Pejuang Pangan dari Gunung Kidul
Selama hampir 20 tahun, Suparjiyem memimpin ibu-ibu di kampungnya untuk menanam dan mengolah tanaman pangan yang tumbuh di sekitar mereka. Berkat kerja kerasnya, tanaman-tanaman yang kurang dikenal, seperti gadung, garut, ganyong, gembili, dan sorgum, berhasil diolah menjadi aneka produk yang bernilai ekonomi.
Sekitar 30 perempuan berkumpul di rumah Suparjiyem di Desa Wareng, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis pagi, 10 September 2015. Mereka berkumpul di ruang tengah untuk belajar memasak. Namun, bahan yang mereka pakai sedikit tak lazim. “Kami memakai tanaman pangan lokal yang mungkin kurang dikenal,” kata Suparjiyem yang kini berusia 55 tahun.
Hari itu, perempuan-perempuan tersebut belajar membuat mi dan kaki naga ayam, makanan sejenis nugget, dari tepung berbahan sorgum (Sorghum bicolor). Sorgum merupakan tanaman biji-bijian yang banyak dibudidayakan di daerah beriklim panas dan kering, termasuk Gunung Kidul.
“Di dusun kami, sorgum biasanya disebut cantel. Kadang dipakai untuk pakan ternak, tetapi ternyata bisa juga dipakai menggantikan tepung terigu sebagai bahan dasar mi,” kata Suparjiyem.
Lahir dan besar di Gunung Kidul yang tandus membuat Suparjiyem mengenal beberapa jenis tanaman lokal yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Semasa kecil, dia kerap memakan tiwul, makanan terbuat dari singkong, sebagai makanan pokok. “Waktu saya kecil, beras itu belum mudah didapat seperti sekarang. Makanya sampai dekade 1970-an, hampir semua penduduk di desa saya mengonsumsi tiwul sebagai makanan pokok,” ujar Suparjiyem.
Namun, seiring program Revolusi Hijau pada dekade 1980-an, pemerintah Orde Baru mengintensifkan pengenalan nasi sebagai makanan pokok sehingga popularitas tiwul tersisih. Menurut Suparjiyem, waktu itu, para perangkat desa melarang masyarakat memasak dan mengonsumsi tiwul karena makanan tersebut dianggap sebagai simbol kemiskinan.
“Kalau ada pamong desa yang datang ke rumah, warga biasanya menyembunyikan tiwul yang mereka masak karena takut dimarahi. Mereka yang makan tiwul itu dianggap sebagai orang yang belum merdeka,” kata perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai petani itu.
Meskipun dilarang, sebagian masyarakat Gunung Kidul tetap mengonsumsi tiwul secara sembunyi-sembunyi. Sebab, bagi mereka, mengonsumsi tiwul sudah menjadi kebiasaan yang sukar dihilangkan. “Kadang kami ini belum merasa sudah makan kalau belum mengonsumsi tiwul. Makanya sampai sekarang pun saya masih makan tiwul,” ujar Suparjiyem sambil tertawa.
***
Keinginan Suparjiyem mengolah tanaman-tanaman lokal sebagai bahan pangan secara serius muncul saat krisis ekonomi dahsyat melanda Indonesia pada 1997. Saat itu, sebagian masyarakat di sekitarnya mengalami kesulitan keuangan sehingga mereka tak mampu membeli beras dalam jumlah memadai. “Waktu itu, orang-orang dari dinas pertanian sampai melakukan survei ke rumah-rumah untuk mengetahui bahan pangan apa yang masih dimiliki warga,” tutur ibu dua anak itu.
Saat krisis terjadi, Suparjiyem melihat banyak tanaman yang tumbuh secara liar di sekitar tempat tinggalnya yang ternyata bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Tanaman-tanaman tersebut biasanya tumbuh di sela-sela tanaman kayu, seperti pohon jati, mahoni, atau akasia. Dia pun mengajak para ibu di kampungnya untuk mengumpulkan “tanaman-tanaman liar” tersebut untuk diolah lebih lanjut.
Selain singkong dan sorgum, ada beberapa tanaman umbi-umbian yang tumbuh di Gunung Kidul, antara lain gadung (Dioscorea hispida Dennst), garut (Maranta arundinacea), ganyong (Canna edulis Ker), dan gembili (Dioscorea esculenta L). Meskipun masyarakat setempat sudah akrab dengan tanaman-tanaman itu, jarang yang mencoba mengolahnya secara serius. “Saat saya mulai mengajak untuk mengolah tanaman-tanaman itu, beberapa tetangga agak pesimistis. Mereka bertanya, siapa nanti yang mau beli?” kata Suparjiyem.
Pada Juli 1998, Suparjiyem mendirikan Kelompok Wanita Tani Menur yang menghimpun para ibu di Dusun Wareng IV, Desa Wareng. Aktivitas utama kelompok itu adalah menanam dan mengolah tanaman-tanaman setempat menjadi bahan pangan aneka macam. Lahan untuk menanam aneka tanaman itu merupakan milik pribadi anggota kelompok tersebut.
“Saat ini, anggota kelompok kami yang aktif sebanyak 18 orang. Tiap anggota punya lahan sendiri dengan luas rata-rata 2.000 meter persegi,” kata Suparjiyem. Dia menambahkan, hasil panen dari lahan milik para anggota akan dibeli oleh Kelompok Wanita Tani Menur. Setelah panenan terkumpul banyak, para anggota kelompok bersama-sama mengolahnya.
“Masa panen umbi-umbian itu biasanya sekali setahun, pada Agustus sampai September. Sesudah panen, kebanyakan tanaman itu akan kami olah menjadi tepung karena produk tersebut tahan lama,” ujar Suparjiyem yang pernah bekerja sebagai guru.
Dalam sekali panen, kelompok pimpinan Suparjiyem bisa mengumpulkan sekitar 2 kuintal garut, 4 kuintal ganyong, 7 kuintal gadung, 2 kuintal gembili, 9 kuintal singkong, dan 10 kuintal sorgum.
Harga jual produk olahan Kelompok Wanita Tani Menur sangat bervariasi. Tepung garut, misalnya, dijual Rp 18.000 per 500 gram, tepung sorgum Rp 6.000 per 500 gram, tepung ubi ungu Rp 6.000 per 250 gram, tepung pisang Rp 6.000 per 250 gram, emping garut Rp 6.000 per 200 gram, dan rengginan tiwul dijual Rp 4.000 per bungkus.
“Beberapa jenis tepung itu bisa dipakai untuk menggantikan tepung terigu. Memang harganya sedikit lebih mahal daripada tepung terigu, tetapi tepung kami kan dihasilkan dari tanaman yang diolah dengan cara pertanian organik. Kami memakai pupuk organik, bukan pestisida,” kata Suparjiyem.
Produk-produk tersebut awalnya dipasarkan ke kenalan-kenalan Suparjiyem. Lama-kelamaan, Kelompok Wanita Tani Menur menerima banyak pesanan dari beberapa kota, seperti Yogyakarta dan Jakarta. Kelompok yang awalnya tak memiliki keuangan memadai itu pun berhasil mengumpulkan uang yang kini dipakai untuk usaha simpan pinjam bagi anggotanya. “Sekarang kami bisa meminjami anggota sampai Rp 1 juta per orang,” ujar Suparjiyem.
Atas kiprahnya mengembangkan pangan lokal, pada 2013, Suparjiyem terpilih mendapat penghargaan Female Food Hero yang digagas Oxfam, organisasi nonprofit internasional yang antara lain bergerak dalam penanganan masalah kemiskinan. Selain Suparjiyem, ada enam perempuan dari berbagai daerah di Indonesia yang mendapat penghargaan tersebut.
Direktur Program Keadilan Ekonomi Oxfam di Indonesia, Dini Widiastuti, mengatakan, Suparjiyem berhasil menunjukkan bahwa tanaman lokal bisa menjadi bahan pangan alternatif. Bila upaya tersebut terus dikembangkan, ketergantungan masyarakat Indonesia pada bahan pangan yang bahan bakunya harus diimpor, misalnya tepung terigu, bisa dikurangi. “Bu Suparjiyem juga menunjukkan bahwa perempuan ternyata berperan penting dalam produksi pangan. Selama ini kan ada anggapan hanya lelaki yang berperan dalam pertanian,” katanya.
NB: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas Edisi Sabtu, 26 September 2015
Admin yth, klo boleh sy minta alamat kelompok wanita tani t4 bu suparjiyem, klo ada contak person yg bs dihubungi. Tks
Suhartono ciamis