Batas-batas yang Dirobohkan
Sekitar 100 piring berisi biji padi dan tanah humus disebar di dekat sebuah mesin molen yang biasa dipakai mengaduk semen dan pasir. Di tembok dekatnya terpasang sebuah layar kecil yang berisi perintah untuk menelepon ke sebuah nomor telepon seluler. Begitu kita mencoba menelepon nomer tersebut, tiba-tiba mesin molen itu hidup, lalu bagian tengahnya berputar, persis seperti ketika mengaduk semen dan pasir.
Mesin molen yang berputar dan piring-piring berisi biji padi yang mulai tumbuh itu adalah karya Eddi Prabandono yang diberi judul “Membangun Pangan”. “Mesin itu adalah simbol pembangunan. Jadi, karya ini memang sedikit verbal,” kata Eddi sambil tertawa. Meskipun verbal, karya itu menarik karena mensyaratkan interaksi dengan pengunjung. Tanpa interaksi, karya tersebut tak memiliki makna dan berhenti sebagai sekadar instalasi.
“Membangun Pangan” merupakan satu dari 103 karya yang ditampilkan dalam pameran dan pasar karya seni rupa ART|JOG|8 yang berlangsung 6-28 Juni 2015 di Taman Budaya Yogyakarta. Tahun ini, tema perhelatan yang melibatkan 87 seniman itu adalah “Infinity in Flux: The Unending Loop that Bonds the Artist and the Audience”.
Pertama kali diselenggarakan tahun 2008 dengan nama Jogja Art Fair, ART|JOG sejak awal menegaskan perbedaannya dengan pasar seni rupa atau art fair lain yang biasanya mengundang galeri seni. Di ART|JOG, bukan galeri yang tampil, melainkan para perupa sendiri. Sebagian dari karya perupa yang dipamerkan merupakan hasil seleksi, sementara sebagian lainnya adalah karya seniman yang diundang secara khusus.
Tahun ini, ART|JOG tak lagi disebut berdasar tahun penyelenggaran, seperti ART|JOG|14 yang digelar tahun lalu, melainkan berdasar jumlah even yang diselenggarakan. Karena itu, ART|JOG tahun ini, yang merupakan perhelatan ke-8, disebut ART|JOG|8, bukan ART|JOG|15. “Perubahan ini untuk menghindari kebingungan tentang berapa kali ART|JOG sudah digelar,” kata Kurator ART|JOG|8, Bambang “Toko” Witjaksono.
***
Perbedaan soal nama perhelatan itu melengkapi perbedaan lain, yakni menyangkut tema. Dalam rentang tahun 2012-2014, ART|JOG memilih tema berdasar konten atau isi karya. Maka, hadirlah tema-tema menyangkut budaya Timur, kemaritiman, hingga kekuasaan dan politik. Namun, tahun ini, tema ART|JOG lebih merujuk pada medium seni, juga “ideologi” dalam produksi karya seni.
Bambang menjelaskan, tema “Infinity in Flux: The Unending Loop that Bonds the Artist and the Audience” berawal dari pengalaman ART|JOG tahun lalu. Waktu itu, ART|JOG dihadiri banyak pengunjung yang memperlakukan karya seni rupa sebagai obyek selfie atau memotret diri sendiri. Fenomena itu, yang menunjukkan keinginan pengunjung berinteraksi dengan karya yang dipamerkan, kemudian mendorong ART|JOG|8 menghadirkan karya-karya yang interaktif.
Kecenderungan itu mau tak mau harus diikuti dengan menampilkan karya seni rupa media baru, tak hanya terbatas pada karya rupa konvensional, misalnya lukisan, patung, dan grafis. “Saya kemudian mencari tentang seni dengan kecenderungan semacam itu. Ketemulah gerakan seni Fluxus yang muncul di Amerika Serikat sekitar tahun 1960-an,” ujar Bambang.
Fluxus merupakan gerakan seni lintas disiplin yang diinisiasi antara lain oleh komposer John Cage dan seniman George Maciunas. Beberapa seniman eksperimental masa itu, misalnya Joseph Beuys, Yoko Ono, dan Nam June Paik, juga terlibat. “Yang kami ambil adalah semangat Fluxus, yakni mendekatkan penonton dengan karya serta menolak pembedaan antara karya seni dan benda bukan seni,” tutur Bambang.
Dengan semua kecenderungan itu, perhelatan ART|JOG tahun ini merayakan robohnya batas-batas yang memisahkan karya seni dan benda sehari-hari, juga antara seniman dan masyarakat awam. Di ruang pameran, kita menemukan meja pingpong, mobil jip, dan mesin pengaduk semen dalam arti sebenarnya. Pengunjung tak hanya melihat, tetapi juga mendengar, menyentuh, dan ikut “membuat” karya seni.
Fenomena seni media baru yang interaktif dan menolak batas antara seniman dan masyarakat itu tentu saja bukan hal yang baru. Di Eropa dan Amerika Serikat, banyak seniman yang sudah melakukannya sejak puluhan tahun lalu. Di Indonesia, ada sederet seniman semacam Krisna Murti, Tisna Sanjaya, juga komunitas ruangrupa yang mempraktikkannya secara konsisten. Namun, ART|JOG|8 tetap terasa istimewa karena perhelatan ini, pada hakikatnya, adalah sebuah pasar dalam arti sebenarnya.
Yang membuat ART|JOG|8 juga terasa istimewa antara lain adalah hadirnya karya Yoko Ono yang kini berusia 82 tahun dan merupakan janda mendiang John Lennon, pentolan grup musik The Beatles. Meski seniman asal Jepang itu tak bisa hadir, Yoko mengizinkan dua karyanya dan sejumlah artefak produksinya ikut dipamerkan. Tampilnya karya Yoko itu tak lepas dari peran Jorg Starke, kolektor seni asal Jerman yang berteman dengan Yoko Ono dan mengoleksi sejumlah karya sang seniman.
Karya Yoko yang dipamerkan di ART|JOG|8 adalah “Wish Tree” dan “Sky TV”. Dalam “Wish Tree”, Yoko mengajak orang-orang menempelkan kertas bertuliskan harapan ke sebuah pohon. “Karya itu dibuat tahun 1981 dan pernah dipamerkan di beberapa negara. Di tiap pameran, termasuk ART|JOG|8, penyelenggara menyediakan sendiri pohon atas arahan dari Yoko Ono,” ujar Bambang.
Dia menambahkan, kertas-kertas harapan yang terkumpul itu akan dikirimkan ke Yoko Ono, lalu ditempel ke pohon yang disimpan di sebuah museum di Islandia. Adapun “Sky TV”, yang dibuat pertama kali tahun 1966, berupa televisi yang menampilkan video pemandangan langit di atas tempat pameran. Dalam konteks sekarang, karya itu mengingatkan tentang alam dan perubahan iklim.
***
Namun, jangan terpaku pada nama besar Yoko Ono. Di ART|JOG|8, kita bisa menemukan banyak karya menarik, misalnya “Atas Nama Daun” karya Prison Art Programs, kelompok seni beranggotakan mantan narapidana, yang mengeksplorasi berbagai jenis daun. Tapi, untuk menikmati karya itu, pengunjung diharuskan menyerahkan selembar daun yang kemudian akan dipamerkan.
Beberapa seniman juga berupaya mengeksplorasi teknologi, seperti yang ditampilkan oleh Venzha Christiawan yang bereksperimen dengan gelombang elektromagnetik, Japan Media Art yang menampilkan “robot seniman”, dan banyak karya lain yang mengeksplorasi sensor gerak, video, dan cahaya. “Hanya ada satu lukisan di ART|JOG|8, yakni karya I Nyoman Masriadi,” kata penggagas ART|JOG, Heri Pemad.
Heri mengatakan, meski menampilkan karya-karya media baru, ART|JOG tidak takut kehilangan pasar. Sebab, dia meyakini, minat kolektor seni untuk membeli karya media baru mulai tumbuh. “Kami justru ingin menciptakan pasar yang lebih besar,” katanya.
NB: versi lain dari tulisan ini diterbitkan di Kompas Edisi Minggu, 7 Juni 2015
Komentar