Kicauan Para Pembocor
“Halo pak @benny_israel, bisa minta tolong promosikan akun ini? Ini khusus akun buat kami,wartawan,numpahin uneg2 soal kotornya jurnalisme.”
Kalimat itu saya kutip dari salah satu kicauan @WartawanYeah, sebuah akun twitter yang hari-hari ini sedang jadi banyak perhatian karena banyak mengungkap borok jurnalisme di Indonesia. @WartawanYeah mengaku mempunyai beberapa admin yang semuanya wartawan. Mereka berasal dari beberapa media besar di Indonesia.
“Admin-admin kami berasal di antaranya dari media K, T, JwP, SP, SH, TVO, MeTV,TV R, TV S, dll,” kata mereka suatu hari. Jika kita mengikuti inisial-inisial itu, lalu berusaha menduga-duga, kemungkinan mereka berasal dari Kompas, Tempo, Jawa Pos, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, TV One, Metro TV, TVRI, dan untuk TV S saya tak yakin. Maksudnya mungkin Sun TV.
Borok jurnalisme yang diungkap @WartawanYeah banyak: dari soal perilaku wartawan istana, tingkah polah wartawan bursa saham, kejamnya para pemilik media, dan lain sebagainya. Kebanyakan kicauan yang dibuat akun ini berkisar pada perilaku buruk para wartawan, terutama berkaitan dengan penerimaan amplop alias uang dari narasumber—mereka menyebutnya “perjalean”.
Saat berkicau soal wartawan istana, misalnya, mereka mengungkap bagaimana banyak wartawan istana yang menerima amplop dari pihak istana, terutama dari Biro Pers, Media, dan Informasi Rumah Tangga Keprisedenan. Mereka jelas tahu cukup banyak seluk-beluk wartawan di istana karena menyebut nama-nama pegawai Biro Pers dengan tepat. Saya tahu ini karena baru-baru ini saya sebagai wartawan juga ditugaskan di istana sehingga sedikit banyak mengenal nama-nama pegawai Biro Pers yang disebut @WartawanYeah.
Masalahnya, kicauan mereka soal wartawan istana belum tentu benar. Mereka mengungkap banyak kejelekan wartawan istana, dari mulai terima amplop, menjilat menteri, sampai bersikap sombong layak pemimpin redaksi kalau kebetulan liputan dengan wartawan non istana. Saya kurang bisa mengamini informasi ini karena pengalaman saya menunjukkan sebaliknya.
Sependek pengalaman saya di istana, saya tak pernah melihat ada wartawan yang menerima amplop atau berupaya menjilat menteri. Rata-rata mereka juga bersikap biasa saja tatkala bertemu dengan wartawan non istana, sama sekali tidak sombong. Mungkin saja apa yang dikatakan @WartawanYeah mengandung sedikit kebenaran: bahwa mungkin ada sebagian wartawan istana yang berperilaku jelek, tapi jelas tidak semua wartawan istana begitu sikapnya.
Saya tidak mau berdebat panjang soal wartawan istana. Saya hanya ingin mengatakan bahwa informasi-informasi “bocoran” yang diungkap akun anonim seperti @WartawanYeah tidak bisa diterima mentah-mentah. Harus dicerna baik-baik, diverifikasi kalau memang diperlukan, atau jadikan saja bahan guyon yang menyegarkan hidup kita.
Hari-hari ini, kita memang disibukkan dengan kicauan-kicauan dari sejumlah akun anonim di Twitter yang tampaknya berpretensi menjadi sebuah pembocor informasi yang rahasia. Kita mengenal @benny_israel, @Denny_Israel, @arma1da, @LSMYeah, dan lain sebagainya. Masing-masing akun seperti punya spesialisasi pada mulanya.
@Denny_Israel, yang mengaku-aku sebagai Denny Indrayana, membocorkan sejumlah info terkait kondisi ruang dalam istana, dari mulai kinerja para staf khusus presiden, hingga panganan kecil apa yang disukai para menteri saat sidang kabinet. Sementara itu, @arma1da suka membuat biodata lengkap para para pejabat, bagaimana rekam jejaknya, termasuk memuat nomor handphone mereka di Twitter. Akun ini belakangan juga aktif berkicau soal konstelasi politik Indonesia, terutama dalam kaitan dengan evaluasi koalisi pemerintah. Dan, seperti namanya, @LSMYeah mengumbar kejelekan-kejelekan para aktivis LSM di Indonesia.
Bagaimana kita mesti menanggapi munculnya akun-akun anonim ini? Saya rasa, di satu sisi, kita mesti bersyukur. Dengan munculnya orang-orang semacam mereka, informasi-informasi yang selama ini rahasia jadi punya kemungkinan untuk dibuka. Saya tegaskan: punya kemungkinan. Memang baru sebatas kemungkinan menurut saya karena tidak semua informasi yang mereka berikan bisa diverifikasi kebenarannya. Suatu saat, kicauan para akun anonim ini bisa sangat tajam, sampai membawa bukti-bukti segala, tapi di saat lainnya, kicauan mereka hanya sekadar bombastis, tak bisa diverifikasi kebenarannya.
Saat @benny_israel mengungkap pengangkatan Andi Arief, Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam, sebagai Penasihat Komunikasi Publik di PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, dia mengungkap bukti dengan detail dan tajam. @benny_israel mengunggah foto-foto dokumen yang terkait pengangkatan Andi Arief itu satu per satu sehingga kelihatan kejanggalan pengangkatan tersebut. Ini contoh ketika akun-akun anonim itu mengungkap informasi yang tidak sekadar kicauan, tapi dilengkapi bukti.
Pengungkapan biodota para pejabat oleh @arma1da juga jauh lebih baik ketimbang analisisnya soal perombakan koalisi yang terbukti salah sampai sekarang. Ketika dia mengungkap CV para pejabat itu, dia membantu publik untuk mengetahui latar belakang dan rekam jejak para pejabat itu. Meski terbuka kemungkinan bahwa data pejabat yang diungkap @arma1da salah, minimal terbuka kemungkinan untuk mengecek data itu secara mudah. Di sisi lain, ketika dia ngoceh soal evaluasi koalisi dan perombakan kabinet, kicauannya tak bisa ditanggapi terlampau serius.
Kadangkala, saya merasa munculnya akun-akun anonim ini adalah bentuk ketidaksabaran mereka terhadap jurnalisme di Indonesia yang tidak bisa banyak mengungkap informasi rahasia yang bombastis dan penting. Karena merasa media massa tak bisa diandalkan, mereka memilih Twitter untuk bersuara. Risiko dari pilihan ini adalah mereka mesti merahasiakan identitas asli mereka.
Kerahasiaan ini jelas sebuah masalah: sebab informasi yang mereka sebarkan jadi berkurang bobot kredibilitasnya, dan jauh lebih susah memengaruhi opini publik. Saya tetap berpandangan, kredibilitas informasi ditentukan oleh siapa yang mengeluarkannya. Minimal, dengan tahu siapa sumbernya, kita bisa melakukan verifikasi. Dan, inilah masalah utama dari akun-akun anonim itu: info-info “rahasia” yang mereka sebar susahnya minta ampun untuk diverifikasi. Dalam konteks ini pula, saya kurang setuju jika mereka disebut sebagai whistle blower.
Whistle blower adalah pembocor rahasia yang berani mempertanggungjawabkan isi informasi yang dia bocorkan. Minimal, seorang whistle blower akan mengungkap identitas aslinya secara terbatas, kepada penegak hukum atau wartawan yang dia beri informasinya. Whistle blower juga memberikan informasi secara cukup rinci, atau minimal memberi informasi yang terbuka kemungkinannya untuk diverifikasi lebih jauh.
Kalau mau contoh whistle blower, kita harus menunjuk pada Devina, pembaca Harian Kompas yang menulis surat pembaca di harian itu pada 2 Januari 2011 soal pertemuannya dengan pria mirip Gayus Tambunan dalam pesawat menuju Singapura. Dengan kerelaan, tanpa embel-embel dan pretensi untuk menjadi whistle blower, Devina menulis surat pembaca yang dilengkapi dengan identitas asli dan alamat lengkap—pilihan yang membuat dia akhirnya dikejar-kejar wartawan, sebuah risiko yang akhirnya mesti dia tanggung.
Karena identitas pengungkapnya jelas, informasi itu lalu ditindaklanjuti oleh banyak pihak, dari penegak hukum sampai media massa. Lalu, terjadilah pengungkapan borok besar-besaran, bahwa Gayus telah berkali-kali plesiran ke luar negeri. Kasus Devina menjadi contoh, bagaimana sebuah informasi “rahasia” diungkapkan dengan penuh tanggung jawab, dan akhirnya mampu mengungkap sesuatu yang sangat penting untuk publik.
Saya bersyukur atas munculnya akun-akun anonim yang berpretensi mengungkap kebobrokan-kebobrokan yang perlu diketahui publik. Tapi, jika memang akun-akun ini serius mengungkap informasi penting, sebaiknya mereka tidak sekadar berkicau. Mereka lebih baik menyertakan bukti atau indikasi tertentu. Selain itu, kalau bisa, fokuslah dulu pada satu informasi, sebelum beranjak ke informasi lain supaya info penting yang mereka berikan tidak hanyut oleh lalu-lintas informasi yang begitu cepat.
Saya menulis semua ini bukan karena benci terhadap akun-akun anonim itu. Saya menulis ini justru karena percaya bahwa di antara informasi yang mereka sampaikan, terselip suatu kebenaran yang penting untuk ditindaklanjuti.Untuk bisa ditindaklanjuti dan diungkap lebih jauh, akun-akun itu tidak bisa sekadar berkicau, lalu pergi. Penting pula dipikirkan untuk tidak hanya berkicau di Twitter, tapi melalui sarana lain yang lebih artikulatif seperti blog, atau memberi informasi tertentu ke media massa—seperti yang dilakukan Vincentius Amin Sutanto dalam kasus penggelapan pajak oleh Asian Agri.
Saya kira, ini penting supaya akun-akun anonim itu bisa bermanfaat lebih banyak untuk publik, ketimbang sekadar menciptakan sensasi sesaat yang segera hilang oleh keriuhan Twitter.
Jakarta, 13 Maret 2011
Haris Firdaus
Kartun diambil dari sini
kog webmu sekrang putih item begini doang sih?
kurang eye cacthing ris
iya dong mas. aku suka kesederhanaan. :))
Saya setuju sekali, akun anonim seharusnya tidak hanya sekedar berkicau, harus ada pembuktian sehingga sehingga tidak dikira hanya gosip belaka
Setju dengan tulisan di atas. Mungkin kita memang harus menempatkan akun anonim itu sebagaimana fungsinya. Yaitu whistle blower. Selayaknya peluit yang ditiup fungsinya hanya untuk menarik perhatian tok. Kemudian siapa yang ditiup, apa yang ditiup, benarkah keputusan meniup peluit itu? Itu jadi tugas kita semua untuk cek dan ricek lagi.