Ingatan-ingatan Ihwal Soeharto
Ingatan saya tentang Soeharto adalah gambar samar-samar seorang tua dengan rambut memutih dan senyum mengembang yang sedang berdialog dengan para petani. Dia berdiri, memegang mikrophone, dan berbicara pelan. Sementara itu, para petani duduk khidmat mendengarkan dan bertanya dengan nada sesopan mungkin setelah Soeharto berhenti berbicara.
Ingatan masa kecil ini kelak akan ditambahi kenangan perihal seorang presiden berbaju safari dan memakai peci yang membacakan pidato pengunduran diri pada 21 Mei 1998. Sebagai anak kelas 6 SD kala itu, saya hampir tidak punya pendapat ihwal Soeharto. Dia presiden Indonesia sejak 30 tahun lebih sebelumnya, dan kami para murid sekolah dasar terus menatap fotonya tiap hari di ruang kelas. Dia juga hadir di ingatan kami melalui pelbagai mata pelajaran, dari Pendidikan Moral Pancasila hingga Ilmu Pengetahuan Sosial.
Kami belajar tentang konsep-konsep pembangunan yang dirumuskannya, menghafal trilogi pembangunan, menyerap tujuan Pembangunan Lima Tahun, bahkan menghafal nama menteri-menteri di kabinetnya. Kami juga menghafal tiap pasal dalam UUD 1945 yang sangat sakral itu, dan oleh karenanya, kami pastilah tak terlampau memahami kenapa Soeharto yang agung itu harus diturunkan.
Saya, tentu saja, melihat berita-berita demonstrasi dan kerusuhan, juga menjadi saksi bagaimana kerusuhan membakar kota saya, Solo. Tapi bagi saya tetap tak jelas kenapa Soeharto harus turun waktu itu. Tiba-tiba saja dia turun dan semua pelajaran yang kami serap tentangnya menjadi tak berguna. Meski begitu, saya tetap mengenang dia. Dia mungkin dilupakan oleh mata pelajaran sekolah, tapi ingatan ihwal sosoknya mungkin tak bisa lupa. Kebanyakan kita di Indonesia selalu punya kenangan—baik atau buruk—tentang Soeharto, dan begitulah faktanya.
Saya tiba-tiba mengingat kenangan personal ihwal Soeharto ini ketika membaca buku Pak Harto, The Untold Stories yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada Juni ini. Ditulis oleh sekelompok wartawan—yakni Mahpudi, Bakarudin, Dwitri Waluyo, Donna Sita Indria, Anita Dewi Ambarsari—buku setebal 602 halaman ini berisi kumpulan kesaksian banyak tokoh terhadap sosok Presiden Indonesia ke-2 itu.
Sebagian di antara mereka yang memberi testimoni adalah pemimpin-pemimpin negara di Asia Tenggara, seperti Mahatir Muhammad, Lee Kuan Yew, Sultan Hassanal Bolkiah, dan Fidel Ramos. Ada juga tokoh-tokoh politik dalam negeri semisal Jusuf Kalla, Taufik Kiemas, Fahmi Idris, Harmoko, Sudomo, dan sebagainya.
Di kelompok lain ada beberapa kerabat Pak Harto, tapi yang paling menarik adalah kisah-kisah yang dituturkan oleh orang-orang kecil yang secara matematis agak mustahil punya relasi dengan sosok sebesar Soeharto. Tapi, nasib memang bukan matematika. Mari kita simak kisah Munari Ari.
Sebagai pengamen di sekitar Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, pada pertengahan 1980-an, Munari Ari punya kebiasaan unik. Tiap Rabu dan Jumat, saat iring-iringan Presiden Soeharto lewat di depan RSCM menuju lapangan golf Rawamangun, Munari akan berdiri tegap, lalu hormat, di depan iring-iringan tersebut.
Meski terkesan sepele, aksi hormat ini tidak mudah dilakukan. Sebab, sesuai protokoler kepresidenan, tiap kali mobil presiden melintas, jalanan harus dibuat steril. Itulah kenapa Munari sering diusir dan bahkan sempat hendak ditempeleng petugas keamanan saat memberi hormat.
Meski demikian, aksi hormat itu terus-menerus dilakukan Munari dan seorang kawannya yang bernama Herman Obos. Sebulan melakukan hormat di depan mobil Pak Harto, Munari dan Obos merasa iring-iringan presiden itu seringkali melaju pelan ketika melewati dua pengamen tersebut. Di bulan berikut, tiba-tiba mobil berplat nomor RI 1 berhenti di depan keduanya. Jendela belakang mobil terbuka, lalu wajah Pak Harto muncul. Sang presiden pun tersenyum dan mengangguk pada duo pengamen itu. Sejak keajaiban kecil itulah ritual hormat itu seakan menjadi rutin. Para petugas yang mengamankan perjalanan Pak Harto pun terbiasa dan memaklumi.
Kelak, keajaiban kecil itu akan diikuti keajaiban yang lebih besar: Munari Ari akhirnya dipilih Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut, putri sulung Pak Harto, untuk bernyanyi dalam acara ulang tahun peringatan pernikahan Pak Harto dan Ibu Tien. Dari hal yang sepele itulah Munari akhirnya diterima bekerja di PT Citra Lamtorogung Persada, perusahaan milik Mbak Tutut.
Kisah menarik lain menyangkut isu sensitif, yakni meninggalnya Ibu Tien Soeharto pada 28 April 1996. Dalam kesaksian purnawirawan Jenderal Polisi Sutanto, beberapa hari sesudah meninggalnya Ibu Tien, muncul isu bahwa Ibu Tien meninggal gara-gara terkena peluru. Menurut isu itu, terjadi pertengkaran antara dua anak Pak Harto, yakni Bambang Trihatmodjo dan Hutomo Mandala Putra. Keduanya diisukan berebut proyek mobil nasional, sampai kemudian terjadi baku tembak. Salah satu tembakan itulah yang diisukan mengenai Ibu Tien.
Menurut Sutanto, yang kala itu menjadi ajudan Pak Harto, isu tersebut sangat tidak benar. Ia menyatakan, Ibu Tien meninggal karena serangan jantung. Sehari sebelum meninggal, Ibu Tien mengunjungi Taman Wisata Mekarsari. “Agaknya Ibu Tien terlalu asyik dan gembira melihat-lihat banyaknya tanaman yang tengah berbuah. Ibu Tien lupa bahwa sebenarnya beliau tidak boleh berjalan terlalu lama dan jauh,” ujar Sutanto yang kini menjadi Kepala Badan Intelijen Negara ini.
Meski mayoritas berisi kesaksian kerabat dan teman, Pak Harto, The Untold Stories juga berisi kesaksian beberapa orang yang dulu merupakan lawan politik Soeharto. Satu yang menarik adalah cerita Andi Mappateheng Fatwa. Seperti diketahui, Fatwa pernah menjadi salah satu lawan politik pemerintahan Soeharto. Fatwa pernah dipenjara, mengalami percobaan pembunuhan, dan mendapat teror akibat sikap politiknya. Tapi, di buku ini, dengan bijak Fatwa menunjukkan bahwa dia tak selalu membenci Pak Harto.
Dalam memandang Pak Harto, Fatwa teringat kalimat Syarifuddin Prawiranegara: “Dalam berhadapan dengan lawan politik, sebaiknya kita berasumsi bahwa tidak mungkin lawan kita itu sepenuhnya salah dan sebaliknya pihak kita juga tidak mungkin benar sepenuhnya.” Dengan sikap yang rendah hati semacam ini, tentu saja Fatwa dengan mudah akhirnya menghargai Soeharto sebagai pribadi, bukan sebagai penguasa. Itulah yang membuat Fatwa mencium kening Pak Harto saat mantan presiden itu sakit di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada 2007.
Kita memang tak bisa mengharapkan sosok Soeharto digambarkan secara cover both sides dalam buku ini. Porsi buku ini adalah menggambarkan sejumlah kejadian kecil, sebuah petite historie atau sejarah kecil, yang seringkali luput disorot media massa atau penulis biografi. Meski kemudian juga harus dicatat: tak semua kisah dalam buku ini adalah sesuatu yang baru alias untold.
Selain itu, jika kemudian buku ini lebih banyak berisi pujian akan sikap dan karakter Pak Harto, barangkali kita juga mesti memakluminya. Ini memang buku yang sepenuhnya bertujuan mengenang sebuah pribadi—dengan sudut pandang yang subjektif—bukan melakukan analisis atas kepemimpinan Soeharto di Indonesia selama 32 tahun yang dipenuhi kontroversi.
Saya kira, tiap orang berhak punya ingatan tentang Soeharto meskipun ingatan itu tak pernah benar-benar bisa menggambarkan sosok Presiden ke-2 Indonesia itu.
Haris Firdaus
Konon ada survei yang mengatakan Soeharto lebih baik dari SBY, dan hebatnya survei ini dilakukan pas SBY masih memerintah..
memang ada survey itu. digarap Indobarometer, tapi itu hanya pendapat yg subjektif. sebuah masa yang sudah lewat memang biasanya dikenang sebagai lebih baik dan menyenangkan ketimbang masa sekarang, bukan? 😀
ingatan mengenai pak harto, di solo ttg ndalem kalitan. dan pas iring2an jenazah pak harto, orang soloraya berbondong2 nonton menyambut di jalan raya. bahkan jajaran kampus pun ikut. beberapa instansi sengaja membuat waktu rehat utk menghormati
Dulu saya kira setelah jaman orde baru selesai dan berubah ke jaman reformasi kehidupan masyarakat kita bisa jadi lebih baik dari sebelumnya.. tapi ternyata perkiraan saya salah.. di jaman reformasi ini yang kayak jadi makin kaya, dan yang miskin jadi makin miski.. ibaratnya seperti air yang yang di tahan selama puluhan tahun dan akhirnya tutup keran yang tertutup itu terbuka maka air yang di tahan selama puluhan tahun itu mebeludak dan berebut mencari jalannya sendiri.. 😀 seperti itukah reformasi? oh pak Harto… hihi
Saya ingat pak Harto adalah seorang presiden. Yang kami lambaikan bendera ketika lewat didepan sekolah. Saya ingat pak Harto akan laporan khusus di TVRI. Sumpah saya benci acara itu, semua TV harus merelay. Kesalnya sering tiba-tiba dan sering kalau ada pilem seru. Dan kami harus menunggu laporan khusus selesai.
Bukan hanya Munari Ari aja yg hormat ketika pak Harto lewat pada masanya….saya pun melihat acara pemakaman beliau lewat TV….sepontan langsung melakukan hormat jg…