Orkestra Klakson dan Mesin Motor
Dari atas panggung kecil yang berada di tengah-tengah penonton, Jay Afrisando memimpin pertunjukan musik malam itu. Tangannya bergerak ke sana ke mari, memberi aba-aba kepada empat orang di panggung lain yang menghadap penonton. Keempatnya kemudian meneruskan aba-aba Jay, bukan kepada para pemusik (karena belum ada pemain musik yang berada di panggung), melainkan pada penonton.
Lalu, mengalunlah komposisi bunyi yang tidak biasa, yang bagi sebagian orang akan dianggap bukan “musik”. Komposisi itu terdiri dari suara mesin sepeda motor dan klakson motor dalam sejumlah variasi. Kadang kala, suara mesin motor itu terdengar halus, tetapi kali lain menjadi cempreng, lalu kemudian berubah jadi berisik seperti yang biasa terdengar saat musim kampanye pemilihan umum.
Suara mesin dan klakson motor yang saling beradu itu merupakan bagian dari pertunjukan “Percakapan dengan Kebisingan 2.0: Orkestra Retetet Ndona-Ndona” karya Jay Afrisando yang digelar pada Rabu, 27 Januari 2016, di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Jay Afrisando, 26 tahun, adalah seorang komponis muda yang dikenal kerap berkolaborasi dengan seniman dari disiplin lain, semisal penari, penulis, dan videografer.
Karya-karya Jay, yang sebagian melibatkan penonton dalam pertunjukannya, telah dipentaskan di sejumlah kota di Indonesia dan luar negeri, termasuk Amsterdam, New York, Seoul, dan sebagainya. Sebelumnya, lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu antara lain dikenal sebagai pentolan kelompok Jay & Gatra Wardaya yang mementaskan puisi dalam format pertunjukan musik.
Pertunjukan “Orkestra Retetet Ndona-Ndona” merupakan kelanjutan dari proyek Jay sebelumnya, “Percakapan dengan Kebisingan”, yang ditampilkan dalam pameran Jogja ArtWeeks Artworks Showcase 2015. Dalam karya awal itu, Jay bersama seorang rekannya bermain musik di sejumlah ruas jalan di Kota Yogyakarta untuk merespon atau “bercakap-cakap” dengan kebisingan yang timbul akibat lalu-lalang kendaraan bermotor. Pertunjukan di jalan itu kemudian direkam dengan video lalu dipamerkan.
Dalam “Orkestra Retetet Ndona-Ndona”, Jay masih berupaya menjalin percakapan dengan suara kendaraan bermotor. Namun, dia memilih tidak “bercakap-cakap” dengan kendaraan bermotor sungguhan. Pria kelahiran Cilacap, Jawa Tengah, itu bekerja sama dengan sebuah tim programmer komputer untuk membuat aplikasi telepon cerdas (smartphone) yang bisa menghadirkan suara sepeda motor dalam berbagai variasi.
Di dalam aplikasi yang diberi nama “Retetet Ndona-Ndona” itu, ada empat jenis sepeda motor yang bisa dipilih. Pada setiap jenis motor, ada empat jenis bunyi berbeda yang bisa dimainkan, yakni suara klakson, suara mesin motor dengan tarikan gas yang konstan, suara mesin motor dengan tarikan gas yang dimainkan atau dibleyer, serta suara mesin motor yang digabungkan dengan klakson.
“Suara yang ada di aplikasi itu adalah hasil rekaman suara beberapa jenis motor. Saya memang sengaja memilih suara sepeda motor karena kebisingan yang dihasilkan dari suara motor adalah kebisingan yang khas Indonesia,” ujar Jay.
***
Sebelum pertunjukan “Orkestra Retetet Ndona-Ndona” dimulai, para penonton diminta mengunduh aplikasi tersebut karena mereka akan diajak untuk berpartisipasi dalam pertunjukan. Mereka lalu dibagi ke dalam empat baris berdasar tempat duduk, dan tiap baris penonton bertanggung jawab memainkan satu jenis suara sepeda motor.
Jay membagi pertunjukan tersebut ke dalam beberapa bagian, diawali dengan pemutaran rekaman video saat ia dan rekannya bermain musik di beberapa ruas jalan Yogyakarta. Setelah itu, Jay muncul di panggung, mendiktekan sejumlah instruksi kepada para penonton, termasuk permintaan mengatur smartphone mereka ke dalam mode pesawat atau flight mode agar tak ada pesan atau panggilan yang bisa mengganggu pertunjukan partisipatoris tersebut.
Sesudah sesi check sound, Jay bersama empat temannya mulai memandu penonton untuk memainkan sebuah komposisi. Tiap baris penonton dipandu oleh satu orang dan mereka harus mengikuti instruksi sang pemandu. Bagian ini berlangsung tanpa permainan alat musik sehingga suara yang dihasilkan adalah campur aduk suara mesin motor dan klakson.
Di bagian selanjutnya, empat orang yang sebelumnya menjadi pemandu beralih menjadi pemain musik. Keempatnya adalah Asa Rahmana yang mengisi vokal, Gardika Gigih memainkan keyboard, Ignatius Made membetot bas, dan Jonathan Dangawa menggebuk drum. Jay berdiri di panggung yang menghadap penonton dan menjadi pemandu bagi penonton yang memainkan aplikasi sekaligus para pemusik. Pada bagian ini, suara musik berpadu dengan suara motor menghasilkan sebuah percakapan.
Pada sesi berikutnya, Jay memilih empat orang penonton yang diminta naik ke panggung. Keempatnya dibebaskan memainkan suara motor lewat aplikasi, sementara empat pemain musik meresponnya dengan permainan mereka. Di bagian ini, Jay berhenti menjadi seorang pemandu, lalu ikut memainkan sebuah alat musik tiup berukuran kecil.
***
Secara konseptual, “Orkestra Retetet Ndona-Ndona” adalah pertunjukan yang sangat menarik. Pertunjukan itu melabrak batas-batas antara musik dan bunyi bukan musik, sekaligus menghadirkan refleksi sosial ihwal kebisingan di jalan yang kadang meneror. Jay juga tidak menyalahkan kebisingan di luar sana, tetapi justru mengajak penonton mengelola kebisingan secara bersama-sama.
Sayangnya, konsep yang apik itu tak bisa diterjemahkan dengan baik karena sejumlah kendala teknis, misalnya ruang pertunjukan yang terlalu luas dan tak kedap suara. Kendala lain adalah jumlah penonton yang datang ternyata jauh lebih sedikit dibanding ekspektasi panitia (ditandai dengan banyaknya kursi kosong). Selain itu, tidak semua penonton ternyata mengunduh aplikasi yang disarankan Jay sehingga mereka tak bisa ikut bermain.
Sejumlah masalah teknis itu membuat suara sepeda motor yang dihasilkan dari telepon cerdas para penonton kadang hanya terdengar sayup-sayup dan bahkan tak bisa dikategorikan sebagai “kebisingan”. Akibat dari kondisi itu adalah tidak tercapainya efek kebisingan yang mungkin diinginkan Jay sehingga “percakapan” yang dibangun pun kadang terputus-putus.
Tentu saja, semua kekurangan itu semata soal teknis yang tak susah dibenahi. Karena itu, bila kelak Jay ingin mementaskan kembali “Orkestra Retetet Ndona-Ndona”, kita bisa berharap dialog yang ia hasilkan menjadi lebih jelas dan bising.
NB: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas edisi Minggu, 31 Januari 2016.
Perbedaan latarbelakang, baik secara kultural, maupun sosial penonton pun tidak menjadi masalah berarti ketika orkestra berlangsung. Berasal dari pengalaman auditif keseharian yang dialami masyarakat di jalan raya, karya partisipatoris ini menjadi semakin dalam dan berarti bagi penonton.