Berdansa Bersama Para Dosen
Hujan deras mengguyur Yogyakarta sore itu. Mendung menghadirkan suasana gelap dan hawa dingin menyergap semua sudut kota. Namun, di sebuah ruangan di kompleks Universitas Gadjah Mada, kehangatan terpancar saat Trisye dan teman-temannya menari dengan riang.
Dari ruangan itu, Lagu Bengawan Solo ciptaan almarhum Gesang mengalun, memecah suara hujan lebat di luar. Trisye dan empat temannya bergerak cekatan mengikuti irama lagu. Kaki-kaki mereka bergerak serempak, mundur satu langkah, bergeser ke kiri, lalu maju kembali.
Dua tangan Trisye berkali-kali meliuk, seolah ingin menggambarkan aliran air Sungai Bengawan Solo yang legendaris itu. Pada beberapa kesempatan, kaki perempuan itu disepakkan dengan lembut ke depan dan pinggulnya sedikit berputar. “Sesuai judul lagunya, tarian ini diberi nama Bengawan Solo,” kata Trisye di sela-sela jeda menari.
Meski terlihat fasih menari, Trisye, yang memiliki nama lengkap Endang Sutriswati Rahayu, bukan penari profesional. Sehari-hari, dia adalah Dosen Program Studi Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM). “Menari itu hanya hobi,” kata perempuan berusia 61 tahun itu sambil tersenyum.
Trisye adalah anggota Pandhemen Dansa dan Musik (Padamu) UGM, sebuah kelompok beranggotakan dosen dan karyawan UGM yang gemar bermain musik dan tari. Selasa sore, 13 Januari lalu, bersama sekitar 10 anggota Padamu UGM, Trisye menjalani latihan rutin di sebuah ruangan di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM. Sebagian dari mereka berlatih menari, sementara yang lain memainkan musik untuk mengiringi.
Ketua Padamu UGM Saiful Rochdyanto mengisahkan, kelompok itu mulai terbentuk pada pertengahan tahun 2009. Mulanya, sejumlah dosen UGM yang gemar bermain musik berinisiatif membentuk sebuah kelompok untuk menyalurkan hobi mereka secara bersama-sama. Para dosen itu lalu bergotong-royong menyediakan peralatan.
“Ada teman yang bawa keyboard untuk main musik bareng-bareng, lalu saya bawa sound system. Modal awal kami ya cuma dua itu,” kata Saiful yang mengajar di Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Soal tempat latihan, para dosen itu mendapat pinjaman ruang di PKKH UGM karena ada anggota Padamu UGM yang menjadi pengurus di pusat kebudayaan tersebut.
Berawal dari kelompok kecil yang menggunakan peralatan pinjaman, Padamu UGM mulai menjaring banyak anggota baru. Melalui mailing list dosen UGM, para anggota kelompok itu menyebarkan ajakan untuk bermain musik bersama-sama. “Pada akhir tahun 2009, UGM membeli peralatan band yang bisa kami pakai untuk latihan. Jadi kami tak perlu ngangkut alat-alat dari rumah kalau mau latihan,” ujar Saiful yang sejak lama menggemari musik.
Sejak saat itu, Padamu UGM memiliki peralatan lengkap untuk bermain musik yang terdiri dari gitar dan bas elektrik, keyboard, dan satu set drum. Di tengah perjalanan kelompok itu, muncul ide dari Dosen Fakultas Pertanian UGM, Ken Suratiyah, untuk memadukan kegiatan musik itu dengan latihan dansa atau tari.
“Bu Ken itu ahli menari, lalu dia usul agar ada latihan menari juga di kelompok kami. Maka sejak akhir 2009, kelompok ini aktif berlatih musik dan tari,” ujar Saiful yang kini berusia 61 tahun.
***
Meskipun nama kelompoknya memakai kata “dansa”, para anggota Padamu UGM tak berlatih dansa berpasangan seperti yang dipraktikkan di negara-negara Eropa dan Amerika. Jenis tari yang mereka praktikkan adalah line dance atau tari baris, yakni sejenis tarian berkelompok di mana orang-orang berdiri dalam barisan lalu menari bersama-sama.
Di Indonesia, ada sejumlah jenis line dance yang cukup populer, misalnya poco poco dan cha cha. “Goyang Caesar yang beberapa waktu lalu populer di Indonesia itu juga bisa dimasukkan sebagai line dance,” kata Saiful. Dia menambahkan, para dosen UGM tak memilih dansa berpasangan karena tidak semua orang Indonesia nyaman mempraktikkan tarian yang mengharuskan sentuhan anggota badan.
Menurut Saiful, ada 13 jenis line dance yang biasa dimainkan oleh anggota Padamu UGM, misalnya cha cha dan jive. Ada pula tarian yang penyebutannya berdasarkan jenis musik yang mengiringi, misalnya dangdut, campur sari, country, dan disko. “Rangkaian gerakan tiap jenis tari itu awalnya diajarkan oleh Bu Ken Suratiyah. Supaya bisa menari dengan pas, masing-masing dari kami harus hafal,” kata dia.
Padamu UGM kerap diminta tampil dalam berbagai acara di kampus, termasuk dalam perayaan Dies Natalis UGM yang diselenggarakan setiap tahun. Awal Januari lalu, Padamu UGM juga tampil dalam perayaan 50 tahun Fakultas Psikologi UGM.
Dalam berbagai acara tersebut, kelompok itu biasa menampilkan tarian diiringi musik. “Yang main musik pengiring juga anggota Padamu UGM sendiri. Selain acara di kampus, kadang kami juga main di acara yang diadakan dosen UGM, misalnya pernikahan atau perayaan ulang tahun,” tutur Saiful.
***
Saiful menuturkan, Padamu UGM kini memiliki anggota 50 orang, meski yang aktif datang latihan dan pentas hanya sekitar 20 orang. Kebanyakan anggota berusia lebih dari 50 tahun dan sebagian dari mereka adalah guru besar atau pejabat struktural di UGM, misalnya dekan dan wakil rektor.
Walaupun begitu, menurut Saiful, para anggota kelompok itu tak malu jika harus diminta tampil untuk menari di hadapan banyak orang, termasuk para mahasiswa. Di panggung pertunjukan, saat musik mulai dimainkan, para dosen itu seolah menanggalkan deretan gelar, jabatan, dan tumpukan pengetahuan yang mereka miliki, lalu menjelma menjadi seorang seniman.
“Kalau musik sudah dimainkan, kaki dan badan saya rasanya otomatis pengen nari. Enggak ada rasa sungkan,” kata Trisye yang merupakan Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM.
Trisye menuturkan, aktivitas menari itu sangat bermanfaat untuk menjaga kesehatan. “Dulu pas muda, saya aktif tenis meja dan voli, tapi sekarang kan sudah tua. Jadi menjaga kesehatannya dengan dansa begini,” ujarnya. Aktivitas menari itu juga menjadi sarana refreshing bagi para dosen setelah lelah mengajar dan melakukan penelitian.
“Dengan aktif menari bersama-sama seperti itu, rasanya saya jadi tetap muda,” kata Trisye yang kini sudah memiliki seorang cucu itu sambil tertawa.
Versi lain tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas tanggal 1 Februari 2015
Blog nya menarik ni buat dibaca….