Kamera dan Kuasa Masa Kolonial
Sejumlah kereta pengangkut kayu bergerak menyusuri rel di tengah hutan. Beberapa orang bertelanjang dada berada di atas kereta, berdiri siaga menjaga kayu yang entah dibawa ke mana. Tetapi tiba-tiba rangkaian gambar itu berhenti, berganti gambar sebuah komputer jinjing yang sedang memutar video pengangkutan kayu yang kita lihat sebelumnya.
Saat sudut pandang dalam karya video itu mulai meluas, penonton tahu mereka sebenarnya sedang menonton sebuah laptop yang memutar rangkaian gambar bergerak ihwal pengangkutan kayu di Hindia Belanda pada masa kolonial. Komputer jinjing itu diletakkan di sebuah kafe, tetapi kemudian gambar itu berganti dengan gambar laptop yang diletakkan di sebuah lapangan.
Dan, tentu saja laptop yang berada di lapangan itu sedang menampilkan video berisi laptop di sebuah kafe. Ya, ini memang video di dalam video. Diberi berjudul “Jati Goes to Rotterdam”, video garapan Otty Widasari itu ditampilkan dalam pameran tunggal bertajuk “Ones Who Looked At The Presence” di Ark Galerie, Yogyakarta, pada 10 September sampai 15 Oktober 2015.
Di kalangan seniman media baru Indonesia, Otty Widasari, yang lahir di Balikpapan pada 12 September 1973, bukanlah nama yang asing. Perempuan lulusan Institut Kesenian Jakarta itu merupakan salah satu pendiri Forum Lenteng, sebuah kelompok yang aktif memproduksi dan mengkaji karya seni audiovisual. Otty juga telah menghasilkan beberapa film dan karya video yang dipresentasikan dan dipamerkan di banyak pameran di dalam dan luar negeri.
Meskipun dikenal sebagai pembuat film dan seniman video, dalam pameran “Ones Who Looked At The Presence”, Otty justru lebih banyak menampilkan lukisan. Pameran yang dikuratori Manshur Zikri itu menampilkan empat video, enam lukisan berukuran 2 meter x 1,5 meter, dan 95 lukisan berukuran 35 sentimeter x 50 sentimeter. Karya-karya tersebut dikembangkan dari temuan Otty saat melakukan residensi di Belanda pada akhir 2014.
Saat melakukan penelitian di sejumlah museum di Belanda, Otty menemukan beberapa arsip gambar bergerak atau video yang berisi gambaran kondisi Indonesia pada masa kolonial. Video itu diambil oleh aparat pemerintah Hindia Belanda hanya beberapa tahun setelah kamera perekam ditemukan pertama kali.
“Arsip gambar bergerak yang saya temukan itu merupakan laporan audiovisual tentang perkembangan pembangunan di Hindia Belanda, misalnya tentang pembangunan jalur kereta api dan bendungan,” kata Otty.
Otty lalu memilih tujuh arsip gambar bergerak masa kolonial yang menggambarkan situasi di lokasi berbeda di Indonesia, yakni di Balikpapan, Kalimantan Timur; Banjarmasin, Kalimantan Selatan; Toraja, Sulawesi Selatan; Jakarta dan Bandung; Jawa Tengah; Lamalera, Nusa Tenggara Timur; dan Papua. Muatan tiap arsip itu berbeda-beda. Di Balikpapan, misalnya, arsip gambar bergerak itu berisi aktivitas di sekitar pelabuhan tak jauh dari kilang minyak.
Adapun arsip di Banjarmasin menggambarkan situasi pasar yang berisi tukang obat dan anak-anak yang bermain.“Semua arsip gambar bergerak itu berasal dari tahun 1912 sampai 1914, kecuali arsip tentang Papua yang berasal dari tahun 1946-1952,” ujar Otty.
***
Selama sekitar 100 tahun, arsip-arsip gambar bergerak itu tersimpan di sejumlah museum di Belanda dan tak bisa diakses dengan leluasa oleh masyarakat Indonesia. Kondisi itulah yang merangsang Otty untuk mengambil kembali arsip-arsip itu dan membawanya ke Indonesia, tetapi tentu bukan dalam bentuknya yang asli. Otty memilih mengambil sejumlah potongan arsip gambar bergerak itu, kemudian mengolahnya menjadi karya baru, baik dalam bentuk video maupun lukisan.
Dalam karya video “Jati Goes to Rotterdam”, misalnya, Otty mengambil potongan rekaman gambar bergerak tentang pengangkutan kayu jati di sejumlah hutan di Hindia Belanda. Rekaman itu kemudian dibawa dan diputarnya di Rotterdam, salah satu kota di Belanda yang pada masa lalu merupakan pelabuhan besar yang dipakai untuk menampung hasil bumi dari tanah jajahan, termasuk kayu jati.
Setelah berkeliling Rotterdam, Otty membawa kembali video itu ke Indonesia dan memutarnya di sebuah hutan jati di Sumedang, Jawa Barat. Dengan melakukan itu, secara metaforis, Otty seolah ingin mengambil kembali kayu jati yang dulu dibawa kaum kolonial ke Belanda, lalu mengembalikannya ke hutan di tanah air.
Namun, gagasan soal “pengambilan kembali” itu bukanlah satu-satunya ide besar dalam pameran “Ones Who Looked At The Presence”. Saat melihat arsip-arsip gambar bergerak masa kolonial, Otty tertarik dengan bagaimana masyarakat Nusantara berhadapan dan bereaksi dengan kamera yang dibawa aparat kolonial. Waktu itu, kamera adalah teknologi yang masih sangat baru dan mayoritas orang-orang pribumi di Hindia Belanda pastilah tak mengenal alat tersebut.
Melalui 101 buah lukisannya, Otty menampilkan kembali penggalan-penggalan adegan dalam arsip video masa kolonial yang terutama mengeksplorasi hubungan manusia dan teknologi baru bernama kamera. Dengan lukisan, Otty secara leluasa bisa menonjolkan dan menghidupkan adegan audiovisual yang ia anggap menarik. Semua obyek dalam lukisan-lukisan itu sama dengan gambar dalam arsip audiovisual, kecuali warnanya. “Saya hanya menambahkan warna karena gambar dalam arsip aslinya kan masih hitam putih,” kata Otty.
Dalam salah satu lukisannya, Otty menampilkan dua orang Papua, lelaki dan perempuan, yang menatap tajam ke arah kamera. Sang perempuan berada di belakang si lelaki, tampak takut atau khawatir melihat kamera. Mata keduanya menyelidik tajam saat merasakan kehadiran kamera.
Dalam lukisan lain, Otty menghadirkan beberapa orang Eropa yang terlihat santai saat menghadapi kamera. Bahkan, salah satu orang tersebut mengangkat topi ke arah kamera, sebuah sikap yang menunjukkan rasa senang terhadap kehadiran alat itu. Perbedaan sikap antara masyarakat pribumi dan warga Eropa terhadap kamera bisa dilihat dalam sejumlah lukisan Otty lain.
Namun, yang mungkin perlu dipertegas, perbedaan respon itu tak hanya muncul karena masalah pengetahuan (sudah mengenal kamera atau belum) tetapi juga akibat problem kekuasaan. Ketika kamera dipegang oleh kaum kolonial, mau tak mau alat itu menjadi bagian dari kekuasaan yang menindas masyarakat Nusantara. Maka, respon orang-orang jajahan terhadap kamera juga bisa dilihat sebagai representasi sikap mereka pada para penjajah.
NB: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas edisi Minggu, 20 September 2015.
Artikel ini sangat menarik. Menambah pengetahuan kita