Meliput Cikeusik
Kakinya telanjang. Wajahnya lesu. “Saya belum sarapan,” katanya saat saya bertemu dengannya pagi itu. Dia mengaku bernama Arif. Umurnya saya taksir sekitar 20-an tahun. Pagi itu, dia memakai kaos oblong hitam dan celana pendek. Di bawah sorot kamera dan tatap mata para wartawan, dia berusaha tenang.
Di samping Arif duduk Alfi yang umurnya sekitar 28 tahun. Alfi juga memakai kaos oblong hitam dan celana pendek. Kakinya juga tanpa alas. Saya bertemu mereka berdua pada Selasa (8/2) di Kantor Polsek Cikeusik, Pandeglang, Banten. Mereka adalah warga Ahmadiyah yang selamat dari serangan maut seribuan massa pada Minggu (6/2).
Arif dan Alfi adalah dua di antara 17 pengikut Ahmadiyah yang datang dari Jakarta ke rumah Suparman di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik. “Kami ingin mempertahankan aset milik Ahmadiyah,” kata Arif saat ditanya tujuan kedatangannya. Suparman, seperti yang sudah kita tahu, adalah mubaligh Ahmadiyah di Cikeusik. Rumahnya dirusak warga dalam sebuah kerusuhan yang berujung pada meninggalnya tiga orang.
Senin siang (7/2), saya ditugaskan berangkat ke Umbulan. Bersama seorang fotografer dan sopir, saya berangkat hampir tanpa persiapan memadai. Saya tidak membawa baju ganti atau peralatan mandi karena menyangka Cikeusik bisa ditempuh hanya tiga atau empat jam dari Jakarta.
Nyatanya, saya salah besar. Cikeusik memang masuk wilayah Kabupaten Pandeglang. Tapi ini kecamatan terpencil. Jaraknya 100 km lebih dari pusat kota Pandeglang. Jalannya rusak parah. Lubang-lubang dengan diameter setengah meter adalah pemandangan biasa. Lumpur bercampur air sisa hujan menghambat perjalanan. Mobil Innova yang kami tumpangi sempat terperosok lubang dan tak bisa keluar. Butuh setengah jam lebih membuatnya kembali berjalan.
Saya sampai di Desa Umbulan pukul 22.00 atau setelah menempuh perjalanan sekitar 8 jam. Badan sudah lelah, mata mengantuk. Setelah beberapa kali bertanya, saya menemukan rumah Suparman yang porak poranda dibakar massa. Tak jauh dari rumah itu, para polisi berjaga malam. Mereka main kartu di halaman rumah milik M. Johar, Kepala Desa Umbulan. Akhirnya, kami tidur di mobil yang terparkir di depan rumah Johar.
Pagi-pagi sekali, tanpa sempat cuci muka, gosok gigi, atau buang air kencing, saya langsung liputan. Gara-garanya Ridha Saleh, anggota Komnas HAM, datang pagi-pagi sekali ke Umbulan. Dia melihat rumah Suparman dan menemui Johar. Saya ikut dalam pertemuan itu. Saya juga mengikuti Ridha ke Polsek Cikeusik, tempat kami akhirnya berjumpa dengan Arif dan Alfi. Setelah itu, Ridha kembali ke Jakarta dan saya kembali ke Desa Umbulan, mewawancarai sejumlah warga.
***
Di perjalanan pulang menuju Jakarta, saya baru mulai menyadari: liputan yang saya lakukan nyaris tidak memenuhi unsur keberimbangan. Saya mewawancarai Johar, sejumlah warga, dan Kepala Bagian Humas Polda Banten, AKBP Gunawan. Kebanyakan pernyataan mereka menyudutkan warga Ahmadiyah. Johar bicara panjang lebar soal Suparman dan keluarganya yang eksklusif.
Menurut Johar, Suparman lahir dan besar di Umbulan tapi sekitar 10 tahun lampau, dia merantau ke sejumlah tempat, salah satunya ke Filipina. Pada Februari 2010, Suparman kembali ke Cikeusik. Pada Agustus 2010, dia membeli rumah di Umbulan. “Informasi yang saya terima, rumah itu bukan dibeli Suparman sendiri, tapi dibelikan oleh orang dari Bandung,” ungkap Johar.
Keluarga besar Suparman ikut tinggal di rumah itu. Mereka adalah ayah dan ibu Suparman, beberapa adik Suparman beserta suami atau istri mereka, serta istri Suparman—yang berasal dari Filipina—dan anak-anak mereka.
Johar mengatakan, sejak kembali ke Umbulan, Suparman dan keluarganya bersikap tertutup. Rumah mereka dipagari bambu. Mereka jarang bertegur sapa dengan warga dan tidak mau sholat bersama di masjid. Mereka memilih menjalankan sholat di mushola kecil yang berada di rumah mereka. “Sama masyarakat nggak mau berkomunikasi,” kata Johar.
Sejumlah warga yang saya wawancarai juga menguatkan pernyataan Johar. Karena dikonfirmasi oleh lebih dari dua narasumber, saya kira pernyataan bahwa Suparman dan keluarganya eksklusif merupakan fakta. Masalahnya, saya tidak bisa mengkonfirmasi ini ke Suparman dan keluarganya. Mereka sudah tidak lagi di Umbulan. Suparman dan istrinya diamankan polisi sehari sebelum rumah mereka dirusak.
Di lapangan, jumlah narasumber yang kontra Ahmadiyah memang lebih banyak. Hanya Ridha Saleh yang berusaha netral. Saya memang bisa bertemu dengan Arif dan Alfi, tapi saya tak punya kesempatan bertanya banyak. Hal semacam ini jadi masalah. Jurnalis yang turun ke Umbulan untuk melakukan pendalaman akan menemui sumber-sumber sepihak. Saya melihat ini pada laporan berseri yang diterbitkan Detikcom. (Salah satu yang paling kentara bisa dilihat di sini).
Laporan itu memang harus diapresiasi karena keluar dari pola pikir media online yang mengandalkan kecepatan. Tapi, dia juga bisa terjebak pada keberpihakan yang memperburuk keadaan. Warga Ahmadiyah di Umbulan mungkin benar eksklusif. Mungkin benar mereka tidak mau sholat bersama warga di masjid di desa itu. Tapi, itu bukan alasan mereka boleh dibantai.
Redaktur saya di kantor Jakarta memutuskan tidak memuat semua pernyataan yang menyudutkan Ahmadiyah yang tidak diimbangi oleh sumber-sumber dari Ahmadiyah. Pernyataan soal Suparman eksklusif dihapus total—padahal, pernyataan macam ini memenuhi lembar-lembar laporan jurnalistik saya. Pernyataan bahwa ada kemungkinan pengikut Ahmadiyah membawa senjata juga tidak dimuat karena masih perlu dibuktikan lebih jauh.
Saya setuju dengan tindakan redaktur saya karena laporan semacam itu hanya memperkeruh suasana. Di Polsek Cikeusik, saya bertemu dengan reporter sebuah televisi yang bersemangat sekali mengorek kesalahan pengikut Ahmadiyah di Umbulan. Apakah warga Ahmadiyah dari Jakarta itu membawa senjata? Apakah mereka menyerang lebih dulu? Jika mereka membawa senjata, bukankah ini “bentrokan”, bukan “penyerangan”? Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang keluar dari mulut sang reporter.
Bagi saya, pertanyaan-pertanyaan macam itu sah sebagai keingintahuan jurnalistik. Tapi, sejauh apa pertanyaan-pertanyaan itu bisa diungkapkan ke publik secara luas? Saya kira, orang-orang media harus sangat hati-hati soal ini. Isu utama yang tetap harus diusung adalah tindakan kriminal berupa pembunuhan dan perusakan. Detail lain ihwal masalah ini tentu saja boleh ditambahkan, tapi jangan sampai melupakan keberimbangan. Barangkali, ini yang mesti diingat tiap wartawan yang ke lapangan untuk meliput konflik horizontal.
Jakarta, 10 Februari 2011
Haris Firdaus
foto diambil dari sini
Ngomong2 soal berimbang (atau bahkan keberpihakan), beberapa hari lalu SCTV membuat judul “Pengikut Ahmadiyah Insaf & Bertobat” saat menayangkan berita soal beberapa orang pengikut yg telah ikrar keluar dari Ahmadiyah. Selain itu, video2 berbagai versi yg beredar jg patut dipertanyakan. Seperti ada seksi dokumentasi tersendiri dalam penyerangan tsb.
kita tinggal di negara hukum, suatu permasalahan bisa di selesaikan secara hukum..tapi kalau hukum bisa dibeli..?
masalah ahmadiyah benar atau salah, kalau sudah melakukan tindakan anarkis harus tetap di proses hukum, kita hidup di negara hukum, jadi semua harus berdasarkan hukum
isu SARA tetap jadi masalah di negara kita yang masyarakatnya heterogen
seru nih baca artikelnyaa