Hasrat dan Pengabdian Edhi Sunarso
Lelaki itu berbaring telungkup dengan satu kaki ditekuk. Kepalanya bersandar pada pangkuan seorang perempuan yang sedang duduk bersimpuh di depannya. Posisi tubuh si perempuan tampak pasrah, sementara sang lelaki terlihat sangat nyaman dengan posisi badannya. Seorang lelaki lain, dengan posisi sedikit menungging, sedang memijat punggung si lelaki yang telungkup dari bagian samping.
Begitulah kira-kira gambaran patung karya Edhi Sunarso yang berjudul Pijat di Trotoar Senen (1982). Dibuat dengan perunggu dalam ukuran life size, Edhi mengerjakan patung ini dengan detail dan teliti sehingga kita yang melihatnya tidak hanya mencerap bentuk, tapi juga merasakan sebuah suasana.
Meski tiga sosok dalam karya itu tak berwajah—Edhi tak memasang mata, hidung, dan bibir di wajah tiga patung itu—tapi posisi dan bentuk tubuh mereka telah bicara pada kita. Dalam hal ini, Edhi Sunarso menunjukkan potensi seni patung yang membuatnya berbeda dengan cabang seni rupa lainnya: bahwa lekuk dan posisi benda tiga dimensi bisa memancarkan sebuah ekspresi dengan sangat kuat.
Pijat di Trotoar Senen sebenarnya berkisah soal praktik pijat murah yang pada beberapa puluh tahun lalu sempat marak di daerah Pasar Senen, Jakarta Pusat. Bersama dengan sekitar 30-an patung lainnya, patung itu dipamerkan dalam pameran tunggal Edhi Sunarso yang bertajuk “Monumen” di Galeri Salihara, Jakarta Selatan, pada 14-28 Agustus lalu.
Seperti yang terlihat dari tajuknya, pameran yang dikuratori Asikin Hasan ini hendak merayakan sosok Edhi Sunarso sebagai pematung Indonesia yang banyak membuat patung-patung publik. Oleh karena itu, pameran ini juga menyertakan sejumlah dokumentasi foto mengenai proses pembangunan monumen yang dikerjakan Edhi. Ikut pula dipajang foto hasil jepretan sejumlah fotografer yang tergabung dalam Liga Merah Putih yang menggambarkan kondisi kiwari monumen nkarya Edhi.
Dalam hal membuat monumen di ruang publik, sosok Edhi memang tak tertandingi pematung lain. Sejumlah patung megah yang menghiasi Jakarta dan kota besar lainnya merupakan karya Edhi. Untuk sekadar mengingatkan, tiga patung monumental di Jakarta, yakni patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, dan patung Dirgantara di Pancoran, adalah hasil karya Edhi.
Seniman ini pula yang mengerjakan diorama sejarah di Monumen Nasional dan Museum Pancasila Sakti Lubang Buaya. Selain karya-karya tak terlupakan ini, Edhi juga mengerjakan banyak patung publik dan diorama yang tersebar di Surabaya, Bogor, Denpasar, Ambon, Digul, dan lain sebagainya.
Dilahirkan di Salatiga, 2 Juli 1932, Edhi Sunarso tak pernah tamat sekolah dasar. Ketika ia sedang belajar di kelas 5 Sekolah Rakyat, Edhi terlibat dalam perang gerilya melawan Belanda sehingga ia harus meninggalkan bangku sekolah. Pada 1946, ia ditangkap Belanda dan dipenjara di sejumlah tempat selama sekitar 3,5 tahun. Setelah dibebaskan, ia berjalan kaki dari Bandung ke Yogyakarta untuk mencari bekas komandannya. Namun, ia tak pernah menemukan komandannya itu sehingga Edhi lalu tinggal di Yogyakarta.
Dalam kehidupannya di Yogyakarta inilah ia bertemu dengan para siswa Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang sedang praktik melukis. Edhi lalu tertarik mengikuti siswa-siswa ini dan turut menggambar di belakang tempat mereka sedang melukis. Secara tak sengaja, ia bertemu dengan pelukis Hendra Gunawan yang kemudian membantunya menjadi siswa pendengar di ASRI. Sejak kala itulah, proses perjalanan Edhi sebagai pematung mulai berkembang.
Prosesnya menjadi pematung publik mulai menanjak pada 1958, saat Bung Karno memanggilnya untuk bertemu. Kala itulah Edhi diminta membuat sebuah patung setinggi 9 meter yang terbuat dari perunggu untuk menyambut tamu-tamu Asian Games. Meski awalnya terdengar mustahil—karena saat itu Edhi belum pernah membuat patung dari perunggu—tapi akhirnya patung permintaan Bung Karno itu selesai juga dan diresmikan dengan nama patung Selamat Datang pada 1960.
Dipandang dari banyak segi, Selamat Datang sungguh-sungguh monumental. Menurut Asikin Hasan, patung itu adalah patung pertama yang terbuat dari perunggu pada zamannya sehingga Edhi kemudian dikenal sebagai pelopor pembuatan patung dengan bahan logam. Selamat Datang juga merupakan patung publik yang penempatannya diperhitungkan dengan sangat cermat. Keistimewaan penempatan patung ini adalah dia dapat dilihat dari pelbagai arah, memutar 360 derajat.
***
Prosesnya mengerjakan patung publik tak pernah menghentikan Edhi membuat patung-patung yang bernuansa personal. Sejak sebelum membikin Selamat Datang, Edhi telah banyak membuat patung-patung pribadi. Dalam perjalanannya setelah itu, ia seperti berdiri di dua posisi: sebagai seniman yang individual, tapi juga sosok yang hendak mengabdi pada bangsa dan publiknya.
Edhi menyatakan, kadangkala pekerjaannya membuat karya publik, terutama diorama, membuatnya jenuh. Hasrat individualnya sebagai seniman terkungkung karena ia diharuskan patuh pada pakem dan sejarah. “Membuat diorama itu sebetulnya bertentangan dengan jiwa seniman yang biasanya ingin bebas. Tapi, ingat, membuat diorama adalah pekerjaan pengabdian pada bangsa,” ujarnya.
Dari proses mengerjakan karya publik, Edhi sadar, ia harus membedakan antara karya-karya pengabdian dengan karya individu. Saat mengerjakan karya publik, ia tak bisa bebas mengumbar keinginan dan hasratnya sendiri. Sementara, saat membuat karya personal, Edhi tampak memanfaatkan kebebasan ekspresinya dengan penuh. Dalam karya-karya personalnya, Edhi tak mau terus terikat pada satu gaya tertentu. Ia menjelajahi pelbagai gaya dengan berani dan tanpa beban.
Pameran “Monumen”, yang sebenarnya dirancang untuk merayakan sosok Edhi sebagai pematung publik, juga menyelipkan sejumlah kejutan. Meski penyelenggara pameran menyatakan pameran itu menghadirkan patung dengan corak realis-figuratif, tapi dalam praktiknya, sejumlah karya nonrealis juga turut hadir.
Rhythm, misalnya, adalah contoh patung yang lebih condong ke gaya abstrak. Patung yang dibuat dari iron wood pada 1957 ini tidak menyodorkan secara gamblang bentuk yang mudah dipahami. Yang terbetik kala memandang patung ini hanyalah semacam perasaan mengenai sebuah ritme dan gerakan. Patung personal Edhi lainnya, Hope, juga jauh dari realisme. Terbuat dari perunggu, karya yang dibuat pada 1987 ini berbentuk semacam elips dengan lubang di bagian tengahnya.
Selain tema sosial, Edhi termasuk sering menggarap tema perempuan dengan kecenderungan beragam. Patung Gadis dan Mimpi (1959) membicarakan perempuan dengan kecenderungan abstrak. Sementara, patung Pasrah (2000) dan Kemenangan (2003) menghadirkan relasi laki-laki dengan perempuan dalam simbol lingga dan yoni.
Dalam karya lainnya, seperti Bersolek dan Kedinginan, Edhi menghadirkan sosok perempuan secara realis. Pada karya-karyanya yang realis inilah kita akan menemukan kemampuan Edhi merekayasa posisi tubuh sehingga patung-patungnya terlihat ekspresif.
Patung Bersolek (1959) menghadirkan sosok perempuan yang berbalut kemben sedang berdiri dengan satu kaki sedikit tertekuk. Dua tangannya memegang rambut yang terurai ke belakang. Posisi kaki kanan yang sedikit tertekuk, kepala yang mendongak, dan tangan yang memegangi rambut—semua detail inilah yang membuat patung perunaggu ini tampak indah dan hidup.
Demikian pula dengan Kedinginan yang merupakan patung perunggu wanita tanpa busana, sedang berdiri dengan sedikit membungkuk. Rambut wanita ini disasak ke atas dan dua tangannya menangkup di depan dada. Bahu perempuan ini sedikit merunduk, tangannya terlihat kaku. Edhi kelihatan sangat memahami bagaimana merancang agar patung wanita ini benar-benar terlihat sedang menggigigil. Memandang lekat-lekat ke patung ini, kita mungkin merasakan aura dingin itu merayap ke tubuh kita.
Pada akhirnya, Edhi Sunarso memang bukan hanya maestro patung publik dan diorama. Ia juga seniman dengan kemampuan teknik dan hasrat individu yang tinggi. Dua buah kakinya mungkin akan selalu berdiri di dua ranah berbeda: satu di medan pengabdian, satu lainnya di medan seni individual.
Haris Firdaus
nganu, mas, menyoal pijat di senen
memang marak, ya, dulu
gerson poyke pun menyinggungnya 😀
Pada zamannya, Senen sebelum ada planet memang tempatnya Seniman.
Tentang Pak Edhi, oh memang haibat.
sekarang jadi sarangnya plagiat 😀
maksute senen? Jangan-jangan nama “senen” bukan terinspirasi dari nama hari, tapi dari kata “seni”.
@goop: beberapa seniman memang sempat menyinggung soal pasar senen karena memang senen tempatnya seniman. btw, apa yg disinggung gerson soal senen?
@antyo: apa ada hubungan antara senen sebagai tempat seniman dengan senen sebagai tempat pijat ya? 😀
sukses dah…buat mas edhi sunarso