Yang Gaib dalam Takhta Yogyakarta
Suatu siang pada Oktober 1939, Gusti Raden Mas Dorodjatun tiba di Yogyakarta setelah menempuh perjalanan menggunakan kereta api dari Jakarta. Dia ikut dalam sebuah rombongan bersama ayahnya, Sultan Hamengku Buwono VIII, dan beberapa saudara. Waktu itu musim kemarau dan cuaca sedang sangat cerah, tetapi tiba-tiba petir yang keras menyambar di langit Yogyakarta.
Sosiolog Selo Soemardjan mengisahkan petir yang menyambar di tengah kemarau itu pada bagian awal disertasinya yang termasyhur, Perubahan Sosial di Yogyakarta, dan menyebut bahwa masyarakat Yogyakarta kala itu menganggapnya sebagai sebuah pertanda. “Gejala alam ini memberikan kesan yang mendalam pada rakyat Yogyakarta. Maka, mereka percaya bahwa putera mahkota muda itu niscaya dikaruniai kecakapan istimewa,” kata Soemardjan.
Beberapa hari sebelumnya, GRM Dorodjatun menerima Keris Kiai Joko Piturun dari sang ayah di Hotel Des Indes, Jakarta. Penyerahan keris pusaka Keraton Yogyakarta itu menandakan bahwa Sultan HB VIII ingin mengangkat Dorodjatun sebagai putra mahkota dan kelak menggantikan posisinya sebagai Raja Keraton Yogyakarta. Dan, seperti kemudian dicatat banyak sejarawan, Sultan HB VIII jatuh pingsan di atas kereta api dalam perjalanan Jakarta-Yogyakarta, lalu wafat sehari kemudian.
Dorodjatun kemudian naik takhta, sesudah perundingan yang berbelit-belit dengan pemerintah Hindia Belanda. Saya tak tahu apakah masyarakat Yogyakarta masa kini masih mengingat ihwal petir yang menyambar itu, tetapi pada 1939, gejala alam tersebut dipercaya sebagai salah satu hal gaib yang menandai perjalanan Dorodjatun sebagai Sultan HB IX. Namun, petir itu bukanlah satu-satunya kejadian mistis yang melingkupi Sultan HB IX.
Dalam buku Takhta untuk Rakyat yang merupakan biografi HB IX, ada satu bab khusus yang mengisahkan hal-hal gaib dalam kehidupan sang raja yang semasa kecil dipanggil Henkie itu. Yang paling masyhur tentu saja adalah “bisikan gaib” saat Dorodjatun berunding dengan wakil pemerintah Hindia Belanda yang menjabat sebagai Gubernur Yogyakarta, Lucien Adam, sebelum dia menduduki takhta sebagai raja. Waktu itu, pengangkatan raja di Yogyakarta memang harus disetujui pemerintah Hindia Belanda dan didahului sebuah kontrak politik.
Perundingan Dorodjatun dan Lucien Adam berlangsung alot karena sang putra mahkota berupaya mendapatkan kekuasaan yang lebih besar. Namun, sesudah berunding selama empat bulan, tiba-tiba Dorodjatun menandatangani kontrak itu dan mengabaikan semua tuntutan yang sebelumnya ia sampaikan pada Belanda. Konon, sikap itu diambil karena Dorodjatun mendapat bisikan gaib dalam bahasa Jawa yang berbunyi:
Tole tekena wae, landa bakal lunga saka bumi kene.
Bisikan itu kira-kira berarti, “Nak, tanda tangani saja, Belanda akan pergi dari tanah ini.” Suara gaib tersebut didengar Dorodjatun pada suatu senja di akhir Februari 1940 dan malam itu pula sang pangeran menandatangani kontrak politik dengan Belanda. Sekitar dua tahun kemudian, kita semua tahu, Belanda akhirnya diusir dari Indonesia oleh Jepang dan tiga tahun setelahnya Indonesia merdeka.
Konon, bisikan gaib itu terdengar diucapkan oleh seorang pria dan kemudian banyak yang menafsir bahwa suara tersebut berasal dari leluhur Dorodjatun. Kita bisa memperdebatkan apakah bisikan itu benar-benar ada, sebab bahkan Sultan HB IX tak yakin tentang hal tersebut. “Bisikan tersebut tak saya ketahui apakah datang dari luar atau dari dalam diri saya sendiri akibat tekanan batin yang amat berat,” kata sang sultan dalam sebuah wawancara di buku Takhta untuk Rakyat.
Namun, kebenaran faktual soal bisikan gaib itu mungkin tak terlalu penting karena pada akhirnya kisah mistik menyangkut seorang penguasa kerap dijadikan sebagai alat legitimasi. Bisikan gaib itu jelas menjadi pembenar terhadap keputusan Dorodjatun “berkompromi” dengan Belanda, tetapi sebenarnya hal-hal mistik macam itu tak bisa dijadikan satu-satunya alat legitimasi.
Di kemudian hari, keputusan Dorodjatun menandatangani kontrak politik dengan Belanda dianggap tepat—atau setidaknya bisa dipahami—karena memang kekuasaan bangsa penjajah itu berakhir dalam waktu relatif singkat sesudah HB IX naik takhta. Seandainya kekuasaan Belanda ternyata masih bertahan lama di Indonesia, mungkin keputusan Dorodjatun untuk “berkompromi” akan dianggap kurang tepat dan kisah soal bisikan gaib itu pun tak akan bisa mendatangkan legitimasi bagi kekuasaannya.
Yang juga perlu diingat adalah bahwa Sultan HB IX dikenang sebagai pemimpin yang mumpuni bukan karena hal-hal gaib di sekitarnya, melainkan karena keputusan dan sikapnya sebagai penguasa dianggap bijaksana. Keputusan HB IX memasukkan Yogyakarta menjadi bagian dari Indonesia, kebijakannya mendistribusikan kekuasaan dengan menggelar pemilu tahun 1951 di wilayah kekuasaannya, juga sikapnya yang merakyat dan sederhana, semua itulah yang menjadikan dirinya dikenang sebagai raja yang membaktikan kekuasaannya dengan baik.
Kisah-kisah gaib itu mungkin saja memiliki peran dalam melegitimasi kekuasaan HB IX, tetapi hal mistis macam itu tak akan berarti apa-apa jika sang raja tak menjalankan kekuasaannya dengan baik.
***
Saya teringat kisah Dorodjatun itu ketika menyaksikan ontran-ontran di Keraton Yogyakarta saat ini, menyusul keluarnya sabda raja dan dhawuh raja oleh Sultan Hamengku Bawono X. Isi sabda dan dhawuh itu menyangkut pergantian gelar Raja Keraton Yogyakarta dan pemberian gelar baru untuk putri pertama sang sultan, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun.
Sesuai dengan sabda raja itu, nama Sultan HB X berubah menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati Ing Ngalaga Langgenging Bawono Langgeng Langgenging Tata Panatagama.
Sebelumnya, nama lengkap Sultan HB X adalah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sadasa Ing Ngayogyakarto Hadiningrat.
Adapun melalui dhawuh raja, Sultan HB X memberi gelar baru untuk GKR Pembayun, yakni Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram. Pemberian gelar baru itu adalah isyarat bahwa GKR Mangkubumi diangkat sebagai putri mahkota meski Sultan HB X enggan mengakui hal itu secara eksplisit.
Yang menarik, alih-alih memberi alasan yang rasional, Sultan HB X justru menyatakan sabda dan dhawuh itu merupakan perintah dari Gusti Allah melalui para leluhurnya. Sultan memang memberi penjelasan tentang perubahan nama dari Buwono menjadi Bawono dan beberapa hal lain, tetapi penjelasan itu pun disebutnya berasal dari sang leluhur.
“Yang pertama, Bapak meyakini tidak apa yang saya katakan itu kebenaran. Kalau tidak, ya percuma. Yang kedua, kalau apa yang saya katakan itu Bapak yakini kebenarannya, saya yakin Gusti Allah akan ikut melindungi dan menenteramkan masyarakat di Yogya,” kata Sultan HB X saat menjawab pertanyaan seorang warga ihwal sabda raja.
Dengan menyebut sabda dan dhawuh itu sebagai perintah Tuhan, Sultan HB X menutup pintu perdebatan ihwal substansi sabda yang disampaikannya. Persoalannya kemudian disederhanakan menjadi sekadar percaya atau tidak.
Dengan kondisi itu, kita sulit menyebut pengangkatan GKR Mangkubumi sebagai putri mahkota merupakan cermin kesetaraan gender dan keterbukaan Keraton Yogyakarta. Sebab, dalam konstruksi berpikir sang raja, pergantian gelar GKR Mangkubumi adalah titah Tuhan yang mesti dijalankan dan tak ada kaitannya dengan persamaan gender dan perubahan zaman.
Pemakaian nalar mistis itu mungkin agak mengejutkan karena Sultan HB X hidup pada masa yang jauh berbeda dengan para leluhurnya sehingga masyarakat Yogyakarta masa kini tak akan mudah direbut hatinya dengan alasan gaib semacam itu. Akan tetapi, mengingat rekam jejak Kerajaan Mataram yang penuh mistisime, pemakaian nalar mistis itu juga bisa dipahami.
Meski begitu, seperti yang terjadi pada masa Sultan HB IX, harus diingat bahwa hal-hal gaib tersebut bukanlah penentu utama hadirnya legitimasi untuk sang raja. Diterima atau tidaknya sabda dan dhawuh Sultan HB X oleh masyarakat, pada akhirnya tak akan ditentukan hanya oleh alasan “titah Gusti Allah”, tetapi juga oleh apakah keputusan sang raja memberi maslahat pada masyarakat luas atau tidak. Seperti kata banyak orang: sejarah akan membuktikan hal itu.
Kerajaan Mataram merupakan Kerajaan Islam Nusantara yang masih bertahan hingga sekarang. Dan turun temurun Kerajaan Mataram selalu menurunkan laki laki sebagai penerus tahta. Menurut pendapat kami sebaiknya Kesultanan Agung Ngajogjakarta Hadiningrat meneruskan trah laki laki sebagai penerus tahta
topiknya menarik