Cinta Terlarang di Tepi Toba
Bila Leila S Chudori dengan sedikit lebay menyebut Partikel karya Dewi Lestari sebagai salah satu buku “yang paling sulit dilepas dari pegangan tahun 2012 sejauh ini”, maka saya akan menyebut Anak Danau karya Arie MP Tamba sebagai salah satu novel yang sangat memikat tahun ini. Saya belum berani menyatakan Anak Danau sebagai novel yang paling memikat, sebab tahun ini belum selesai dan ada beberapa novel baru dari sejumlah penulis Indonesia yang akan terbit.
Berbeda dengan keriuhan yang menyambut penerbitan Partikel, di mana serombongan remaja ramai-ramai datang ke Gramedia untuk menemui alien jadi-jadian yang mempromosikan buku itu, Anak Danau seperti terbit diam-diam. Tahu-tahu saya sudah menemukannya di salah satu rak di toko buku tanpa pernah mendengar apa-apa soal buku ini. Saya membelinya semata-mata karena terpikat sejumlah paragraf di halaman pertama, dan ketika mulai membacanya, saya tahu bukan hanya halaman pertama yang memikat.
Diterbitkan oleh Penerbit Koekoesan pada Februari lalu, Anak Danau bercerita tentang kisah cinta Thomas dan Sabina, dua anak muda yang berasal dari Negeri Naimbaton di pesisir Danau Toba. Keduanya seumuran dan tidak punya pertalian darah dalam pengertian umum, tapi berdasar tata istiadat setempat, mereka adalah paman dan keponakan. Thomas adalah anak Ompung Katua di Naimbaton, semacam pemangku adat, dan dengan begitu ia jelas terikat oleh tradisi yang ketat.
Thomas merupakan pemuda yang pendiam dan suka menyendiri. Ia merasa terkekang oleh batasan yang diciptakan ayahnya, adat isitiadat, juga masyarakat sekitarnya. Maka, di Medan, tempatnya menghabiskan masa SMA, ia menghindari perkumpulan pemuda-pemudi dari Naimbotan. Medan—juga Jakarta kemudian—adalah tempat pelariannya dari kekangan tradisi yang dianggapnya membelenggu—juga menghalangi cintanya dengan Sabina.
Tapi betapapun muak dengan kedudukannya sebagai anak Ompung Katua, Thomas ternyata tak melawan. Ia seorang konformis, yang hampir tidak pernah melawan. Maka, kisah cinta Thomas dan Sabina hanya berlangsung secara sembunyi-sembunyi dan dalam proses yang aneh.
Salah satu bagian terbaik novel ini adalah ketika Thomas mengendap-endap ke belakang rumah Sabina pada suatu malam yang berangin dan berombak, hanya karena menuruti perasaan ingin berbicara dengan sang keponakan. Tapi begitu keduanya bertemu, Thomas tak bisa berbicara dan ia justru memeluk Sabina.
Lalu, di atas pasir putih pantai, Thomas dan Sabina bercinta dalam diam. Arie MP Tamba melukiskan kejadian itu sebagai sesuatu yang bukan hanya spontan, tapi juga mengejutkan keduanya. Saat itu keduanya belum saling mengenal dengan baik, baru beberapa kali bertemu—dan itu pun tak pernah ngobrol lama—sehingga persetubuhan itu seharusnya terasa sebagai sesuatu yang asing. Tapi dengan baik pula kita dibawa pada penggambaran ihwal dua anak muda yang dipenuhi hasrat meluap-luap dan membuat kesadaran mereka tenggelam sehingga apa yang mereka lakukan itu akhirnya bisa dipahami.
Dari gambaran sekilas itu saja kita bisa membayangkan bahwa Anak Danau memasukkan unsur-unsur lokalitas plus racikan cinta terlarang yang sering menjebak itu, tapi Arie MP Tamba mengolah keduanya dengan baik. Pelukisan suasana alam wilayah Toba juga dilakukan dengan baik dan tidak berlebihan. Arie juga berhasil mempertentangkan unsur tradisi dengan modernitas secara subtil dan kompleks sehingga pertentangan semacam itu tidak bertendensi terlalu jauh menjadi pamflet.
Anak Danau terdiri dari 58 bab dengan total halaman 182. Dengan perbandingan itu, kita tahu bab-bab di novel ini memang pendek-pendek. Ada sebuah bab yang terdiri dari 6 halaman, tapi ada juga yang cuma 1 halaman. Dengan memilih bentuk yang demikian, Arie MP Tamba sejak awal telah menetapkan bahwa kisah dalam Anak Danau tak akan mengalir sebagai kesatuan yang benar-benar padu.
Ada kalanya hubungan antar-bab dalam buku ini terasa kokoh, tapi pada kali lain sebuah atau beberapa bab bisa mengalir sendirian ke arah yang sama sekali lain dengan kecenderungan naratif keseluruhan novel. Salah satu bagian paling random tapi juga yang paling mengesankan adalah Bab 3 di mana Arie menggambarkan tiga pengalaman masa kecil Thomas yang paling membekas—salah satunya adalah bertemu tukang cat kapal yang dianggapnya sebagai Tuhan.
Kecenderungan tak padu tersebut, bagi saya, bukanlah kelemahan tapi juga bukan sesuatu yang sangat istimewa. Sebab, sejak lama novel memang tak harus dianggap sebagai kesatuan yang kaku dan semenjak Saman karya Ayu Utami terbit, kecenderungan menghadirkan kisah-kisah yang terpecah dalam novel memang agak ngetren di Indonesia.
Yang menarik, dengan memanfaatkan keterpecahan kisah dalam novel ini, Arie MP Tamba mengaduk-aduk alur waktu, dari masa sekarang ke masa lalu atau mendatang. Ini bisa sangat mengganggu sebenarnya karena berpotensi mengaburkan gambaran besar cerita dari benak pembaca, tapi Arie memakai teknik penceritaan orang ketiga yang berhasil mengalihkan perhatian pembaca dari soal urutan waktu dan berfokus pada peristiwa.
Ya, peristiwa-peristiwa acak yang digambarkan dalam Anak Danau memang menarik kita kuat-kuat sehingga kita bisa tak memedulikan kapan peristiwa itu terjadi dan apa relevansinya dengan keseluruhan kisah. Semua bisa menjadi begitu karena tersedianya bahan yang menarik, juga karena narasi Arie yang memikat.
Bagi saya, yang paling menarik dari Anak Danau adalah cara tutur Arie MP Tamba dalam mengisahkan tokoh-tokohnya. Dengan memanfaatkan kalimat-kalimat majemuk yang panjang, dikombinasikan dengan nada liris yang mengesankan kemurungan, keresahan, dan kekecewaan, ia berhasil menyajikan gaya tutur yang sangat cocok dengan dua karakter utama di novel ini yang memang hampir selalu murung, resah, dan kecewa.
Dari segi proporsionalitas karakter, Thomas dan Sabina dihadirkan secara seimbang. Meskipun Thomas lebih menonjol, tapi Sabina juga diberi ruang yang cukup leluasa untuk memperlihatkan karakternya yang setengah bengal, juga trauma masa SMP yang secara aneh diingatnya ketika bermasalah dengan Thomas.
Sayangnya, karena mengejar efek liris, kadang-kadang narasi Arie menjadi terlalu surealis dan apa yang hendak diterangkannya menjadi tak jelas. Itulah yang misalnya terlihat dari penggambaran saat Sabina hendak menggugurkan kandungannya. Tapi di luar masalah ini, secara keseluruhan Anak Danau adalah novel yang memikat—dan saya prediksikan akan menjadi salah satu novel paling memikat tahun ini.
***
NB: foto diambil dari lenteratimur.com
siiip…
menarik, novel yang terbit diam-diam…
ha3. “terbit diam-diam” itu semacam metafora kok mas 😀
Apa nantinya tidak membuat pembaca jenuh dengan pengaplikasian bab-bab seperti yang dijelaskan itu?
Terinspirasi dari kisah seperti apa penulisan novel tersebut?