Nirwan Dewanto dan Seni Rupa Kontemporer
Suatu malam, di sebuah toko buku di Yogyakarta, saya mengalami peristiwa yang membuat tersadar bahwa zaman sudah berubah. Seorang pria muda, sangat mungkin dia dari Jakarta, terlihat bersemangat bercerita pada teman perempuannya mengenai buku-buku di toko itu. Dengan antusias dia menunjuk kumpulan esai Simulakra Sepakbola karya Zen RS dan novel Kiat Sukses Hancur Lebur-nya Martin Suryajaya, lalu merekomendasikan sang teman untuk membelinya. “Ini bagus banget,” katanya.
Ruangan toko buku itu lumayan sempit sehingga saya bisa mencuri dengar semua tuturannya. Sebentar kemudian dia berbicara dengan penjaga toko tentang memoar Etgar Keret yang terjemahannya diterbitkan Bentang Pustaka dan diberi kata pengantar Eka Kurniawan. “Lucu banget ya,” ujar cowok muda itu. Sang penjaga lalu merekomendasikannya membaca cerpen Etgar Keret yang diterjemahkan Andina Dwifatma di blognya.
Saya sedang memilih sejumlah buku secara agak terburu dan tiba-tiba anak muda itu melihat beberapa buku yang saya bawa. “Beli bukunya Zen juga, Mas?” katanya ramah. Saya mengiyakan. Di tangan saya saat itu juga ada buku Satu Setengah Mata-mata karya Nirwan Dewanto dan lelaki muda tersebut sepertinya juga melihatnya. Tapi dia tak bertanya soal buku Nirwan dan sepanjang kunjungannya ke toko buku itu, ia tak sekalipun menunjuk Satu Setengah Mata-mata.
Mungkin zaman memang sudah berubah dan bagi para pembaca milenial seperti lelaki muda itu, nama Nirwan Dewanto barangkali terdengar samar-samar. Tidak seperti generasi sebelumnya, mereka mungkin saja tidak tumbuh bersama koran-koran Minggu, Jurnal Kalam, atau Majalah Tempo yang mempopulerkan Nirwan. Mereka mungkin tak tahu bagaimana nama Nirwan pernah menjadi judul sebuah esai panjang yang dimuat di rubrik kebudayaan di sebuah koran Minggu atau, jauh sebelum itu, pernah diberitakan di berbagai media massa berkat pidato kebudayaannya yang konon membuat terkejut para seniornya.
Tentu saja tidak ada yang salah dengan semua itu. Tiap generasi pembaca punya kanon masing-masing dan wajar bila kanon-kanon dari generasi sebelumnya jadi sedikit terlupakan.
***
Bagi “generasi koran Minggu” seperti saya, membaca Nirwan terasa sebagai sebentuk nostalgia. Esai-esainya yang terdengar merdu dan kerap dimulai dengan sebuah simpulan itu membuat saya seperti kembali pada era sebelum keriuhan media sosial dimulai, ketika masa-masa mahasiswa diisi dengan diskusi di bawah sebuah pohon di Taman Budaya Jawa Tengah bersama para penulis Solo yang selalu bersaing habis-habisan untuk menembus seleksi ketat para editor koran Minggu (Nirwan salah satu editor itu).
Tapi, bukan hanya nostalgia yang membuat saya tertarik dengan Satu Setengah Mata-mata. Buku kumpulan esai yang diterbitkan Penerbit Oak itu diklaim berisi tulisan-tulisan yang “bergerak bebas di antara seni rupa dan sastra, antara fiksi dan non-fiksi, antara ‘antropologi’ dan catatan autobigrafis, antara telaah seni dan nalar puitik, antara pembacaan-dekat dan pembacaan-jauh”. Gaya tulisan Nirwan dalam buku ini memang berubah-ubah, memakai beberapa sudut pandang, dan mencakup tema beragam.
Namun, bagi saya, ada benang pengikat yang menghubungkan sebagian besar esai Nirwan di buku ini, terutama tulisan-tulisannya mengenai seni rupa, baik yang merupakan catatan kuratorial maupun ulasan. Benang merah itu adalah sikap dan keresahan Nirwan saat berinteraksi dengan apa yang sekarang kita kenal sebagai “seni rupa kontemporer Indonesia”.
Sebagai penulis, Nirwan tentu saja tak bisa mengelak dari seni rupa kontemporer yang mewabah ke mana-mana. Namun, tiap kali bertemu dengan karya-karya seni rupa kontemporer, ia tampak resah dan kadang tak bisa menahan diri untuk mengeluarkan kritik dan kecemasan. Salah satu pokok yang kerap disinggungnya adalah “seni konsep”, salah satu anak kandung dari seni rupa kontemporer. Nirwan menyebut, seni konsep lahir dari upaya untuk melampaui atau membongkar batas-batas medium seni dan hendak meleburkan seni ke dalam realitas.
Namun, dia juga mengingatkan, “konsep” yang termaktub dalam “seni konsep” itu ternyata “lebih banyak kita temukan di luar keseniannya sendiri, yaitu sebagai wacana yang diulur-ulurkan oleh sang seniman dan, terutama, oleh sang kurator”. Dalam seni konsep, Nirwan menyimpulkan, berlaku hukum “seni adalah bagaimana engkau menteorikan seni.” Dia bahkan menyatakan bahwa upaya membongkar batas-batas seni yang terus berlangsung hari ini di medan seni rupa Indonesia umumnya diamalkan “secara emosional, kalau bukan irasional”.
Keresahan terhadap seni konsep itu juga berkelindan dengan keresahan Nirwan terhadap hilangnya kepengrajinan dalam seni rupa. Berbeda dengan para pendahulu mereka yang menggunakan tangan untuk mencipta, para perupa kontemporer kerap mengambil barang jadi dan produk teknologi, juga menggunakan tangan para artisan, untuk membuat atau merakit (bukan lagi menciptakan) sebuah karya. Itulah kenapa Nirwan juga mengatakan bahwa yang hilang dari seni rupa kontemporer kita adalah “keterampilan menggambar dan mematung”.
Selain itu, Nirwan juga merasa resah terhadap salah satu unsur terpenting dari seni rupa kontemporer kita: prinsip anything goes alias apa saja boleh. Prinsip ini sebenarnya adalah hasil dari upaya membongkar elitisme sekaligus menghadirkan demokratisasi dalam seni rupa. Namun, Nirwan juga menyatakan, “demokratisasi” macam begini juga menghasilkan kaburnya standar mutu dan ia percaya akan mengantar publik ke dalam kebingungan jika tidak ada “lembaga-lembaga seni rupa yang mampu mempertandingkan ukuran serta merawat citarasa”.
Keresahan-keresahan semacam itu tentu saja bukan hanya milik Nirwan dan bukan pertama kali dikatakan. Beberapa tahun lalu, dalam sebuah diskusi di sela-sela pameran tunggal Ade Darmawan di Jakarta, penulis senior Bambang Bujono pernah mengemukakan keresahan yang hampir sama. Mas Bambu, demikian ia disapa, menyebut bagaimana para seniman rupa (atau perupa bila memakai kata yang lebih kontemporer) hari ini berupaya menjadi antropolog dan sosiolog. Diskusi waktu itu berlangsung seru karena Ade, yang merupakan pendiri kelompok seni ruangrupa, kemudian membeberkan sejumlah pendapat untuk membantah Mas Bambu.
Terkait Nirwan, harus buru-buru dikatakan, bahwa ia tidak menghindari seni rupa kontemporer. Nirwan tetap mengarungi medan rupa yang riuh itu meski dengan sikap yang penuh waspada dan selalu penuh tanya. Itulah kenapa dia juga membahas karya-karya Eko Nugroho yang mengambil inspirasi dari campur aduk budaya pop, karya trimatra Faisal Habibi yang jelas-jelas ingin melampaui seni patung, juga instalasi Dadang Christanto yang politis.
Namun, saya juga merasa, Nirwan lebih bahagia dan simpatik saat membahas karya-karya yang berada di luar kecenderungan utama seni rupa kontemporer. Bacalah esainya mengenai patung-patung abstrak Rita Widadgo yang disebutnya telah menunjukkan bahwa modernisme (sebagai lawan kata “kontemporer”) dalam seni bukan hanya perlu, tetapi juga mesti; simaklah ulasannya mengenai lukisan abstrak Hanafi yang menurutnya mengajak kita menepi dari arus utama seni rupa kontemporer; atau dengarlah tuturannya ihwal keramik-keramik Liem Keng Sien yang tak terlalu peduli dengan hiruk-pikuk wacana seni; dan kita akan menemukan sejenis kebahagiaan dan sikap mendukung di tulisan-tulisan itu.
Saya tak tahu seberapa signifikan esai-esai Nirwan dalam Satu Setengah Mata-mata bakal berpengaruh pada perkembangan seni rupa kontemporer kita. Mungkin kecil saja dampaknya dan tak akan mengubah laju perkembangan seni rupa kontemporer yang berjalan dengan sangat cepat. Namun, paling tidak, esai-esai itu bisa menjadi sebentuk nostalgia dan pengingat bahwa pernah ada sejumlah keresahan yang disuarakan dalam penggal sejarah seni rupa kita.
Baru pertama kali dengar namanya, coba googling2 dulu deh, siapa tahu bisa membuat saya tertarik, hehehehe