Gerhana dalam Seni Rupa
Gerhana matahari total pada 9 Maret 2016 tak hanya dirayakan di wilayah yang dilintasi fenomena alam tersebut. Di Yogyakarta yang tak kebagian gerhana matahari total, sejumlah seniman ikut membuat perayaan dengan menafsir peristiwa alam langka itu menjadi karya seni rupa. Kejadian gerhana pun dihidupkan di atas kanvas yang menghadirkan naga, raksasa, hingga perempuan cantik yang ternyata seorang mata-mata.
Salah seorang seniman yang ikut merayakan gerhana matahari total itu adalah Bayu Wardhana. Pelukis lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu melukis seekor naga yang berhadap-hadapan dengan matahari. Naga raksasa itu tidak merangkak atau terbang, melainkan berjalan dengan bantuan tongkat penyangga yang diusung sejumlah orang, seperti yang kerap kita lihat dalam Tari Naga saat perayaan Imlek.
Lukisan berjudul “Naga Bertemu dengan Matahari” itu mengingatkan kita pada mitos mengenai gerhana matahari dalam budaya Tiongkok. Menurut mitos tersebut, gerhana matahari total terjadi karena adanya seekor naga yang menelan matahari. Konon, saat gerhana matahari total terjadi pada masa lampau, prajurit kerajaan di Tiongkok akan diperintahkan untuk menembakkan meriam dan memuntahkan anak panah ke arah matahari untuk mengusir naga yang telah menelan sang surya.
Lukisan Bayu itu menjadi salah satu karya yang akan ditampilkan dalam pameran seni rupa bertajuk “Kala Rahu” di Bentara Budaya Yogyakarta pada 11-20 Maret 2016. Pameran yang khusus digelar untuk merayakan gerhana matahari total tersebut diikuti 24 seniman. Selain Bayu, seniman lain yang bakal ikut dalam pameran itu antara lain Bambang Heras, Diah Yulianti, Edi Sunaryo, Gunawan Bonaventura, Hari Budiono, Nasirun, Oetje Lamno, Putu Sutawijaya, Samuel Indratma, dan Yuswantoro Adi.
Tajuk “Kala Rahu” untuk pameran itu diambil dari nama raksasa yang dalam sejumlah mitos disebut memakan matahari dan bulan sehingga menyebabkan gerhana. Detail cerita kenapa Kala Rahu memakan matahari dan bulan dikisahkan dengan berlainan dalam sejumlah kebudayaan, dan bahkan nama raksasa itu pun kadang disebut secara berbeda. Di Jawa, raksasa yang memakan matahari dan bulan itu kadang disebut Batara Kala.
Bayu mengatakan, meski Yogyakarta tak dilintasi gerhana matahari total pada 9 Maret mendatang, ia tetap antusias merayakan peristiwa itu dengan mengikuti pameran “Kala Rahu”. “Fenomena gerhana matahari total itu kan sangat langka dan mungkin nanti sampai saya meninggal pun fenomena itu enggak akan ada lagi. Makanya saya merasa beruntung sekali diundang dalam pameran ini,” kata pelukis berusia 51 tahun itu saat berbincang dengan saya.
Antusiasme Bayu juga muncul karena dia punya memori indah mengenai gerhana matahari total pada 11 Juni 1983 yang melintasi Yogyakarta. Berbeda dengan sebagian besar warga Yogyakarta yang tak menyaksikan gerhana pada 1983 karena dilarang pemerintah, waktu itu Bayu nekat keluyuran untuk menikmati gerhana matahari. Dengan mengendarai sepeda motor trail yang ia beli dari penjualan lukisannya, Bayu berkendara ke sejumlah bagian Kota Yogyakarta untuk menyaksikan fenomena alam itu.
“Saat itu jalanan sepi karena masyarakat takut melihat gerhana matahari. Tapi saya nekat melihat gerhana tanpa kaca mata hitam dan nyatanya tak tidak apa-apa,” ujar Bayu yang pada 1983 masih belajar di Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta.
***
Beberapa hari sebelum pembukaan pameran “Kala Rahu”, saya sempat melihat sejumlah lukisan yang akan dipamerkan. Seperti mudah diduga, beberapa lukisan terlihat berupaya menggali mitos-mitos mengenai gerhana matahari. Selain lukisan Bayu yang mencoba mengulik cerita naga dan matahari, karya Gunawan Bonaventura berjudul “Kalaslipi” juga menampilkan kekayaan mitos ihwal Batara Kala yang memakan matahari.
Lukisan Gunawan itu menampilkan beberapa warga desa yang menari serta memukul kentungan dan kendang, juga sosok Batara Kala yang mengenakan jas, dasi, dan peci hitam. Saat para warga asyik memukul kentungan dan kendang, Batara Kala tampak tersiksa sehingga ia akhirnya memuntahkan kembali matahari yang sebelumnya ia telan. Selain menggambarkan bagaimana peristiwa gerhana matahari dipersepsi oleh masyarakat di masa lalu, lukisan “Kalaslipi” juga bisa dimaknai secara politis dalam konteks kekinian.
Batara Kala yang memakai jas dan dasi dalam lukisan tersebut bisa jadi merupakan simbol pejabat serakah, sementara matahari yang bersinar terang itu mungkin menyimbolkan kekayaan alam yang ingin dijarah sang pejabat. Adapun warga yang menari dan memukul kentungan itu sangat mungkin dipahami sebagai rakyat yang melawan pejabat yang telah menciptakan “gerhana” dalam kehidupan mereka.
Sudut pandang menarik soal gerhana juga ditampilkan Herjaka HS dalam lukisan “Pasare Terus Ngumandhang”. Lukisan itu menggambarkan transaksi jual beli di pasar tradisional yang tetap berjalan meski suasana sekitarnya gelap akibat gerhana matahari total. Karya ini menarik karena meneropong peristiwa gerhana matahari total dari sudut yang unik.
Bila beberapa karya lain cenderung menggambarkan gerhana matahari total sebagai peristiwa yang mengguncang dan tak biasa, lukisan Herjaka justru menyatakan bahwa gerhana adalah peristiwa biasa yang tak bisa menghentikan laju kehidupan sehari-hari. “Walau srengenge ilang (matahari hilang), pasar yang menjadi penanda utama kehidupan tetap beroperasi normal, seperti juga matahari yang sebenarnya tetap ada saat gerhana,” kata Herjaka.
Karya lain yang perlu disimak dalam pameran “Kala Rahu” adalah lukisan karya Sigit Santoso yang hanya menampilkan satu obyek, yakni sosok perempuan dengan busana yang menggoda. Perempuan itu adalah Margaretha Geertruida Zelle, penari erotis sekaligus seorang mata-mata yang lahir di Belanda pada tahun 1876 dan dihukum mati di Perancis tahun 1917. Lalu, apa hubungan Zelle dengan gerhana matahari total? Anda mungkin perlu datang ke pameran untuk mengetahuinya atau coba ketikkan nama perempuan itu di Google, lalu pakailah imajinasi.
NB: Versi sedikit berbeda dari tulisan ini telah terbit di Harian Kompas Edisi Selasa, 8 Maret 2016.
lukisan lama mengandung umur tua yang dimana harga jualnya luar biasa dan seninya membuat orang terpukau. gerhana matahari yang katanya membuat sakit mata bisa jadi mahakarya bagi pelukis-pelukis ternama, dan karyanya bisa dikenang hingga sekarang dan “mungkin” selamanya