung (orang yg rutin pulang yg biasanya masuk club “roker – rombongan kereta” aka “pegel-penumpang gelap”)..kalau yang kuli macem tukang bangunan malah gak pada berani, kalau berani…pasti bener2 kepepet itu, ada sumthing dikampung dan dianya gak punya duit cukup..
gelap, petualangan, dan membanggakan. lanjutkan terus mas mudah2an KAI masih lama bangkrutnya, ha-ha-ha.