Guyon Jelata Ala Yogya
Suara dagelan adalah suara Tuhan. Inilah kesimpulan yang diambil—dengan cengengesan tentu saja—oleh sekelompok pelawak yang bersepakat membentuk Laskar Dagelan. Merasa resah karena akhir-akhir ini tak pernah mendapat job untuk melawak, tiga pelawak plus empat orang dari profesi yang berbeda—seperti abdi dalem keraton, penjual gudeg, mahasiswa, dan penjual batu akik—akhirnya sepakat membentuk Laskar Dagelan.
Tujuan utama laskar ini terdengar menggelikan: mendesak DPR segera membuat Undang-undang khusus yang melindungi profesi pelawak. Konsep utamanya, mereka yang bukan berprofesi sebagai pelawak dilarang melucu. Rupanya, para pelawak ini dongkol karena tingkah polah politisi masa sekarang lebih lucu ketimbang mereka. Karena bertingkah lucu, para politisi ini dituding telah “merampas” lahan penghidupan para pelawak.
Begitulah nukilan kisah pertunjukan Laskar Dagelan: From Republik Jogja With Love yang dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, 29-30 Maret lalu. Diproduseri Butet Kertaredjasa, dengan sutradara Djaduk Ferianto dan penulis cerita Agus Noor, Laskar Dagelan adalah bagian dari sebuah proyek yang disebut “Indonesia Kita”. Proyek ini bisa disebut sebagai upaya dialog untuk memahami ke-Indonesia-an sebagai entitas yang majemuk.
Menurut Butet Kertaredjasa, proyek “Indonesia Kita” akan menjadi jawaban bagi upaya-upaya sejumlah kelompok yang hendak menyeragamkan Indonesia. “Indonesia yang majemuk itu keren. Jika ada yang berusaha menyeragamkan Indonesia, inilah jawaban kami melalui jalan kesenian,” katanya saat memberi pengantar sebelum pentas Laskar Dagelan. Proyek “Indonesia Kita”ini akan terdiri dari enam kali pertunjukan kesenian plus pasar kuliner yang diselenggarakan sepanjang tahun ini. Tiap pertunjukan dan pasar kuliner akan menghadirkan semacam representasi dari kebudayaan dari suatu daerah di Indonesia.
Sebagai pembuka “Indonesia Kita”, Laskar Dagelan merepresentasikan kebudayaan Jawa, terutama budaya yang tumbuh di Yogyakarta. Secara umum, pertunjukan ini bisa disebut sebagai musikal plesetan karena unsur musik dan komedi adalah pembentuk utamanya. Sumber inspirasi unsur komedi dalam pentas ini diambil dari gaya plesetan yang akarnya bisa dilacak sampai ke grup Dagelan Mataram pimpinan Basiyo. Sejak 1953 sampai ia meninggal pada 1979, Basiyo dan sejumlah kawannya mempunyai acara dagelan berbahasa Jawa yang bernama Dagelan Mataram di RRI Yogya.
Sebagai pentas komedi, para pemain yang terlibat dalam pentas ini hampir semuanya merupakan pelawak. Selain sutradara Hanung Bramantyo yang disebut sebagai “bintang tamu”, semua pemain dalam pertunjukan itu adalah komedian. Sebagian dari mereka sudah dikenal publik, seperti Marwoto dan Susilo Nugroho yang beken dengan perannya sebagai Den Baguse Ngarso dalam seria Mbangun Desa di TVRI Yogyakarta pada 1990-an. Ada Yu Ningsih yang berlatar belakang pemain wayang dan ketoprak, Show Imah yang beken dengan julukan “sinden kosmopolit”, dan Trio GAM (Gareng, Joned, dan Wisben) yang sesekali muncul dalam acara Sentilan Sentilun di Metro TV.
Sementara itu, unsur musikal dalam Laskar Dagelan masuk melalui keterlibatan Jogja Hiphop Foundation, sebuah kelompok musik hip hop yang konsisten menyanyikan lagu berbahasa Jawa. Pentolan kelompok itu, Marzuki Muhammad alias Kill The DJ, menjadi penata musik Laskar Dagelan. Uniknya, kisah Laskar Dagelan mulanya justru berasal dari sejumlah lagu ciptaan Jogja Hiphop Foundation. Penulis Agus Noor awalnya membuat sejumlah cerita yang berkaitan dengan lagu-lagu kelompok tersebut. Kemudian, Djaduk Ferianto, sebagai sutradara, merangkai lagu-lagu tersebut dengan kisah yang dibuat Agus Noor.
Perpaduan plesetan Mataraman dengan hip hop menunjukkan adanya jalinan antara kesenian tradisi dengan modern. Jalinan semacam ini hendak dijadikan simbol bahwa budaya Yogya adalah sesuatu yang dinamis. Budaya Yogya tidak berhenti pada seni tradisi, tapi terus-menerus berproses melalui dialog dengan seni yang datang dari belahan dunia manapun. Selain musik dan komedi, unsur tari juga cukup mewarnai pentas Laskar Dagelan, meski fungsi tarian itu hanyalah pendukung.
Sebagai pentas plesetan, Laskar Dagelan bisa dibilang tak terlalu mementingkan keutuhan cerita. Selain keresahan sejumlah pelawak yang sepi job, pertunjukan ini juga diselipi kisah seorang sutradara muda dari Jakarta yang datang ke Yogya untuk membuat film. Sutradara muda itu lalu menjalin hubungan dekat dengan seorang gadis cantik, meskipun akhirnya dia lebih memilih seorang penjual gudeg berusia tua sebagai kekasihnya. Ada pula kisah mahasiswa yang gemar mabuk-mabukan, cerita penjual batu akik yang piawai, dan seorang intel yang menyusup ke masyarakat Yogya . Semua kisah itu jalin-menjalin, dan akhirnya, penonton tak menemukan sebuah narasi yang runtut.
Dalam sebuah pertunjukan plesetan, narasi yang utuh mungkin memang tidak penting. Yang penting adalah guyonan yang disampaikan. Dan, seperti laiknya plesetan ala Yogya, humor dalam pentas ini bisa disebut sebatgai guyonan ala rakyat jelata. Pentas ini juga penuh dengan plesetan berbau kritik sosial: dari soal pembangunan gedung DPR, konflik PSSI, polemik soal keistimewaan Yogyakarta, sampai kritik terhadap tingkah polah politisi. Sutradara Hanung Bramantyo juga tak lepas dari plesetan. Dalam sejumlah sesi, Marwoto dan Susilo Singgih menggunakan riwayat pribadi Hanung sebagai bahan plesetan.
Selain kritik sosial, humor dalam Laskar Dagelan juga dipenuhi kosa kata yang agak saru dan terkadang kasar. Sejumlah kosa kata yang dalam bahasa Jawa biasa digolongkan sebagai pisuhan (umpatan) juga terus-menerus hadir. Seperti biasa pula, beberapa kali dihadirkan guyonan yang cenderung porno dan gaya komedi slapstick. Dengan semua formula tersebut, komedi dalam pentas ini jadi mirip dengan gaya grup lawak Srimulat.
Sebagai pentas komedi, Laskar Dagelan bisa dikatakan berhasil: selama hampir tiga jam pementasan, penonton seolah tak berhenti tertawa. Selama tiga kali pementasan dalam dua hari, tiket Laskar Dagelan juga selalu ludes. Tapi, sebagai pertunjukan yang juga berhasrat menunjukkan keragaman Indonesia, pentas ini punya kekurangan. Laskar Dagelan bisa dikatakan terlampau mempertentangkan antara pusat dengan daerah, antara Jakarta dengan Yogyakarta.
Dalam beberapa hal, kritik terhadap pusat dan Jakarta memang benar dan perlu, tapi dalam beberapa kesempatan, sinisme terhadap pusat itu jadi berlebihan. Mempertentangkan Jakarta dengan Yogyakarta juga tidak selalu tepat. Sebab, Jakarta bukan hanya simbol pusat kekuasaan yang korup dan menjijikkan, tapi juga bisa berarti tempat di mana banyak orang kecil berjuang mempertahankan hidup secara mengharukan.
foto diambil dari sini
Pertama Ane baca di Koran ibukota, kemudian di sini, wah jadi penasaran, terima kasih atas ulasannya
maklod su?
wah, jadi pengen tau nih. hehehe.
Hoo, pelaku-lawak semacam Butet plus kakange, dsb, nek kon ndagel berbahasa Indonesia, lambene bakal ketlingsut, utekq mesti keseleo. Makane, kembali ke khittah wae. Seperti juga buat DPR, nek gaweane nggawe Undang-Undang, yowis, rasah aeng-aeng rep nampilke dagelan barang. Mesti kae mayoritas DPR seko Pramuka, ngasi rep gawe gedung wae berbentuk U/ setengah lingkaran. Jadi ingat instruksi kakak pembina: “Dalam hitungan ke sepuluh, buat setengah lingkaran!”
melu ngekek…
Wah, jadi kangen jogja…..