Perang di Ampera
Saat bentrokan di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, pada Rabu, 29 September 2010 pecah, saya sedang berada di tempat foto kopi di depan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Bersama saya, ada sekitar 20 wartawan. Kami sama-sama sedang antri menggandakan berkas dakwaan mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komjen Susno Duadji. Saat itu sekitar jam 13.00 dan sidang perdana Susno baru selesai setengah jam sebelumnya.
Mulanya, yang terlihat dari tempat kami berada hanyalah jalanan yang macet. Mobil-mobil tak bisa berjalan. Lalu, timbul teriakan. Seorang lelaki berpakaian rapi—mirip gaya pakaian pengacara—yang ada di seberang jalan, berteriak ke arah saya sembari menunjuk ke jalan yang menuju Cilandak. Beberapa menit sebelumnya, lelaki ini baru saja berbincang dengan saya. Dia juga ingin mengkopi dakwaan Susno.
Mendengar teriakan-teriakan yang makin kencang, para wartawan berhamburan meninggalkan kedai foto kopi dan berlari menuju arah keributan. Saat itu, mobil-mobil masih macet sehingga pandangan kami terbatas. Saya ikut berlarian, mencari tahu apa yang terjadi. Lalu, dimulailah teror itu.
Saya mulai melihat lelaki-lelaki bertubuh kekar asal Maluku yang menenteng parang. Mereka berlarian ke arah yang berlawanan dengan sumber keributan. Mereka berteriak-teriak. Beberapa saat kemudian, suara tembakan terdengar. Saya reflek merunduk dan berlari menjauhi suara tembakan datang. Waktu itu, saya mengira tembakan itu merupakan tembakan peringatan oleh polisi. Nyatanya, tembakan berasal dari salah satu kelompok.
Kala itu, saya tahu telah terjadi bentrokan tapi tak paham apa penyebabnya. Beberapa wartawan yang kocar-kacir di sekitar saya mulai menyebut kata-kata “Blowfish” berulang kali. Tapi saya tetap tak paham.
Seorang jurnalis perempuan menelepon redakturnya menyampaikan apa yang terjadi. Dia sempat bertanya ke saya, siapa terdakwa kasus Blowfish. Saya jawab tidak tahu. Kasus Blowfish, sebelum keributan ini meledak, adalah kasus yang mendapat ekspos sangat terbatas. Tak ada wartawan yang membicarakannya sebelum perkelahian maut itu terjadi.
Saya ingat, sesudah sidang Susno kelar, saya mendengar seorang lelaki yang sedang menelepon bicara tentang kasus pembunuhan yang berkait dengan orang Ambon. Kelak, saya tahu, inilah kasus Blowfish. Tapi kala itu, saya sama sekali tak memperhatikannya. Perhatian saya, juga para wartawan lainnya, adalah persidangan perdana Susno.
Pengamanan ketat polisi di area pengadilan waktu itu, dalam penilaian saya kala itu, adalah untuk menjaga sidang Susno. Bukan sidang lain. Maka, ketika dua kelompok itu saling serbu di Jalan Ampera Raya, saya—yang berada di jantung lokasi kejadian—justru kebingungan dengan apa yang terjadi. Saya rasa, kebingungan serupa juga sempat melanda sejumlah jurnalis lain—setidaknya sekejap.
Saat itu, saya bahkan sempat membuka Google melalui ponsel saya dan mengetikkan kata “Blowfish” ke kotak pencarian. Dari sinilah, saya mulai tahu duduk perkara sebenarnya. Bahwa ada dua kelompok berbasis etnis—dari Maluku dan Flores—yang saling serang. Pertempuran ini berkaitan dengan kasus pembunuhan di Kafe Blowfish beberapa bulan sebelumnya. Kasus ini sedang disidangkan di PN Jakarta Selatan.
Ada beberapa versi penyebab pembunuhan itu tapi yang jelas, korban meninggal berasal dari Maluku. Pembunuhnya, kalau tidak salah, berasal dari wilayah Flores. Seminggu sebelum kejadian, dalam sidang sebelumnya, terdakwa kasus Blowfish sempat dianiaya di area PN Jakarta Selatan. Banyak orang menyatakan, bentrok berdarah seminggu kemudian itu adalah tindakan balas dendam kubu terdakwa ke kubu korban.
Hasil akhirnya kita semua tahu. Tiga orang meninggal dan sejumlah lainnya luka-luka.
***
Nur Hasanah adalah perempuan 38 tahun yang sederhana dan cukup periang. Dia tinggal di sebuah rumah yang lokasinya susah-susah gampang ditemukan. Jika kita tahu alamat lengkapnya, kita dengan mudah mencapai wilayah tempat Nur Hasanah tinggal. Tapi, untuk benar-benar sampai ke rumahnya, saya harus melalui sejumlah insiden tersesat.
Rumah Nur berada di sebuah gang sempit yang hampir tak kelihatan di jalan raya Kota Tangerang. Senin, 4 Oktober lalu, saya menemuinya dan bicara dengannya selama beberapa jam. Ketika saya tiba, diantar seorang tetangga Nur yang mungkin merasa saya pasti tersesat jika tak diantar oleh dia, Nur sedang duduk bergerombol dengan perempuan di sekitar rumahnya. Dia memakai daster biru dengan titik-titik putih dan beberapa kali tertawa.
Saya memperkenalkan diri, lalu duduk lesehan di ruang tengah rumahnya, di mana televisi menyala dan seorang perempuan muda yang masih saudara Nur sedang menyeterika pakaian. Nur tidak mengganti pakaiannya meski tahu bahwa dia bukan hanya akan diajak berbincang tapi juga dipotret. Pembicaraan kami berjalan lancar. Meski topiknya sensitif, Nur ternyata cukup tabah.
Ketika bentrokan di Ampera terjadi, Nur sedang menyetrika pakaian di ruang tengah rumahnya—tempat yang sama dengan lokasi obrolan kami. Saat itu televisi juga menyala dan sedikit atau banyak Nur tahu di Jakarta Selatan—puluhan kilometer dari rumahnya—sedang terjadi bentrokan. Seorang tetangganya lalu bilang bahwa di lokasi bentrokan ada Kopaja 608 jurusan Blok M-Tanah Abang. Nur mulai merasa cemas.
Suami Nur, Saefudin (48 tahun), adalah sopir Kopaja 608. Saefudin bisa dibilang sopir senior karena sudah sekira 20 tahun mengemudi. Dia berasal dari Padang Sidempuan, Sumatera Utara—keterangan media massa yang menyebut Saefudin berasal dari Medan sejatinya salah. KTP Saefudin, konon, memang bertuliskan alamat Medan karena, menurut Nur, memang dibuat di kota itu.
Nur tahu hatinya mulai gemetar tapi dia selalu mencoba menenangkan diri. Sampai kemudian, sekira pukul 17.30, ia diminta pergi ke rumah Ketua RT setempat. Di sana, sejumlah wartawan sudah menunggu. Para wartawan bertanya apakah suami Nur benar bernama Saefudin, dan apakah Saefudin betul berusia 48 tahun. Nur membenarkan dan bertanya ada apa. Tapi para wartawan tak menjawab, mereka tidak tega menyampaikan bahwa Saefudin baru saja tewas berlumuran darah karena bacokan berkali-kali.
Wartawan kala itu akhirnya bicara dengan adik Nur. Dan Nur kemudian tahu kebenaran soal suaminya beberapa waktu kemudian. “Saya shock. Langsung lemes,” katanya.
***
Ada banyak hal yang belum jelas dalam kasus bentrokan di Ampera. Salah duanya adalah bagaimana Saefudin bisa mengantar salah satu kelompok dan kenapa dia bisa menjadi korban.
Saya bertanya pada Nur tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Saefudin. Tapi Nur mengatakan dia tidak tahu dan tampaknya tidak berminat mencari tahu. Bagi saya, ini agak mengejutkan. Jika sesuatu terjadi pada orang terdekat kita, bukankah seharusnya kita mencari tahu duduk perkaranya sejelas mungkin dengan sekuat tenaga?
Masalahnya bukan pada kecintaan Nur pada Saefudin. Saya tahu bahwa Nur sangat mencintai Saefudin dan sangat kehilangan. Tapi Nur memilih bersikap pasrah. Tidak ada nada amarah saat berkisah soal suaminya. Dia bisa dengan tenang menceritakan tentang waktu-waktu terakhirnya bersama Saefudin. Kadang-kadang dia menyelinginya dengan tawa.
Sepanjang obrolan, Nur hanya menangis saat saya bertanya soal anak-anaknya. Dia punya tiga anak, semuanya perempuan. Dua di antaranya masih sekolah di bangku SMA dan SMP. Yang sulung, berusia 19 tahun, sudah berkeluarga dan punya satu anak.
Saefudin adalah satu-satunya pencari nafkah. Tiap hari, menurut Nur, Saefudin bisa membawa lebih dari Rp. 50 ribu. Nur hanya bekerja sambilan menjaga anak tetangganya dengan bayaran Rp. 250 ribu tiap bulannya.
Masa depan putri-putrinya, itulah yang dicemaskan Nur. Terutama soal pendidikan. Bagaimana dua anaknya yang masih sekolah bisa lulus.
Saya sempat bertemu dengan Norma Sefrida, anak bungsu Nur. Dia baru pulang dari sekolah. Sebagai remaja 13 tahun, Norma tampak cukup dewasa. Kala itu, ia juga kelihatan tabah, meski menurut Nur, Norma sempat pingsan saat tahu ayahnya meninggal.
Di akhir kunjungan, saya mengikuti Nur, Norma, dan beberapa kerabatnya pergi ke makam Saefudin. Makamnya tidak jauh dari rumah, terletak di sebuah komplek kuburan kecil. Semua yang dimakamkan di situ masih berkerabat. Nur membawa sebiji kelapa dan sekerangjang kecil bunga. Kami menyeberang jalan raya Kota Tangerang, melalui sebuah jembatan penyeberangan bercat kuning yang ramai oleh pedagang.
Sampai di makam, kelapa yang dibawa Nur dibelah dua, lalu diletakkan di atas makam Saefudin. Mereka juga menaburkan bunga. Lalu membaca Surat Yasin.
Saat itu saya bersama fotografer dari majalah tempat saya bekerja dan tiga kru dari sebuah televisi swasta. Si fotografer dan kru televisi tentu saja menjalankan tugas mereka mengabadikan aktivitas Nur dan Norma. Kadangkala, ibu-anak itu diminta berposisi tertentu supaya gambar yang dihasilkan bagus.
Saya yang memandangi aktivitas itu merasa tidak enak. Barangkali seharusnya kami membiarkan Nur dan Norma bersedih dalam kesunyian yang khidmat, tanpa jepret dan sorotan kamera. Juga tanpa saya.
Saat pulang, saya bertanya dalam hati apa yang bisa saya lakukan untuk mereka. Sayangnya, saya tidak menemukan jawaban yang benar-benar bagus. Perang di Ampera barangkali tak akan pernah benar-benar dituntaskan penyelidikannya dan keadilan mungkin tak pernah menjadi milik Nur. Tapi, saya yakin, Nur terus melanjutkan hidup. Dengan atau tanpa keadilan.
Jakarta, 6 Oktober 2010
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
satu kata “MIRIS”
wah, ternyata saat pecah kekerasan di ampera, mas haris berada di tkp. sungguh, saya ndak habis mengerti kenapa setiap masalah yang terjadi selalu berakhir bentrok. kok ndak ada capek2nya ya orang mengumbar amarah? semoga sekarang sudah terselesaikan dg baik.
selalu akhirnya yg jadi korban (colatteral damage) adalah orang yang sudah terpuruk
Hah, rasanya memang menarik bagi seorang jurnalis menjadi saksi sebuah peristiwa. Mudah2n heroisme mas haris tetap logis. Keselamatan nomor satu, meskipun ‘hujan peluru’ di atas kepala, he-he-he.
Satu lagi mas. Kapan-kapan mampir lagi ke rumah ibu nur. Dua tiga bulan lagi. Bawa ‘gula kopi’, kalo sempat…
MAMPIR
Bagus mas tulisannya enak dibaca.
Begitu ya, mungkin itulah kenapa kekerasan bukannya menyelesaikan masalah tapi malah menambah masalah. Seandainya orang-orang mau bijak berpikir menggunakan akal sehat dan dingin, bukannya menuruti emosi saja.
Oh ya, saya juga jadi bertanya-tanya, apa kabar Bu Nur sekarang. Semoga ybs selalu sehat dan dimudahkan untuk membiayai anak-anaknya hingga lulus sekolah.