Demokrasi, Kritik, dan Rasa Sabar
Mereka yang memilih demokrasi adalah mereka yang siap kecewa. Saya kira, semuanya sudah jelas: pengalaman Indonesia setelah reformasi 1998 menegaskan bahwa demokrasi bukanlah sebuah sistem yang serta merta membawa semua kebaikan pada kita. Sebaliknya, demokrasi adalah sistem yang identik dengan rasa kecewa. Ini bukan berarti saya menyatakan bahwa demokrasi merupakan kesalahan. Demokrasi tidak salah, tapi cara pandang kita terhadapnya yang barangkali salah.
Bagi saya, ada hubungan sedikit rumit dan paradoksal antara demokrasi dengan kekecewaan. Di satu sisi, demokrasi menghalalkan rasa kecewa, juga ekspresi atas perasaan kecewa tersebut, tapi di sisi lain, penyampaian rasa kecewa dalam sistem demokrasi bisa jadi tidak akan mengubah apa-apa. Di sini, sesuatu yang saya sebut paradoks tadi menjadi nyata: justru karena rasa kecewa halal dalam demokrasi, ia menjadi sesuatu yang biasa, rutin, dan seringkali kehilangan daya gubah.
Hal-hal semacam inilah yang terlintas dalam benak saya ketika belakangan makin banyak orang dan lembaga yang menyemprotkan kritik pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan berharap sang presiden turun sebelum Pemilu 2014. Kritik-kritik macam ini belakangan marak sesudah pertemuan tokoh lintas agama yang menyatakan sikap soal 18 Kebohongan Pemerintah.
Saya menulis esai ini sepulang dari acara peluncuran buku Hariman dan Malari dan peringatan ulang tahun ke-11 Indonesia Demokrasi Monitor (Indemo) di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Ada banyak tokoh yang hadir dan bicara dalam acara yang menurut saya lebih tampak sebagai selebrasi sosok Hariman Siregar sebagai pentolan peristiwa Malari itu. Ada Wiranto, Rizal Ramli, Adnan Buyung Nasution, Sukardi Rinakit, Yudi Latif, Rosihan Anwar, Christine Hakim, dan banyak lagi.
Kebanyakan dari para tokoh ini bukan hanya berkomentar soal sosok Hariman, tapi juga mengkritik pemerintah dengan gagah berani, dan menyerukan supaya rakyat bersama-sama menurunkan SBY sebelum 2014. Saya kira, hanya Rosihan, sang wartawan berusia 89 tahun itu, yang sama sekali tidak menyampaikan kritik untuk pemerintah. Dia hanya berkomentar singkat soal Hariman, lalu membacakan puisi karya pahlawan Filipina, Jose Rizal. Saya lupa judul puisi itu, tapi yang jelas Rosihan menerjemahkan puisi itu saat ia berusia 22 tahun.
Sementara Rosihan mencukupkan diri pada puisi, Rizal Ramli bicara sangat lama soal keburukan pemerintah, dari soal minyak hingga harga pangan dan survey kemiskinan. Adnan Buyung juga melancarkan kritik secara keras, dan bahkan bertanya pada hadirin: “Apakah rakyat akan terus bersabar menunggu SBY turun pada 2014?” Para hadirin menjawb secara serempak: “Tidak!”
Saya tidak ikut menjawab pertanyaan Buyung, dan malah tertawa dalam hati. Mereka yang dalam acara itu terus-menerus minta SBY turun akhirnya hanya akan pulang tanpa melakukan apa-apa. Mereka akan melanjutkan hidup mereka, dan melupakan bahwa sejam sebelumnya mereka telah menyatakan akan mendongkel SBY dari kursi kepresidenan. Ini adalah paradoks demokrasi: semua orang bisa merasa dan menyampaikan rasa kecewa, tapi mereka tidak akan sungguh-sungguh berbuat untuk mengobati kekecewaan mereka.
Sebagai wartawan, saya sepenuhnya paham bahwa gencar dan sayupnya kritik pada pemerintahan dalam sistem demokrasi sangat dipengaruhi oleh besar atau tidaknya liputan media massa. Sialnya, bagi para aktivis itu, media tidak akan mau terus-menerus meliput kritikan-kritikan mereka dalam waktu yang lama. Media massa mempunyai sistem sirkulasi informasi yang berjalan sendiri, dan tidak mau tunduk sepenuhnya pada satu kepentingan. Selalu ada negoisasi. Saya memprediksi, bulan depan, kritik-kritik itu akan kembali tenggelam.
Saya kira, inilah konsekuensi demokrasi. Tiap aktivis boleh mengkritik dengan cara yang paling keras dan terus-menerus, tapi mereka harus menerima bahwa kritik mereka bisa jadi tidak mengubah apa-apa. Lambat laun, semuanya akan paham: partai politik adalah sarana yang paling efektif untuk mengubah keadaan dalam sistem demokrasi. Oke, saya tahu bahwa partai politik yang ada sekarang mungkin tidak bisa dipercaya, tidak mencerminkan kehendak rakyat, atau sudah terkooptasi oleh politik kekuasaan. Tapi, mau bagaimana lagi: demokrasi memang mempunyai harga yang harus dibayar dengan kesedihan.
Dan kesedihan itu bernama “sistem”. Mereka yang ingin punya pengaruh harus berusaha masuk ke dalam sistem. Mereka yang tidak bisa atau tidak mau masuk ke sistem, tentu saja, boleh tetap di luar. Tapi mereka yang di luar ini sama sekali tidak berhak menghancurkan sistem, selama keadaan sistem itu masih mencerminkan demokrasi. Pada titik inilah, saya kira, keinginan mereka yang hendak menurunkan SBY sebelum 2014 tidak tepat.
Harga yang harus dibayar jika pemerintahan bubar terlalu mahal, lagipula, ketika SBY turun, tidak semua masalah selesai dengan sendirinya. Lebih jauh dari itu, para aktivis yang menginginkan SBY turun sekarang, saya kira, sebenarnya tidak pernah sungguh-sungguh. Apakah mereka sudah benar-benar menyusun rencana aksi untuk menurunkan SBY? Saya kira, tidak. Kritikan itu hanyalah sebuah pelepasan rasa kecewa yang setengah-setengah, insidental, dan mudah sekali dilupakan.
Saya kira, lebih baik para pengkritik SBY bersiap dengan Pemilu 2014. Jika memang tidak lagi menyukai pemerintahan sekarang, mari kita kalahkan Partai Demokrat. Jalan keluar ini lebih realistis ketimbang terus-menerus bicara tanpa sebuah langkah konkret. Ini juga memberi pelajaran bahwa demokrasi bukan sulap yang mengubah segalanya dengan serta merta. Pada akhirnya, demokrasi juga identik dengan kesabaran.
Jakarta, 15 januari 2011
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
Saling kritik dan saling menggulingkan memang sudah menjadi hal biasa dalam percaturan politik mas Haris, akhir2 ini memang bikin gemes aja tokoh2 partai ini.
Salam kenal
yah, sistem kita bakal gitu-gitu aja kalau pemerintahnya masih yang sama, bohong kalau ada perubahan karena kenyataannya masih banyak yang makin parah!
btw, apa masih ada golongan yang bisa di percaya mengurus pemerintahan ini? karena saya pikir semua yg duduk di sana cuma orang2 yang haus kedudukan dan mata duitan, yang jujur paling sgt sedikit,, 😀
Potong satu generasi
Hal seperti itu akan berulang dan terus berulang siapapun Presidennya, jadi saya sepakat dengan mas Haris, biarlah SBY menyelesaikan masa pemerintahannya, tentu saja dengan kawalan ketat dari berbagai elemen masyarakat, sementara itu mulai persiapkan kandidat yang dirasa memenuhi aspirasi semua kalangan untuk pemilihan Presiden mendatang, itu juga kalo ada..
saya sendiri cenderung menilai, pak beye telah gagal menyejahterakan rakyat. kerjaannya hanya membangun citra dan curhat. meski demikian, tdk seharusnya pemerintahan sby harus dimakzulkan.
saya heren sebab saya rasa indonesia negeri paling demokratis di dunia, makanya tak heran rakyatnya paling banyak dikecewakan namun tetap saja sabar.
demokrasi harus membawa nilai, bukan semata2 suara terbanyak… barangkali itu yg sering membuat kekaprahan dan salah urus…
Saya sendiri ndak terlalu suka sby, tapi saya pengen juga punya presiden yang naeknya bener melalui sistem…turunnya bener melalui sistem…soale dalam sejarah Indonesia belum pernah…
Sukarno: Naik bener…turunnya digulingkan…
Suharto: Naik dari “kudeta”…turunnya digulingkan
Habibie: Naik dari hasil penggulingan…turunnya bener…
Gusdur: Naiknya bener…turunnya digulingkan…
Megawati: Naiknya dari hasil penggulingan…turunnya bener…
SBY: NAiknya bener…turunnya???
Khan pengen juga yah kayak negara lain…naik turunnya by sistem gituh 😀
Bagaimana cara saya mendapatkan buku ini..??
Apakah ada hubungan. Nya tentang kritik demokrasi dan rasa sabar?