Samuel
Dalam pembicaraan mengenai novel Amba karya Laksmi Pamuntjak, orang sering hanya menyebut cinta segitiga di antara Amba, Salwa, dan Bhisma, seolah-olah segala hal ihwal cinta di buku itu hanya menyangkut ketiganya. Padahal, mereka yang sudah membaca Amba tahu: kisah asmara dalam novel itu jauh lebih rumit daripada sekadar cinta segitiga.
Setidaknya, ada dua lelaki selain Salwa dan Bhisma yang hadir dalam hidup Amba. Yang pertama adalah Adalhard Eilers, seorang ekonom lulusan Amerika Serikat yang melakukan penelitian di Indonesia, lalu menikahi Amba. Yang kedua bernama Samuel Lawerissa, pria asal Ambon yang tak sengaja bertemu Amba dalam perjalanan ke Pulau Buru.
Entah kenapa, sejak mulai membaca Amba, saya justru lebih tertarik pada sosok Samuel daripada Bhisma, apalagi Salwa. Dibandingkan kisah cinta Amba dengan Bhisma, momen-momen pertemuan Amba dengan Samuel justru lebih banyak menghadirkan dilema.
Kisah asmara Salwa-Amba-Bhisma, bagaimanapun kuatnya, pada akhirnya toh hanya semacam pengulangan dari fragmen Mahabharata yang bisa kita tahu ending-nya sejak mula. Bahkan sebelum membaca novel ini, kita juga bisa menebak bahwa Amba akan bertemu Salwa dan menjalin cinta, tapi kemudian Bhisma hadir untuk merusak semuanya. Sejak mula kita juga paham bahwa Amba ditakdirkan untuk tidak menikah dengan keduanya.
Sementara itu, hubungan Amba dengan Samuel berlangsung dalam situasi yang rumit, susah dipahami, dan tak bisa ditebak akhirnya. Mereka yang telah membaca Amba tahu bahwa Samuel diam-diam mencintai Amba, dan rela melakukan banyak hal demi perempuan itu, meskipun samar-samar terlihat bahwa cinta itu bertepuk sebelah tangan.
Perasaan Samuel ke Amba merupakan sesuatu yang dipenuhi kerumitan sejak mula, sebab Samuel lebih muda 15-20 tahun daripada wanita yang dipujanya itu. Tentu saja, lelaki yang mencintai wanita yang berumur lebih tua itu banyak, bukan hanya Samuel, tapi yang ingin saya katakan adalah bahwa cinta semacam itu setidaknya pasti dipenuhi banyak kerumitan.
Hal rumit lainnya adalah bahwa Samuel bertemu Amba ketika perempuan itu sedang mencari kabar ihwal kekasih sejatinya—yang jauh lebih dicintainya daripada suaminya sendiri. Dan dalam kondisi itu, Samuel memilih masuk ke dalam kerumitan lain, yakni dengan membantu Amba mencari Bhisma.
Semua lelaki normal yang mencintai seorang perempuan tentu akan menjauhkan si perempuan dengan lelaki lain, sebab dengan begitu ia bisa merebut hati perempuan itu. Tapi dalam kasus Samuel, ia tahu bahwa hati Amba telah tertambat pada Bhisma, dan tak ada yang bisa dilakukannya untuk mengubah itu.
Maka, seperti seorang pecinta yang kalah, Samuel membantu Amba menemukan kekasihnya supaya perempuan itu berbahagia, dengan alasan yang teramat klise: sebab kebahagiaan Amba adalah kebahagiannya juga. Model kisah soal pecinta yang mengalah demi kebahagiaan orang yang dicintainya semacam ini sudah banyak sebenarnya, tapi dalam Amba, cerita macam ini hadir dalam bentuk yang baik.
Salah satu bagian terbaik dari novel itu, menurut saya, adalah ketika Samuel tiba-tiba merengkuh Amba ke dalam pelukannya. Kejadian itu mengagetkan, sebab betapapun besarnya perasaan Samuel, kita sejak awal tahu bahwa lelaki itu berupaya menahan perasaannya sendiri. Tapi, pada akhirnya, perasaan memang selalu menjumpai celah untuk keluar dan menampakkan diri karena pada momen tertentu, ia tak selalu bisa ditahan dan ditekan.
Setelah pelukan yang tiba-tiba itu, Samuel merasa malu, mungkin karena ia merasa telah melampaui batas. Atau, mungkin saja dia takut karena Amba akhirnya tahu bantuan yang diberikannya bukan sesuatu yang “tulus”. Tapi, seperti bisa kita baca dalam bagian soal pelukan itu, Amba ternyata tak melawan saat Samuel merengkuhnya. Pelukan itu justru dilepaskan oleh Samuel sendiri karena rasa malu, juga kesadaran bahwa semua cinta yang ada di hati Amba sudah terkuras untuk Bhisma.
Di bagian akhir novel, kita tahu bahwa Samuel kelihatannya sudah bisa meredakan perasaannya pada Amba, mungkin karena ia sadar bahwa kasih tak sampai semacam itu tak layak dipertahankan. Saya kira, dalam hal ini, Samuel bersikap pragmatis, berbeda dengan Amba yang terus-menerus mempertahankan cintanya pada Bhisma meskipun perasaan itu toh tak menghasilkan apa-apa.
Dalam hal cinta, para penulis memang sering berlebih-lebihan. Mereka menggambarkan cinta sebagai sesuatu yang bisa bertahan begitu lama—atau malah jadi abadi—meskipun perasaan itu tak memiliki fungsi praktis apa-apa. Itulah yang terjadi pada Amba. Ia menikahi Adalhard, dan mengambil banyak keuntungan dari pernikahan itu, tapi toh perasaannya tetap terikat pada Bhisma meskipun hubungannya dengan lelaki itu pada akhirnya tak membawa manfaat apa-apa.
Tentu saja, orang bisa mengatakan bahwa cinta seringkali tidak rasional, tapi benarkah cinta yang tidak rasional itu bisa—atau layak—bertahan selamanya?
Komentar