Ikan-ikan Marko Jaelani
Pada hari ketigabelas bekerja di kantor kami, Marko Jaelani membuat keributan dengan menangis terisak-isak di kubikelnya yang bersih, rapi, dan agak tersembunyi. Waktu itu Senin malam, dan kebanyakan pekerja di bagian redaksi majalah kami sedang menyelesaikan deadline mingguan mereka yang paling mencekik. Aku sedang berada di kubikelku, mengerjakan sebuah laporan hukum yang agak panjang, ditemani kopi susu dan keripik singkong yang kubeli siang tadi di warung kaki lima dekat kantor.
Dua buah televisi di ruang redaksi sedang menyala, sebagaimana biasanya begitu sepanjang hari, yang satu menayangkan talkshow politik dari sebuah televisi berita, sementara satunya lagi menayangkan liputan berlabel investigasi dari televisi berita lainnya. Dua televisi itu disetel dalam volume sedang, masih cukup bisa didengar oleh kebanyakan orang redaksi di ruangan ini kecuali mereka yang berada di paling ujung dekat dapur, tapi juga tak cukup berisik sehingga tak mengganggu para reporter yang sedang menulis laporan atau para redaktur yang tengah mengedit berita dengan gerutuan yang terus-menerus muncul dari mulut tajam mereka.
Ini adalah jam-jam yang sangat sibuk, sebab sebelum tengah malam semua laporan dari reporter harus sudah disetor, dan sebelum pukul 7 pagi esok harinya, seluruh tulisan utuh yang dijahit para redaktur mesti telah selesai. Aku ingat pada pekan itu majalah kami berencana menurunkan laporan mendalam mengenai kasus korupsi yang melibatkan anggota parlemen yang berasal dari partai politik agak besar, dan kebanyakan reporter, termasuk aku, diterjunkan meliput soal ini. Kami semua tegang, tentu saja, sebab tugas ini berat dan rumit, sementara waktu yang diberikan tak banyak.
Dengan semua faktor itu, aku cukup memahami kenapa kebanyakan orang di kantor kami agak terlambat menyadari peristiwa yang terjadi di kubikel Marko Jaelani. Yang paling pertama menyadari hal itu adalah Mirna, seorang reporter baru, yang kebetulan hendak mengambil air minum di dapur dan melewati kubikel Marko Jaelani. Berdasarkan pengakuannya padaku, awalnya Mirna tak tahu Marko Jaelani sedang menangis, sebab yang ia lihat cuma kepala Marko yang tergeletak lemas di mejanya. “Kupikir dia tidur. Atau malah mati,” katanya.
Waktu itu, menurut Mirna, Marko Jaelani menangis tanpa suara. Saat menuju dapur, Mirna sempat berhenti sebentar di dekat kubikel Marko, dan pada saat itulah Marko Jaelani mengangkat mukanya sehingga pandangan mereka bertemu. Ketika hal itu terjadi, yang pertama kali dilihat Mirna adalah pipi gemuk Marko Jaelani yang penuh air dan lubang hidungnya yang basah, sementara, pada sisi yang lain sama sekali, yang paling awal dilihat Marko Jaelani adalah mata Mirna yang menurutnya waktu itu bercahaya. “Dia seperti bidadari,” kata Marko Jaelani berapi-api padaku beberapa hari sesudah peristiwa itu.
Pertemuan itu terjadi hanya sebentar, dan seolah-olah tak terjadi apa-apa, Mirna kembali berjalan ke dapur, mengambil air minum, lalu kembali ke mejanya. Dia tak mengatakan kepada siapapun bahwa Marko Jaelani menangis di kubikelnya, tapi berdasar sejumlah informasi yang kukumpulkan, tak diragukan bahwa ia adalah saksi mata pertama kejadian yang menghebohkan kantor kami itu. Sekitar lima menit sesudah Mirna kembali ke kubikelnya, Marko Jaelani mulai menangis dengan suara, dan inilah awal mula kejadian menghebohkan itu.
Suara tangisannya mula-mula pelan, tapi kemudian volumenya terus bertambah mencapai taraf maksimal, sehingga teriakan para pengacara yang sedang berdebat dalam talkshow politik yang disiarkan televisi di ruang redaksi menjadi tak berarti apa-apa. Seorang teman reporter mengatakan saat pertama mendengar tangisan Marko Jaelani, seluruh bulu kuduknya tiba-tiba meremang karena ia yakin sedang mendengar tangis hantu penasaran. Tapi ketika yakin bahwa orang-orang di sekitarnya juga mendengar suara tangisan itu, ia menjadi tenang dan kemudian segera bergabung dengan kerumunan yang terbentuk di depan kubikel Marko Jaelani.
“Siapa dia?” tanya seseorang di kerumunan itu.
“Editor bahasa yang baru,” jawab seorang lainnya.
“Kenapa dia menangis?”
“Patah hati.”
Aku termasuk yang paling akhir bergabung dengan kerumunan dan saat sampai di sana, Marko Jaelani, seolah tak peduli dengan orang-orang yang menatapnya dengan perasaan heran, kasihan, dan senang karena mendapat hiburan pada jam-jam yang seharusnya menegangkan, masih terus menangis meskipun suaranya perlahan-lahan mulai memelan. Huru-hara ini baru selesai ketika pemimpin redaksi kami datang, lalu dengan tegas dan tanpa kata-kata ia meminta Marko Jaelani masuk ke ruangannya.
Keesokan harinya, kami tahu Marko Jaelani mendapatkan surat peringatan dengan alasan telah menangis di kantor pada hari deadline.
***
Marko Jaelani suka mengibaratkan perempuan sebagai ikan. Aku tidak tahu kenapa, tapi ini sebenarnya bahasa isyarat, semacam kode, yang ia gunakan secara terus-menerus dan konsisten untuk menyamarkan pengintaiannya pada sejumlah perempuan di kantor kami. Ada beberapa yang diincarnya secara sekaligus, kebanyakan berada di desk redaksi, tapi ada juga satu di bagian sirkulasi.
Seorang teman memberitahuku bahwa Marko Jaelani selalu menggunakan kata “ikan” saat menyebut mereka di Facebook. Salah satu contohnya, ketika para reporter perempuan itu tiba di kantor sesudah liputan, ia menulis status Facebook “ikan-ikan sudah datang”, sementara pada kali lain ketika mereka sedang tak berada di kantor, dia secara metaforis akan menulis “wah kering nih”. Selera estetiknya, kuakui, tidak terlalu buruk. Dan di luar nafsunya untuk memburu perempuan-perempuan sampai salah satu di antara mereka mau jadian dengannya, ia sebenarnya teman yang mengasyikkan.
Sebelum bekerja di kantor kami, dia pernah bekerja di sebuah penerbit buku-buku sejarah, di bagian khusus yang menangani buku ihwal masa lalu Jakarta, sebuah pengalaman yang membuatnya sangat memahami sejarah ibukota. Dia bisa menerangkan dengan detail semua bangunan di Kota Tua, termasuk sungainya yang kini kotor, juga pelbagai patung-patung besar yang menjadi penanda Jakarta, dari patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, dan tentu saja Patung Dirgantara di Pancoran yang hanya beberapa kilometer dari kantor kami.
“Kamu tahu, ada legenda yang mengatakan bahwa pada malam hari, patung Pancoran akan turun dari singgasananya yang tinggi dan megah itu untuk berjalan-jalan,” katanya padaku suatu kali.
“Untuk apa dia turun?”
“Entahlah,” ujar Marko Jaelani. “Mungkin dia kesepian. Seperti aku.”
Aku ingin tertawa mendengar kalimat itu, tapi karena takut menyinggung perasaan Marko yang sedang melankolis, aku mengurungkannya. Marko Jaelani sama sekali tidak mirip dengan patung Pancoran, terutama karena postur keduanya yang jauh berbeda. Patung Dirgantara, sesuai namanya, memiliki postur tinggi, tegap, dan atletis, sementara tubuh Marko agak bulat dan sedikit pendek. Ia memiliki rambut bergelombang yang sukar ditata tapi tetap dipaksanya untuk dibelah tengah.
“Kamu tahu,” kata Marko, “kesepian itu menyiksa. Dan aku bukan orang yang tahan disiksa dengan cara itu.”
Aku kembali ingin tertawa tapi lagi-lagi urung karena menyadari ia benar. Aku juga pernah kesepian, dan rasanya memang tidak enak.
“Itulah kenapa aku mengejar ‘ikan-ikan’ itu,” katanya. “Mereka membuatku tidak kesepian.”
“Tapi apa tidak terlalu cepat untuk mendekati wanita lain, Marko? Kamu baru putus dengan pacarmu minggu lalu.”
“Untuk mengejar kebahagiaan, tak ada kata terlalu cepat.”
Aku merenungkan ucapan itu sejenak, dan beberapa hari kemudian, aku tahu bahwa Marko sangat serius dengan ucapannya. Dia mulai mendekati “ikan-ikan” itu, satu per satu tentu saja, dan secara telaten mulai mencoba ngobrol dan berada dekat-dekat mereka. Marko memulai dengan Mirna, cewek kurus dengan rambut lurus yang menurutnya memiliki mata bercahaya dan perangai yang agak tak biasa.
“Mirna itu piranha. Atau malah hiu. Dia cantik, menarik, pintar, tapi pemangsa yang tangguh. Jika tak hati-hati, kau akan keok sebelum bertanding,” kata Marko.
“Dia sudah punya pacar,” kataku mencoba mengingatkan, tapi Marko sama sekali tak menganggap itu sebagai hambatan. Akhirnya Mirna memang membuat Marko keok, secara sangat telak. Berdasarkan bisik-bisik teman sekantor, Mirna telah mengeluarkan kalimat penolakan sesaat sesudah Marko mengucapkan rayuan pertamanya dan ini membuat Marko hampir putus asa.
“Dia benar-benar hiu, ya,” ujarku mencoba bercanda.
“Lebih parah daripada itu,” jawab Marko, “dia anakonda. Sadis.”
Marko kelihatan sedih kala itu, tapi beberapa hari kemudian ia sepertinya telah melupakannya. Seperti pemancing yang gagal mendapat buruan, ia tak kapok dan justru merasa tertantang. Namun, sadar tak mungkin menangkap anakonda, Marko mencoba sasaran lain: lumba-lumba.
Dua bulan kemudian, aku membaca status Facebooknya yang berbunyi, “Tak berjodoh dengan lumba-lumba” dan karena beberapa hari sesudahnya aku pindah kerja ke kantor lain, aku tak tahu apakah Marko segera mengejar ikan-ikan yang lain atau tidak. Yang aku tahu, sekitar dua tahun setelahnya, Marko menikah dengan seorang perempuan yang dia juluki sebagai “tuna”.
“Yang dibutuhkan untuk menangkap ikan ternyata bukan keberanian dan hasrat yang bergelora, melainkan ketekunan, kesabaran, dan sikap tahu diri yang cukup besar,” tulis Marko di akun Facebooknya, sehari sebelum ia menikahi si “tuna”.
NB: Ilustrasi diambil dari sini.
Cerita nya menarik sekali….