Mama Ina Melawan Usia
Dari atas panggung, Vina Panduwinata mencari anaknya. “Vito di mana ya?” katanya sambil menuruni panggung. Tak menemukan anaknya di barisan depan, Vina terpaksa terus berjalan ke belakang. Ternyata, sang anak, Joedo Harvianto Kartiko, duduk di bagian belakang, di dekat tempat mangkal wartawan. Pelan-pelan musik mengalun, dan sambil menyanyikan lagu Anakku, Vina mendekati Vito, menggandengnya, dan mengajaknya berjalan ke panggung.
Drama ibu-anak itu menghiasi bagian tengah konser “The Emerald Voice of Vina Panduwinata” yang digelar di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Rabu malam, 30 November lalu. Meski terkesan agak maksa, drama itu menarik karena bisa menunjukkan siapa sesungguhnya Vina Panduwinata sekarang: dia seorang ibu dengan anak yang sudah dewasa, bukan lagi wanita muda yang genit dan menggoda. Ya, Vina sekarang sudah 52 tahun dan dia sudah 30 tahun menjadi penyanyi.
Tapi, Vina adalah penyanyi yang hendak melawan usia. Dalam usia kepala lima, dia terus-menerus hendak menunjukkan bahwa masanya belum habis. Tahun lalu, misalnya, Vina merilis album ke-12 yang bertajuk Kekuatan Cinta. Dia juga terus tampil di banyak acara televisi dan konser, dan kadang-kadang muncul dalam tayangan infotainment. Pada 2006, Vina menggelar konser tunggal pertamanya yang bertajuk “Viva Vina” sesudah 25 tahun berkarier di dunia musik.
“The Emerald Voice of Vina Panduwinata” merupakan konser tunggal Vina yang ketiga, setelah “Konser Vina” pada 2008. Dipromotori oleh Hedi Yunus melalui wadah HY Project dan Q+, konser ini didukung sejumlah penyanyi pria, seperti Once, Judika, Andy/rif, Candil, Marcell, dan Hedi Yunus sendiri. Selain diiringi Dian HP Big Band, dalam konser ini Vina juga berkolaborasi dengan beberapa musisi, semisal Baron, Ovy/rif, Yuke, Indobeatbox, Tataloe Percussion, dan Doit Band.
Dibandingkan dua konser tunggal Vina sebelumnya, konser kali ini lebih sederhana, terutama bila dilihat dari tata panggung. Meski begitu, seperti dikatakan dalam buku pengantar konser, pertunjukan ini menjanjikan sesuatu yang berbeda, yakni kolaborasi pemusik lintas generasi dan lintas genre. Vina sendiri dalam konser ini berkali-kali menegaskan universalitas musik. “Malam ini tidak ada Musik A atau Musik B. Musik itu tidak mengenal tua dan muda,” kata penyanyi kelahiran Bogor, 6 Agustus 1959 itu.
Sayangnya, janji manis itu tak terbukti sungguh-sungguh. Memang ada beberapa pemusik yang beda generasi dengan Vina, tapi tak benar-benar merepresentasikan lintas generasi musisi Indonesia. Soal genre, konser ini memang menampilkan sejumlah musisi rock dan nuansa rock pada beberapa lagu, tapi alpa menyuguhkan genre yang dominan di Indonesia: dangdut. Dan, nada dasar konser ini pun tetap tak beranjak dari lagu-lagu Vina yang lembut, mendayu-dayu,dan bertabur cinta.
Vina memang tak bisa keluar dari genre pop yang menjadi zona nyamannya. Dalam konser selama tiga jam itu, ia hanya tercatat beberapa kali meninggalkan pop, seperti saat menyanyikan Apa Kabar dengan aransemen ala jazz. Terobosan menarik sebenarnya terjadi ketika Vina menyanyikan Wow dengan aransemen rock, berkolaborasi dengan Baron, Ovy, Yuke, dan Marcell (yang menggebuk drum). Sayangnya, Vina tak berani menyanyikan utuh lagu ini. Sesudah separo lagu, ia menghilang ke belakang panggung dan Candil mengambil alih perannya sebagai vokalis.
Yang menarik dari konser ini adalah kesan bahwa Vina adalah penyanyi berumur yang terus berhasrat menjadi muda. Usianya memang sudah setengah abad, tapi di atas panggung, ia bisa menjelma menjadi sosok yang jauh lebih muda. Saat melantunkan Surat Cinta, misalnya, Vina bukan lagi ibu-ibu separo baya yang biasa dipanggil dengan sebutan Mama Ina. Dia menjelma menjadi gadis remaja pemalu yang berdebar-debar saat menbaca surat cinta pertamanya.
Ketika menyanyikan Di Dadaku Ada Kamu, Vina adalah wanita muda yang genit dan suka menggoda. Lagu ini dipopulerkan Vina melalui album ketiganya yang bertajuk Citra Ceria (1984). Dalam perjalanan karier Vina, Citra Ceria menarik dicatat karena album ini berupaya menguatkan citra Vina sebagai penyanyi yang sensual dan seksi. Cover album ini berisi foto Vina mengenakan pakaian senam merah keunguan dan biru bintang-bintang dengan pose yang sangat menggoda dan sulit dipercaya: nungging.
Dalam album pertamanya yang bertajuk Citra Biru (1981), citra seksi Vina belum ditonjolkan. Cover album ini hanya berisi foto setengah badan Vina dengan tatapan mata tajam dan bibir terkunci tanpa senyum—sebuah pose yang konon dalam ukuran masa itu termasuk kategori anggun. Di album kedua, terjadi perubahan cukup signifikan dalam konsep cover-nya. Sampul album Citra Pesona (1982) berisi foto setengah badan Vina yang sedang berendam di kolam. Rambutnya basah. Di bagian atas tubuhnya, Vina tidak mengenakan pakaian apa-apa.
Bertahun-tahun kemudian, meski sudah beranjak tua, Si Burung Camar ini tampaknya tidak pernah benar-benar ingin meninggalkan kesan seksinya. Kita terus melihat Vina dengan gaun-gaun ketat berbelahan dada rendah. Dan, dalam “The Emerald Voice of Vina Panduwinata”, sang mama tetap berupaya tampil menggoda. Berkali-kali ia menggoda Marcell, Once, atau bahkan Hedi Yunus di panggung, juga mencium pipi penyanyi-penyanyi ganteng itu. “Cewek-cewek nggak boleh iri ya,” kata Vina pada penonton.
Puncak kegenitan Vina adalah saat ia menyanyikan Di Dadaku Ada Kamu. Di panggung saat itu ada Judika, Andy/rif, Candil, Marcell, dan Hedi Yunus. Secara bergantian, Vina berdekat-dekatan dengan lima pria itu, sambil menyanyikan lirik nakal yang penuh desahan. Tentu saja, semua kegenitan ini adalah sebuah drama yang ditujukan buat memeriahkan suasana. Orang yang bertanggung jawab atas skenario ini adalah Ari Tulang yang berperan sebagai show and artist director.
Peran Ari dalam pertunjukan ini memang sentral. Sebab, drama-drama hasil arahannya sangat menghidupkan suasana. Dengan 43 lagu, tidak mudah memang menjaga suasana konser tetap menyenangkan sehingga penonton tetap betah dan tidak mengantuk. Apalagi, lagu-lagu Vina kebanyakan juga itu-itu saja, dengan aransemen yang tak banyak berubah.
Haris Firdaus
terlepas dari kelemabahan yang ada, konser vina tetap bisa jadi bukti kalau dia termasuk penyanyi yang konsisten pada jalurnya, tidak seperti penyanyi kebanyakan yang (nyaris) tak berkarakter. saya termasuk orang yang menyukai lagu2 mama ina.
Pers yang mengelarinya Si Burung Camar, Vina Panduwinata, artis yang bahagia menikmati keibuannya, itu memang menjadi ikon penyanyi pop era 1980-an…
sangat menarik
artis tua yang bercita-cita menjadi muda.haha
seiman yang luar biasa. vina ternyata pengen membuktikan dia bisa mewarnai sejarah musik indonesia. salut. ini harus diikuti ama penyanyi2 muda untuk terus berkarya